Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Cerita Kota: Minggu Pagi di Mangkubumi-Sudirman dan Serat Centhini

13 April 2014   21:04 Diperbarui: 23 Juni 2015   23:43 705
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di atas panggung utama ada seorang Disk Jockey Perempuan yang begitu enerjik memainkan alat musiknya sambil berlenggak-lenggok. Perhatian saya pun tidak lepas dari sang DJ ini, daya tariknya mampu membuat mata para lelaki yang kebetulan lewat di jalan Mangkubumi tertahan sebentar menyaksikan DJ cantik ini.

Ketika menyaksikan penampilan sendratari Prambanan di jalan Sudirman yang mengisahkan tentang penolakan Roro Jonggrang atas lamaran Bandung Bondowoso pada saat itu juga saya merasa agak merinding. Saat itu saya benar-benar merasakan bahwa Jogja adalah kota sejuta budaya yang memesona.

Ketika lantunan musik Jogja Istimewa mengalun mengiringi sendratari saya mendengar pada bagian rap nya yang berbahasa Jawa. Lirik-liriknya diambil dari serat centhini maupun mantra tradisional sehingga lagu ini terdengar sangat Jawa.

[caption id="attachment_331450" align="aligncenter" width="583" caption="para penampil sendratari Prambanan"]

13973716611664401449
13973716611664401449
[/caption]

[caption id="attachment_331452" align="aligncenter" width="587" caption="Jalan Sudirman disemarakkan oleh penampilan band aliran jazz yang sangat atraktif memainkan alat musiknya"]

13973719061891436747
13973719061891436747
[/caption]

Di tengah ramainya kritikan akan kondisi kota Jogja yang dianggap sudah mulai menujukkan ketidaknyamanan akibat bombastis pembangunan fisik seperti hotel dan mal, terbukti di hari Minggu, saya masih bisa menyaksikan warga kota masih bisa bersenang-senang.

Hari Minggu, ternyata masih menjadi waktu paling manusiawi di kota yang mulai menggapai pembangunannya melalui pembangunan serba menjulang. Di tengah kritik pula, warga kota Jogja seakan menunjukkan jati diri mereka sebagai warga yang masih merindukan ruang publik, masih mendamba kota yang menyediakan jalur aman untuk bersepeda, dan bebas polusi.

[caption id="attachment_331451" align="aligncenter" width="450" caption="1. suasana di sekitar tugu, dipenuhi para pesepeda. 2. aksi corat-coret/grafiti yang ditampilkan komunitas grafiti Jogja"]

1397371778775085040
1397371778775085040
[/caption]

Kebahagiaan ini bisa kita tangkap lewat ekpresi dan gelak tawa anak muda, dan orang tua yang begitu semangat menyaksikan event kreatif ini. Jika sudah begini siapa yang mampu menghalangi kebahagiaan warga kota untuk menikmati keramahan Jogja di hari minggu.

Sebelumnya saya pernah merasa kehilangan Jogja, merasa tidak berbeda dengan kota padat lain yang sebelumnya pernah saya kunjungi. Namun hari ini setelah menyaksikan sendiri hiruk pikuk manusia di tengah jalan, dan puncaknya ketika saya merasa merinding mendengar rap serat centhini dari lagu Jogja Istimewa. Saya semakin yakin kalau inilah Jogja, kota sebenar-benarnya, kota yang memberi kebahagiaan bagi warganya yang dihidupkan oleh budaya dan kreativitas yang tak pernah padam.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun