Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ketika Saya Berjalan Kaki

27 Maret 2015   13:25 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:55 56
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

[caption id="" align="aligncenter" width="450" caption="Suasana penyebarangan pejalan kaki di Singapura (2011)"][/caption]

Saya teringat dengan kata-kata Dino Patti Djalal dalam akun Twitter-nya bahwa kemampuan kelas menengah orang Indonesia saat ini telah menghilangkan nikmatnya kemampuan berjalan kaki. Mungkin memang benar pernyataan Dino Patti Djalal, karena di kota besar ini hanya ada segelintir orang seperti saya yang memilih berjalan kaki, tapi bukan karena tidak memiliki kendaraan.

Sejak bulan September 2014 hingga sekarang, saya memutuskan untuk menggunakan Trans Jogja setiap beraktivitas. Sebelum menggunakan Trans Jogja secara rutin begini, saya biasa menggunakan sepeda motor. Saya tetap menggunakan sepeda motor untuk urusan kampus atau survei lapangan. Bagi saya sendiri sebenarnya menggunakan Trans Jogja jauh lebih nyaman dibandingkan menggunakan sepeda motor. Sayangnya, berjalan kaki di trotoar menjadi pemandangan aneh ditengah kerumunan kendaraan yang berlalu lalang setiap detik, menit , jam dan hari. Ketika berjalan kaki saya melihat beberapa kecelakaan yang disebabkan karena hal sepele namun berakibat fatal. Misalnya oli yang tercecer di jalan, dan pengendara mobil yang ugal-ugalan. Contoh kecelakaan yang saya saksikan seperti yang terjadi di perempatan Mirota Kampus (Sleman Yogyakarta). Siang sekitar pukul 10.30 di bawah Traffic Light saya berhenti untuk membaca sebuah pengumuman di baliho depan Mirota Kampus. Tiba-tiba motor dengan kecepatan tinggi mengarah ke utara (Kopma UGM) terpental dan jatuh, pengendara motor di belakangnya kaget dan tidak bisa menghindarkan motornya dari motor korban pertama. Pemilik motor kedua juga terlempar di tembok pembatas gedung Sekolah Vokasi UGM. Beruntung masih ada pembatas trotoar, sehingga motornya tertahan di pembatas trotoar tersebut dalam keadaan masih menyala. Pengalaman lain yang saya rasakan sendiri yaitu ketika berjalan kaki menuju shelter Trans Jogja. Depan sebuah bangunan yang sedang direnovasi  saya tiba-tiba terpeleset dengan posisi kaki yang mengarah ke jalan. Lokasi kejadiannya di jalan Gejayan, lalu lintas juga cukup padat di jalan ini. Ketika mencoba beridi saya kembali terjatuh karena pijakan saya cukup licin gara-gara tumpukan pasir halus dengan posisi trotoar yang miring. [caption id="" align="aligncenter" width="445" caption="Tumpukan material sisa renovasi salah satu bangunan di depan Jalan Gejayan (Sleman)- Dokumentasi: Ratih Purnamasari"]

[/caption] Sebenarnya bukan trotoar juga namanya, karena nyaris tidak ada lagi trotoar di depan bangunan toko sepanjang Jalan Gejayan. Saya menggerutu sepanjang perjalanan, bertanya-tanya sendiri mengapa pemilik bangunan tidak mempertimbangkan faktor keselamatan pengendara motor atau pejalan kaki yang melintas di depan bangunan yang sedang direnovasinya. Tumpukan kayu, pasir dan sisa renovasi masih berserakan di jalan, untungnya saat saya terpeleset tidak ada kendaraan di belakang, jika tidak beruntung mungkin kaki saya sudah dilindas motor atau mobil. Tidak bermaksud membandingkan kota di Indonesia dengan negara maju, akan tetapi saya merasakan betul bagaimana nyamannya berjalan kaki di Singapura. Area pejalan kaki didesain dengan baik, pedestriannya cukup lebar, dengan lebar pedestrian kira-kira 4 m. Berbeda dengan beberapa kota besar yang pernah saya tinggali, berjalan kaki merupakan perjuangan cukup berat. Masih beruntung di kota Jogja saya masih bisa berjalan kaki, walaupun kurang aman. Siapa yang tidak ingin berjalan kaki atau bersepeda di kotanya? jika ditanya demikian saya akan menjawab “Ya saya mau bersepeda, berjalan kaki”. Tapi melihat brutalnya sebagian pengendara di jalan, nyali saya agak kendur juga, terlalu banyak khawatirnya. [caption id="" align="aligncenter" width="500" caption="Pedestrian dan taman di Singapura (2011)"]
Pedestrian dan taman di Singapura
Pedestrian dan taman di Singapura
[/caption] Kekhawatiran saya diperparah oleh pengendara yang susah membedakan jalan dan trotoar, karena trotoar di kota kita terkadang masih diserobot pengendara motor. Iri juga rasanya, melihat bule-bule begitu menikmati perjalanan mereka dengan sepeda di kota ini, seakan-akan sudah akrab dengan mental pegendara motor Indonesia yang masih ugal-ugalan. Kota Jogja dibandingkan kota lain sepertinya sudah lebih berpengalaman menerapkan kenyamanan bersepeda. Saya pernah ke Semarang dan 4 tahun tinggal di Makassar, namun tidak menemukan rambu-rambu khusus untuk pesepeda dan pejalan kaki. Keluhan lain yang sering saya dengarkan dari teman misalnya, karena faktor suhu dan udara yang sangat panas menyebabkan mereka enggan menggunakan sepeda atau berjalan kaki. Pendapat mereka tidak sepenuhnya salah, karena di Singapura zona pesepeda dan pejalan kaki dilengkapi dengan pohon-pohon peneduh sepanjang jalan. Kabarnya untuk memiliki kendaraan di Singapura sangat sulit, dan biayanya dua kali lipat dengan harga kendaraan. Ini belum termasuk aturan lain yang diterapkan pemerintah Singapura seperti ERP (Electronic Road Pricing) bagi kendaraan roda empat yang memasuki pusat kota di Singapura. Berhasil di Singapura belum tentu berhasil di Indonesia, karena kondisi transportasi publik di Indonesia belum semaju Singapura. Alasan pemerintah Singapura menerapkan ERP agar sebagian warganya mau menggunakan transportasi publik. Bedanya, warga Singapura mau saja dipindahkan menggunakan transportasi publik, karena kondisinya yang nyaman dan aman, juga bebas macet. Pertumbuhan kendaraan bermotor di Jakarta saja pada tahun 2010 mencapai 6,7 juta unit dengan komposisi kendaraan roda dua 4,3 juta unit dan roda empat 2,4 juta unit (Data: Koalisi Warga  untuk Transport Demand Management [Koalisi TDM]). Peningkatan jumlah pengguna kendaraan bermotor juga tidak lain dipengaruhi karena promosi perusahaan bermotor yang gencar dilakukan dengan penawaran cicilan yang sangat rendah. Sementara di bidang pelayanan publik, kita jarang menemukan kebijakan yang menarik untuk meningkatkan jumlah pengguna transportasi umum. Pengalaman saya berjalan kaki tidak hanya menyinggung kota tapi juga soal cara pandang kita terhadap kota. Selama ini kita menikmati liburan di luar negeri dan menceritakan banyak pengalaman melalui foto tentang fasilitas umum di sana. Kita mengabarkan yang indah-indah, tapi jarang membahas kekurangan di negeri kita, padahal masalah dan solusinya mungkin sama: pengaturan, ketaatan dan kebiasaan. Semakin sering menjajal kota sendiri, akan semakin banyak cerita yang menjadi bahan koreksi. Saya berjalan kaki, mencoba melakukan itu, biarpun berkali-kali mencoba, dan berkali-kali pula kecewa. Yang jelas, sebagai seorang penduduk saya berharap banyak dan juga berusaha bersuara banyak. Selama beberapa tahun terakhir saya menuliskan tentang kota dan mendapat banyak respon dari orang yang ternyata merasakan hal yang sama atau bahkan lebih buruk. Mungkin keluhan saya sama dengan banyak orang, hanya saja sudut ceritanya berbeda-beda. [RP]

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun