Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Yang Luput dari Rencana Bangun Apartemen

10 April 2015   09:08 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:18 101
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(Spanduk Penolakan Bangun Apartemen di Plemburan Kabupaten Sleman,D.I.Yogyakarta)

Dua hari belakangan saya fokus menulis tentang pembangunan apartemen di Yogyakarta. Tujuan saya menulis penolakan pembangunan apartemen oleh sebagian warga di beberapa pedukuhan karena saya mulai merasakan kegelisahan yang mungkin saja sama dengan warga mungkin juga tidak sama sekali.

Bentuk kegelisahan saya akan sama dengan warga jika berkaitan terhadap masalah kota yang saya pelajari. Disisi lain bisa jadi sangat berbeda konteks kekhawatirannya jika penolakan apartemen ini didasari motif bisnis oleh pemilik kos yang belum siap bersaing dengan pemilik apartemen.

Lalu jika ditanya, apa yang salah dengan pembangunan apartemen? bukankah apartemen merupakan satuan unit mukim dalam bentuk vertikal juga? bukankah apartemen bisa jadi solusi mengatasi keterbatasan lahan untuk bangunan pemukiman? lalu inti penolakan warga terhadap apartemen itu sebenarnya apa?

Pertanyaan di atas sangat mendasar, namun perlu kehati-hatian dalam merespon atau menjawabnya. Selama menuliskan reportase penolakan apartemen saya sulit bertemu dengan warga atau kepala RT. untuk mendapat informasi secara detil dan menyeluruh. Itu alasannya, tulisan saya hanya sekadar mengabarkan saja,belum bisa beropini terlalu banyak. Karena keterbatasan tersebut, maka saya mencoba mengambil sudut pandang dari penelitian yang sementara berjalan saat ini tentang proses alih fungsi lahan pertanian di Kabupaten Sleman.

Belajar dari pengalaman

Selama dua tahun ini fokus penelitian Tesis saya membahas tentang alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian khususnya pada sektor jasa dan komersial. Dari penelitian ini akhirnya saya menemukan banyak fakta lapangan yang akan saling berhubungan satu sama lain. Mulai dari kasus penguasaan lahan petani, proses alih fungsi, alasan petani menjual sawah lalu dari sawah-sawah ini beralih fungsi menjadi apartemen dan perumahan elit.

Sewaktu melakukan tugas lapangan inilah saya bertemu dengan Kepala Dukuh di Kronggahan II, menanyakan soal proses alih fungsi pertanian di daerahnya. Dukuh Kronggahan masuk dalam wilayah administrasi Kecamatan Mlati, bisa tempuh dari jalan Magelang atau dari Ringroad utara jika diakses dari Rumah Sakit Pendidikan UGM.

Sebagian besar dominasi guna lahan di dusun Kronggahan adalah pertanian, namun tanda-tanda alih fungsi lahan semakin jelas terlihat dari blok persil sawah yang sudah ditimbun tanah. Dari penjelasan kepala dukuh Kronggahan II, saya menangkap informasi jika salah satu proyek pembangunan perumahan elit yang berbatasan dengan Kronggahan yakni Dusun Jaten ternyata diprotes oleh warga Dukuh Kronggahan. Saya awalnya heran, kenapa Kepala Dukuh protes toh bukan di wilayahnya.

Ternyata warga Dukuh Kronggahan seperti yang disampaikan Kepala Dukuh, masih menuggu penjelasan dari pengembang terkait masalah yang dikeluhkan warga. Lama tidak mendapat tanggapan, akhirnya meminta agar laporan Amdal di lokasi perumahan tersebut kembali dikaji. Masalah yang dikeluhkan warga Dukuh Kronggahan adalah ancaman banjir, dan sedikit menyerempet ke masalah sosial.

Bentuk penolakan beberapa bangunan komersial juga pernah dilakukan oleh beberapa dosen saya. Dosen pembimbing pernah menceritakan pernah akan dibangun rumah kos dengan 40 kamar di dekat tempat tinggalnya lalu menyatakan protes dengan mengirim surat keberatan ke pihak pemda Sleman.

Lalu ada juga pengalaman ketika dosen saya protes ke tetangganya karena membangun setinggi 3 lantai di samping rumahnya. Alasan protesnya kelihatan sepele yaitu karena tidak mendapat cahaya sinar matahari dan sirkulasi udara tidak lancar.

Konflik antar warga yang menyita perhatian pemerintah kota Yogyakarta setahun lalu terjadi di Desa Gelagah (Kecamatan Temon) Kabupaten Kulonprogo (ke arah barat, bisa diakses dari Jalan Wonosari-Wates dengan waktu tempuh selama 1 jam perjalanan dari Kota Yogyakarta). Desa Glagah ini sebagian wilayah pesisirnya akan menjadi lokasi bandara baru Yogyakarta yang terintegrasi dan terpadu dengan sistem transportasi bus dan kereta api. Sayangnya megaproyek ini dikotori dengan konflik antar warga yang pro dan kontra.

[caption id="attachment_409106" align="aligncenter" width="400" caption="potensi perkebunan tanaman cabai di desa Glagah (KecamatanTemon) . Dokumen: Ratih Purnamasari, 2014"]

1428633765871857968
1428633765871857968
[/caption]

Suatu hari saya berkunjung ke daerah ini sekadar memenuhi kelengkapan data untuk zonasi pengembangan pertanian. Kehadiran saya malah disambut dengan sikap arogan awalnya, seperti berhati-hati memberikan informasi, beruntung saya berhasil menyatakan maksud kedatangan saya sebenarnya sehingga keadaan berlangsung cair kembali.

Saya dititipi pesan oleh pegawai di Kantor Desa agar berhati-hati ketika berbicara dengan warga atau sekadar foto-foto, kalau mencurigakan maka warga akan membunyikan pentungan dan Anda akan dalam masalah saat itu juga. Saya kaget mendegar penjelasannya, separah itukah konflik yang terjadi di desa Temon? Keadaan ini membuat saya prihatin, karena sepertinya komunikasi antar warga sudah disusupi prasangka dan hal ini tentu sangat tidak sehat.

Saya belajar dari pengalaman kepala Dukuh Kronggahan, Desa Gelagah dan sedikit pengalaman dari dosen kemudian mencoba menghubungkan dengan penolakan apartemen yang terjadi saat ini di beberapa pedukuhan Kabupaten Sleman. Melalui coret-coretan tangan yang dituliskan pada spanduk protes, rata-rata warga mengeluhkan masalah air bersih, kebisingan dan ancaman banjir dan kenyamanan tempat tinggal.

Umumnya warga tidak suka dengan perubahan secara tiba-tiba ditengah lingkungan yang selama ini terlihat tenang-tenang saja. Atau bisa juga berita Jakarta dengan segenap masalah kotanya sudah cukup membuat sebagian orang Jogja khawatir terjadi di kota mereka. Apakah sikap antipati mereka salah? saya rasa tidak juga, karena rasa memiliki dan kecintaan mereka terhadap Jogja sangat besar. Teman saya yang juga berasal dari Jogja mengatakan kalau Jogja adalah harga mati, artinya Jogja bukan sekadar tempat tinggal saja, tapi ada banyak harapan yang dibangun orang Jogja di kotanya, pendidikan dan budaya contohnya.

Pihak pengembang mungkin saja berasal dari luar Jogja, sehingga kurang memahami karakter sosial orang Jogja pada umumnya. Selama tinggal di Jogja, berurusan dengan pihak RT dan tinggal di rumah kos yang pemiliknya juga adalah tokoh masyarakat di pedukuhan setempat, saya akhirnya belajar banyak tentang komunikasi yang mereka bangun antar warga.

Kegiatan apapun, dalam bentuk apapun sebaiknya dibicarakan dengan tokoh masyarakat dan kepala RT setempat. Saya ambil contoh ketika salah satu lahan di pedukuhan tempat tinggal saya akan dibangun asrama biarawati. Proses yang dilalui, tahapan yang dilaksanakan oleh biarawati itu tidak mudah.

Biarawati ini harus mengumpulkan semua warga, meminta persetujuan kepala RT, dukuh dan tokoh masyarakat. Pertemuan dan rembuk warga ini memang tidak bisa langsung ketuk palu, pihak yang akan membangun harus menyetujui persyaratan yang diajukan warga dan warga harus tahu kegiatan apa saja yang akan dilaksanakan.

Penolakan apartemen yang membenturkan publik dengan publik melalui kubu pro dan kontra seharusnya tidak perlu terjadi jika dari awal pengembang bersama pemerintah kab/kota duduk bersama sebelum tiang pancang dan backhoe menggaruk-garuk tanah di pemukiman warga. Nampaknya, proses pendekatan ke masyarakat ini yang luput diperhatikan oleh pengembang, tidak pernah bertemu, sosialisasi tiba-tiba sudah ada mobil alat-alat berat yang lalu lalang di pemukiman warga.

Warga Jogja sebagiannya, menurut saya juga melek peraturan, cukup pintar, kritis dan memahami diskusi soal lingkungan dan tata ruang. Pengembang jika memahami ini justru menjadi kesempatan untuk membuka jalan diskusi selebar-lebarnya dengan warga.

Jalan diskusi yang bisa dilakukan pengembang misalnya, meminta persetujuan ketinggian bangunan terlebih dahulu dengan warga. Dengan ketinggian tertentu apakah ada warga yang dirugikan, jika ternyata lebih banyak merugikan warga, mungkin bisa dipertimbangkan desain yang lebih baik. Kegiatan apa saja yang berlangsung di apartemen itu? bagaimana keamanannya? apakah ada aturan siapa saja yang menghuni apartemen?

Pertanyaan ini penting diajukan warga, karena warga Jogja sangat memegang teguh tradisi dan budaya, dan pengembang harus menghormati itu. Mengapa pertanyaan tentang siapa saja yang menghuni apartemen perlu diketahui agar warga juga merasa bertanggung jawab bersama-sama menjaga keamanan di apartemen tersebut. Bukankah banyak kasus pembunuhan, narkoba dan kejahatan yang juga terjadi di apartemen kota-kota besar?

Jika pengembang tidak ingin direcoki, dicampuri dengan pertanyaan detail seperti itu maka jangan membangun di tengah pemukiman warga, itu resiko dan tanggung jawabnyanya. Selain masalah sosial tadi, alasan warga perlu tahu desainnya seperti apa, ketinggiannya berapa karena Jogja termasuk daerah rawan gempa. Bangunan tinggi yang berada di pemukiman warga akan membahayakan hunian rendah disekitarnya.

Pertimbangan lain seperti ancaman kebakaran, pihak apartemen perlu memperhatikan letak pemukiman sekitarnya, adakah bangunan yang sangat mudah dilahap api, lalu bagaimana menyiapkan desain dan mitigasi agar ancaman kebakaran tidak terjadi.

Diskusi seperti ini yang diharapkan warga, karena dengan dialog terbuka, semua pihak akan menyampaikan masalah dengan jelas. Saat ini warga menolak apartemen, tapi bingung juga, menolak karena apa? jangan-jangan disusupi kepentingan juga, misalnya motif bisnis tadi, kos ekslusif vs apartemen. Manfaat lain yang didapat pengembang, dan penghuni apartemen jika menjalin hubungan baik dengan warga sekitar adalah jaminan keamanan dan kebersamaan. Kalau terjadi masalah, tentu warga dengan sukarela siap membantu, karena menganggap kawasan apartemen adalah bagian dari lingkungan pemukiman mereka.

Di Jogja, warga aslinya masih memiliki peran penting dalam mengatur tatanan sosial, sehingga struktur organisasi setingkat dukuh masih berjalan sangat baik.  Jika sejak awal pengembang sudah memusuhi warga apalagi sampai terjadi konflik, maka tidak mengherankan jika sepanjang pembangunan hingga apartemennya dihuni warga tidak akan bertanggung jawab terhadap masalah yang terjadi di apartemen.

***

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun