Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

yang Terlupakan (Kiprah Ilmuwan Indonesia di Tanah Asing)

14 Juli 2013   13:10 Diperbarui: 24 Juni 2015   10:34 1315
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ketidakseimbangan “asupan gizi” informasi bagi pemirsa/penonton Indonesia memang tak terelakkan lagi. setiap hari kita hanya dijejali siaran yang itu-itu saja. Bahkan siaran politik pun lebih mirip acara talk show selebriti dengan topik biasa yang dipanas-panasi oleh pihak stasiun tv. Jarang sekali ada stasiun tv yang mengulas kiprah mengenai kontribusi anak muda Indonesia yang sukses di luar negeri. Padahal informasi ini tentu sangat bermanfaat bagi anak muda Indonesia untuk membangkitkan semangat mereka meraih cita-cita dan melakukan banyak hal untuk negara dan khususnya bagi pengembangan potensi diri.

Biaya yang dikeluarkan untuk politik memang besar, karena Indonesia memang besar ditinjau dari segi geografisnya. Gejolak politik yang terjadi di berbagai daerah lebih mendominasi konsentrasi pemerintah. Biaya penelitian?Atmosfer untuk riset dan kesejahteraan ilmuwan saja bahkan sangat nihil/minim dana segar. Melihat pemberitaan di media dengan ragam berita bombastis seakan memutus harapan apakah bangsa kita sama sekali tak memiliki kebanggaan apa-apa lagi?.

Tidak heran apabila banyak peneliti dari Indonesia yang hengkang ke luar negeri, karena mereka (ilmuwan) lebih dihargai di tanah asing. Sementara di dalam negeri, anak-anak dituntut untuk meraih prestasi di berbagai bidang untuk mengharumkan nama bangsa, namun semua itu hanya semusim, entah beberapa tahun kemudian kiprah mereka tak terdengar lagi. Saya yakin bangsa kita tidak tuli dengan gaung kiprah anak Indonesia yang ada diluar sana, bangsa mendengar tapi tidak mampu berbuat apa-apa.

[caption id="" align="alignnone" width="320" caption="Achmad Aditya (Sekjen Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (2009-2011) )"][/caption]

Kita patut bangga bahwa  ada di seberang sana, Jerman, Amerika, Jepang, Asutralia, Thailand, Belanda, dan beberapa belahan lain menyatukan diri dalam 1-4 (Ikatan Ilmuwan Internasional Indonesia). Adalah Achmad Aditya, kelahiran Tanjung Karang, Lampung, 13 Oktober 1979 yang menjabat Sekjen Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (2009-2011) dan kandidat doktor bidang kelautan di Universitas Leiden bekerja keras dan konsisten mengumpulkan, mencari tahu berapa banyak ilmuwan Indonesia di luar negeri, siapa mengerjakan apa, dan di mana alamat mereka. Setelah itu menghubungi satu per satu, membujuk, dan meyakinkan mereka tentang ide Ikatan Ilmuwan Indonesia Internasional (I-4) agar memberi komitmen.

Aditya berpendapat bahwa sepak terjang orang di Indonesia tidak bisa dianggap remeh. Ilmuwan Indonesia bahkan banyak yang memberi kontribusi besar bagi kemajuan negara asing, salah satunya adalah Nelson Tansu. Nelson Tansu Pria kelahiran 20 Oktober 1977 ini adalah seorang jenius. Ia adalah pakar teknologi nano. Fokusnya adalah bidang eksperimen mengenai semikonduktor berstruktur nano. Teknologi nano adalah kunci bagi perkembangan sains dan rekayasa masa depan. Inovasi dari ilmu yang dikuasai oleh Nelson Tansu akan mempengaruhi kehidupan sehari-hari umat manusia di seluruh dunia. Salah satu penemuannya adalah mampu memberdayakan sinar laser dengan listrik superhemat. Sementara sinar laser biasanya perlu listrik 100 watt, di tangan Nelson Tansu cuma perlu 1,5 watt (Suhud Haris).

[caption id="" align="aligncenter" width="145" caption="Nelson Tansu (Assistant Professor di Universitas Lehigh (Lehigh University) pada usia 25 tahun (sejak Juli 2003). Tansu menyisihkan lebih dari 300 doktor untuk mendapatkan jabatan Assistant Professor tersebut di Universitas Lehigh sejak Juli 2003)"][/caption]

Jika ilmuwan Indonesia memilih mengembangkan ilmu mereka di luar bukan berarti nilai nasioanalisme itu sudah tidak ada. Mereka tidak buta, tidak tuli dan tidak peduli, melainkan mereka juga bersusah payah dan bekerja keras agar akses ilmu dapat menjangkau masyarakat Indonesia. Melalui blog pribadi Achmad Aditya dan Nelson Tansu, mereka berusaha dengan menginspirasi anak muda Indonesia agar terus berjuang memajukan bangsa. Bung Karno menuturkan bahwa nasionalisme dan internasionalisme bisa menjadi taman yang elok jika keduanya bekerjasama. Hal terpenting bagi ilmuwan-ilmuwan ini adalah tidak mengubah kewarganegaraannya mengingat perjuangan lahirnya Indonesia sungguh luar biasa. Hal yang sangat menginspirasi saya adalah fakta bahwa setiap memulai mengajar Nelson Tansu selalu mengatakan I am an Indonesian saat mulai mengajar.

Seakan tak ada habisnya cerita sukses anak Indonesia yang berkiprah di luar negeri. Pemerintah sudah saatnya menghimpun dan menyatukan seluruh ilmuwan berkebangsaan Indonesia untuk berkiprah di Tanah Air. Dengan jaminan bahwa pemerintah konsisten dan menunjukkan integritas yang sama tinggi dengan mereka (ilmuwan). Selain penghargaan berupa ketersediaan dan jaminan dana penelitian, yang paling penting adalah pemerintah dan seluruh warga Indonesia menghargai kontribusi keilmuwan mereka. Terlalu sempit jika kita berinisiasi bahwa penghargaan itu berupa penghargaan semisal award saja. Lebih dari itu, bahwa pemerintah dan masyarakat menghargai kontribusi ilmuwan dengan mengembangkan akses bagi anak muda Indonesia (generasi muda) untuk menjadi ilmuwan berikutnya.

Tidak hanya di bidang sains dan teknologi. Seluruh prestasi di bidang seni dan olahraga turut menjadi bagian pengembangan keilmuan. Beasiswa tidak disalahgunakan dan dapat dimanfaatkan oleh siswa yang memang pantas mendapatkannya. Selain itu menjaring seluruh siswa berprestasi yang ada di berbagai pelosok daerah dan membina bakat serta potensi mereka oleh tenaga pengajar profesional. Dan yang paling penting adalah media informasi seperti media juga selayaknya mendukung cita-cita bangsa mendidik generasi muda melalui siaran yang mengedukasi. Tidak lagi mencekoki masyarakat Indonesia dengan siaran yang berorientasi hiburan semata. Perlu menanamkan prinsip bahwa hanya metode dan penghargaan terhadap keilmuan yang harus terus menjadi prioritas untuk memajukan Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun