Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Catatan Artikel Utama

Gerakan Non-Tunai dan Peluang Kota Cerdas

30 Maret 2015   06:43 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:49 215
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_406404" align="aligncenter" width="600" caption="Suasana di kantor Bank BPD DIY ketika melakukan pemesanan kartu Flazz Non Tunai untuk pembayaran tiket Trans Jogja (Maret 2015) Foto: Ratih Purnamasari"][/caption]

Karena teknologi dan pergaulan, masyarakat kita kini, terutama di kota, bergerak lebih cepat, lebih luas. Transaksi perdagangan melibatkan semakin banyak kartu, rekening bersama, meminimalkan uang yang dipegang. Meski terkadang kelihatannya membingungkan, kota dan teknologi pembayaran nontunai kenyataannya tumbuh searah.

Dalam konsep praktis, di Jakarta, Gubernur Ahok menerapkan tiket elektronik pelayanan bus dan meteran parkir otomatis (electronic road parking), mendigitalisasi berbagai loket pelayanan publik, mengurangi transaksi tunai demi “transparansi penggunaan anggaran.” Dari sudut pelayanan yang diterima publik, masyarakat merasakannya dalam dua pengertian resolutif: kecepatan pelayanan, dan kemudahan bertransaksi.

Tapi kecepatan dan kemudahan yang ditawarkan Gerakan Nasional Non-Tunai (begitu Bank Indonesia mengampanyekannya) sebetulnya sudah mulai merebak ke kota-kota di luar Jakarta. Tentu dalam skala yang lebih kecil. Tetapi sebagaimana di Jakarta, pengamatan terhadap Gerakan Non-Tunai justru tampak dari pelayanan publik yang paling masif dan akrab. Saya ambil contoh moda bus massal Trans Jogja yang sudah mengakomodasi dilengkapi sistem pembayaran nontunai.

Pada awalnya saya tidak menyadari jika kartu bayar Trans Jogja (bentuknya Kartu Flazz BCA dan BPD) yang sejak setahun yang lalu saya simpan itu termasuk alat transaksi nontunai. Tahun 2012, ketika memutuskan untuk melanjutkan studi di kota Jogja, maka untuk pertama kali itu pula saya menemukan moda transportasi publik yang jauh lebih maju dibanding kota asal saya. Enam bulan menggunakan moda ini, saya mendapati promo kartu Flazz oleh seorang sales, yang menjelaskan manfaat menggunakan kartu tersebut untuk keperluan pembayaran tiket bus.

Jujur saya sangat tertarik, terutama saat itu sales menjelaskan sedang ada promo besar-besaran, di mana pemegang kartu Flazz cukup membayar sebesar Rp.1.000,- saja setiap pembayaran tiket Trans Jogja selama sebulan. Sisanya di bulan berikut, harganya akan menjadi sekitar Rp.2.000,- sekali jalan. Bagi saya harga Rp.2.000,- ini masih cukup murah dibanding pembayaran tunai yang setiap perjalanan one way menghabiskan  Rp.3.000,-.

Setelah menggunakan kartu Flazz cukup lama (dan sempat tidak saya isi ulang beberapa bulan) maka pada November 2014 tahun lalu saya mendengar istilah Non-Tunai yang dipaparkan oleh Ibu Ita Rulina selaku Deputi Direktur Kebijakan MakroPrudensial Bank Indonesia saat menghadiri Acara Nangkring BI di Yogyakarta.

Awalnya saya agak bingung dengan fungsi kartu kredit (termasuk kartu debit) dan kartu non-tunai, karena kartu non tunai untuk transaksi. Setelah mendengarkan penjelasan tentang kartu kredit serta manfaat dan masalah yang ditimbulkan,di acara nangkring itulah saya kemudian mengerti perbedaan besar antara kartu kredit, debit, dan kartu bayar non-tunai.

Lalu, saya mulai berpikir-pikir. Dengan sejumlah kemudahannya, apakah saya benar-benar memerlukan kartu-kartu pembayaran non-tunai?

Kecepatan dan Kemudahan yang ditawarkan sistem pembayaran tentu selalu jadi pertimbangan utama. Dari beberapa pengalaman, dengan kartu saya tidak perlu berurusan dengan pihak Bank setiap bulan untuk mengurusi tagihan. Justru sebaliknya, saya cukup membeli sekali saja dengan pihak Bank maka setelahnya tanggung jawab ada pada saya, menjaga agar kartu non-tunainya tidak hilang (karena berbeda dengan kartu debit, kartu bayar non-tunai tidak terikat sebagai rekening pribadi sehingga bisa dipakai oleh siapapun).

Alasan tambahan menggunakan kartu non tunai tentu adalah kejelasan.

Pembelian kartu dengan saldo uang elektronik sejumlah nominal tertentu yang telah disepakati sejak awal akan memudahkan saya dalam melakukan berbagai transaksi sekaligus mengontrol pengeluaran keuangan untuk keperluan tertentu selama sebulan. Dan ya, selama dijaga dengan baik, kartu non-tunai juga menghindarkan pemilik kartu dari berbagai bentuk penipuan yang sering terjadi pada pemilik kartu kredit.

Kartu Non Tunai Dukung Konsep Kota Cerdas

1.Kartu Flazz Untuk Trans Jogja

Karena saya seorang mahasiswa Tata Kota, saya menghubungkan kemudahan transaksi terotomatisasi seperti GNNT ini dengan konsep berkembangnya kota. India yang mulai memperkenalkan ahli IT terhebat negaranya kini menyebut era non-tunai sebagai era "Electronic Payment Decade" dan mulai menggunakannya di beberapa pusat perbelanjaan.

Dalam buku Digital City dipaparkan tentang konsep kota cerdas yang berorientasi pada kemudahan dan transparansi pelayanan publik dengan memanfaatkan teknologi. Salah satunya adalah E-goverment, sebuah sistem komputerisasi data-data publik yang dikelola dengan sistem digital. Di masa depan E-goverment ini akan melayani pembayaran pengurusan E-KTP, dan pajak dengan sistem non-tunai untuk menghidari korupsi di pemerintahan.

[caption id="attachment_406405" align="alignnone" width="600" caption="Bentuk slip pengisian uang non tunai, sambil dijelaskan beberapa kegunaan kartu Flazz oleh Customer Services Bank BPD (Foto: Ratih Purnamasari)"]

1427672197111649608
1427672197111649608
[/caption]

Jakarta pelan-pelan sedang menerapkan ini (sambil bergelut dengan perilaku koruptif bertahun-tahun) Surabaya juga contoh kota cerdas yang fokus dalam pelayanan publik, seperti keterbukaan informasi dan kemudahan mengakses program-program pemerintah melalui situs pemerintah kota yang selalu up to date.

Lantas, sebetulnya apa hubungan antara gerakan Non Tunai dengan konsep kota Cerdas?

Konsep kota cerdas ditopang oleh enam kegiatan utama seperti penanganan limbah, sampah, transportasi, ekonomi kota, lingkungan dan pengembangan sarana/prasarana.  Saat ini untuk transportasi cerdas, Yogyakarta telah memiliki transportasi umum seperti Trans Jogja. Kemajuan lebih pesat yang dilakukan pemerintah kota Yogyakarta adalah dengan menggandeng pihak Bank untuk menerapkan sistem non-tunai dalam pembayaran tiket Trans Jogja.

Bagi saya pribadi, menggunakan kartu non-tunai untuk pembayaran tiket bus lebih banyak memberi keuntungan karena selalu ada diskon harga tiket sampai 50% setiap hari Senin, Rabu dan Jumat . Bagi pejalan rutin, ini keuntungan yang sulit ditolak. Lagipula kartu non tunai untuk transportasi publik sangat tepat dikembangkan di kota wisata seperti Jogja, khususnya bagi turis asing agar tidak repot-repot menukar mata uangnya hingga ke mata uang dalam bentuk receh.

[caption id="attachment_406406" align="alignnone" width="600" caption="Menggunakan kartu Flazznya cukup mudah, tinggal tempel di mesin yang ada tulisan tap, maka pembayaran tiket bus akan terekam langsung, dan saldonya bisa kita lihat saat itu juga. (Lokasi Terminal Condongcatur, Sleman) "]

1427672327904268673
1427672327904268673
[/caption]

Jika kota-kota kita diarahkan menjadi lebih cerdas (Smart City) dalam hal infrastruktur dan penyelenggaraan pelayanan, maka digitalisasi pembayaran untuk berbagai  keperluan publik menjadi hal yang mutlak. Terutama, yang menyangkut keseharian paling sederhana dari masyarakat.

2.Kartu Non-Tunai untuk Parkir

Suatu hari Ibu teman saya sempat dibuat kesal oleh petugas parkir di Malioboro, gara-gara tarif parkir yang melambung tinggi setelah lebaran. Tidak hanya ibu teman yang pernah dibuat kesal, saya sendiri pernah dibuat jengkel saat harus membayar biaya parkir sepeda motor sebesar Rp.3.000,- dengan alasan telah memasuki kawasan khusus.

Belakangan setelah marak soal protes warga atas tarif parkir yang harganya dua kali lipat itu, muncul isu jika sebagian tukang parkir ini adalah petugas parkir liar. Mereka ini sering memanfaatkan momen perayaan dan kegiatan tertentu untuk menarik keuntungan berlipat-lipat, seperti ketika ada acara hiburan selama seminggu di Taman Sari (Pasar Ngasem), atau setelah lebaran di kawasan Malioboro.

Saya membayangkan kartu bayar non-tunai juga dapat digunakan untuk pembayaran tarif parkir di kawasan pusat belanja, dan wisata guna mengurangi kecurangan tarif oleh petugas parkir liar. Jika diterapkan, warga juga tidak perlu curiga kepada pemerintah terkait dana parkir yang disetorkan kepada petugas parkir, karena telah melakukan pembayaran parkir melalui merchant atau pemindai elektronik yang tersedia di sub-sub parkir yang tersedia.

Pembayaran parkir melalui kartu Non-tunai juga akan memudahkan pemerintah kota dalam merekapitulasi pendataan dana-dana parkir yang masuk ke rekening mereka, karena lebih transparan, angkanya tentu, serta tidak perlu ada pihak kedua seperti tukang parkir yang motivasinya bisa bermacam-macam.

3.Kartu Non Tunai untuk Pembelian Tiket Kereta Api

Saat ini pembelian tiket kereta api semakin memudahkan orang-orang dalam bepergian. Tidak perlu mengatri lama-lama di stasiun kereta api, cukup mendatangi gerai minimarket tertentu untuk melakukan pembelian tiket. Di stasiun-stasiun khusus disediakan instalasi Cetak Tiket Mandiri yang kini banyak digemari meski masih sering bermasalah.

Saya  menghadiri acara Kompasianival di Taman Mini Indonesia Indah, Jakarta November 2014. Sebelum berangkat saya hanya membeli tiket berangkat saja, karena rencananya tiket pulang ke Jogja saya beli di Stasiun Senen saja. Saya tidak menduga jika ada perubahan rencana oleh teman yang menyebabkan pembelian tiket balik Jogja harus kami selesaikan setelah acara Kompasianival selesai sekitar pukul 22.00.

Dalam perjalanan menuju hotel, kami tidak berfikir mengambil uang di mesin ATM karena saat itu sudah tengah malam dan kami yakin ada mesin ATM di dalam minimarket tersebut. Untuk situasi ini, kami masih beruntung karena ada mesin ATM yang disediakan minimarket tersebut, tapi bagaimana jika tidak ada mesin ATM? jadilah malam itu kami akan keliling mencari gerai ATM di kota yang tidak kami kenali.

Saya menggumam bahwa pembelian tiket kereta di semua stasiun tentu akan lebih mudah jika menyediakan alat pembayaran non-tunai untuk pembelian jenis tiket apapun. Bagi pengguna kereta jarak pendek metro seperti KRL atau commuter line, tiket kereta yang di-elektronisasi juga akan memberi kemudahan ekstra bagi mereka yang punya waktu terbatas dan bergerak serba-cepat. Tantangannya, penerapan non-tunai untuk pembayaran moda kereta api menuntut keberaturan sistem dan ketepatan waktu yang lebih baik. Sayangnya, itu masalah mendasar kita selama ini.

Pasar Kartu Non Tunai Untuk Orang Muda

Dalam pandangan saya yang tinggal di kota pelajar seperti Yogyakarta, potensi transaksi oleh kelompok mahasiswa—yang jumlahnya sebesar 310.860 di tahun 2013--merupakan pasar yang begitu besar untuk menyukseskan Gerakan Nasional Non Tunai oleh Bank Indonesia.

Orang muda di bawah 40 tahun merupakan pengguna moda bus, kereta api dan lahan parkir paling besar dari kelompok usia lainnya. Saya pikir golongan ini juga paling aktif bertransaksi dan paling sering ke ATM atau merchants.

Pelayanan publik yang banyak digunakan kaum muda seperti Trans Jogja (dengan kartu-Flazz-nya) dan pembelian tiket kereta api sejalan dengan teknologi gadget yang dengan berbagai aplikasi transaksi elektronik yang dimiliki anak-anak muda.

Tren penggunaan kartu non-tunai di dalam 5 tahun kedepan sangat besar karena didukung dengan perkembangan teknologi gadget yang setiap waktu terus mengalami inovasi.

Laporan Tempo.co, pada 2014 lalu Bank Rakyat Indonesia (BRI) menargetkan 13 triliun transaksi nontunai dengan menambahkan sekitar 13.000 Electronic Data Capture (EDC). Untuk catatan yang sama, mereka mencatat volume transaksi melalui kartu debit, ATM, dan kartu kredit selama 2014 meningkat menjadi 2,7 triliun atau 100% dari volume transaksi tahun lalu 996miliar. Sementara khusus untuk BRIZZI, layanan kartu non-tunai BRI, capaian transaksi menyentuh angka 172,66miliar (Sindonews).

Bank-bank lain yang khusus menyasar pelanggan pelajar dan mahasiswa seperti BNI dan Mandiri tentu punya angka sendiri-sendiri. Yang jelas, ini jadi pengukur apakah masyarakat kita benar-benar menyambut era pengurangan transaksi tunai (less-cash society). Dalam bingkai Kota Cerdas, respon publik terhadap inovasi pelayanan dan sistem pembayaran perlu diukur dan dibandingkan dari tahun ke tahun.

Masalah dan Kendalanya

Dengan beragam kemudahan dan sejumlah inovasi yang ditawarkan oleh kartu non tunai, kini yang jadi masalah adalah jumlah merchant yang khusus melayani kartu uang elektronik. Suatu hari saya berniat ingin memiliki uang elektronik, tidak hanya dalam bentuk kartu Flazz saja. Tetapi saya harus kecewa karena dari informasi yang saya temukan prasarana yang disediakan seperti merchant untun kartu non-tunai belum sebanyak merchant untuk kartu debit.

Uang elektronik untuk saat ini hanya melayani transaksi pembelian buku di toko buku tertentu saja, padahal di kota pelajar ini ada banyak toko buku yang bisa jadi pilihan utama. Akan tetapi setelah bertanya langsung dengan Customer Services Bank BPD, pihak CS ini mengungkapkan jika kartu Flazz ini dapat digunakan untuk beberapa transaksi selain pembayaran tiket bus trans, tergantung apakah pusat belanja ini menyediakan transaksi Flazz non-tunai.

Untuk keperluan pembelian barang dan jasa lain juga akomodasi uang elektronik masih terbatas, meskipun bisa diganti dengan kartu debit. Sebagai pengguna praktis, saya menganggap transaksi debit cocok untuk jumlah pembayaran di atas batas tertentu (dalam kasus saya, katakanlah Rp Rp 100.000,-). Uang elektronik seperti Flazz dan Brizzi membantu untuk pembelian “receh-receh” tetapi penting dalam rutinitas tadi.

Dalam perkembangan transaksi dan berbagai kemudahan pelayanan publik di lima tahun mendatang, saya berharap merchant non-tunai khususnya untuk kartu-kartu uang elektronik dapat menjangkau lebih luas bentuk pelayanan publik dan jasa komersial.

Dan untuk era seperti sekarang yang sudah menuntut kecepatan, kemudahan, kejelasan, sangat patut jika kita melakukan lompatan jauh dengan gerakan nasional non-tunai. Siapa tahu, jika Kota Cerdas kita benar-benar terbangun dan dinikmati secara menyeluruh, kita bahkan tidak sadar bahwa kemudahan beraktivitas sudah kita genggam dalam bentuk yang tipis dan begitu ringan, juga tidak perlu diterawang untuk memastikan keasliannya.

*

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun