Socrates Award, penghargaan untuk kategori kota masa depan ini berhasil diraih kota Surabaya, dengan Tri Rismaharini sebagai walikotanya. Namun belakangan penghargaan Socrates mulai dipertanyakan kebenarannya oleh publik. Apakah benar penghargaan tersebut adalah Socrates Award yang katanya sangat bergengsi dalam bidang tata kota?.
Pertanyaan selanjutnya adalah apakah publik di Indonesia sudah paham indikator apa yang terdapat dalam kota masa depan? apakah smart city, compact city dan green city adalah ciri kota masa depan? istilah-istilah seperti ini apakah publik sudah sering mendengarnya?. Kalaupun pernah mendengar, apakah kita sudah benar-benar paham dengan semua istilah konsep kota tersebut?
Sebenarnya saya menyayangkan jika saat ini media dan publik lebih menyoroti kebenaran penghargaan socrates award tersebut. Artinya begini, jika penghargaan ini adalah the real socrates award, lantas apa langkah selanjutnya? Adakah warga kota Surabaya yang sampai sekarang masih menanyakan Socrates itu apa sih? siapa yang tahu?
Kemudian media mengungkap fakta bahwa penghargaan yang diterima Tri Rismaharini bukan Socrates Award, publik akhirnya kecewa, bahkan media “ikut-ikutan” memanas-manasi kekeliruan Tri Rismaharini yang terlalu percaya diri menganggap penghargaan yang diterimanya adalah Socrates Award. Inti masalahnya bukan melihat Socrates Award itu asli atau palsu, tapi sejauh mana publik memahami kriteria kota masa depan hingga mendapat Socrate Award.
Socrates Award itu apa ya? mengapa bukan Patrick Geddes, Ebenezer Howard, dan Courbusier Award?
Kalau media dan publik lebih kritis sebenarnya sejak pertama kali muncul berita bahwa kota Surabaya mendapat penghargaan Socrates Award, publik sudah mulai bertanya, apa Socrates Award itu. Tidak menutup kemungkinan kalau sebagian dari kita mungkin masih mencari-cari di google soal Socrates itu sendiri.
Namun euforia masyarakat dan ekspektasi media yang begitu tinggi akhirnya terjungkir balik ketika mengetahui penghargaan tersebut bukan Socrates Award. Publik tidak mengkritisi, Socrates Award itu seperti apa, mengapa dinamakan Socrates, sedikit memalukan tapi mencerahkan karena mencari kata Socrates dalam kamus Inggris-Indonesia, yang hasilnya tidak ada dalam kamus manapun, karena Socrates itu nama seorang filsuf Yunani.
Dari beberapa sumber informasi mengenai Socrates, Socrates merupakan seorang filsuf yang sangat terkenal di Athena karena pemikiran revolusionernya yang menganggap bahwa ilmu pengetahuan itu relatif dan tidak ada kebenaran mutlak di dalamnya. Pemikiran Socrates dianggap dapat membuat dunia kacau balau, sehingga pada masa itu tidak sedikit pula yang menentangnya.
Banyak pemikiran lain Socrates yang dianggap mempengaruhi cara pandang manusia tentang kehidupan, tentang bagaimana melihat kehidupan ini tidak hanya hitam dan putih saja. Dalam sejarah perkembangan kota, tata kota dan kajian lingkungan penataan kota, ada banyak nama seperti Patrick geddes dengan konsep modern planning, Ebenezer Howard dengan konsep garden city, Habermas dengan pemikirannya tentang ruang publik, Le Corbusier dengan konsep kota utopianya, yang sekarang dikenal dengan future of cities.
[caption id="attachment_335813" align="aligncenter" width="459" caption="Konsep Gerden city Ebenezer Howard (http://urbanplanning.library.cornell.edu/DOCS/howard.htm)"][/caption]
Future cities atau kota masa depan sebenarnya bukan konsep baru yang dikembangkan oleh perenana kota saat ini. Dalam teori jenis-jenis perencanaan kota, future cities masuk dalam kategori Utopia (khayalan, impian dan masa depan).
Pemikiran filosofi pun juga tidak lepas dari konsep kota Utopia ini seperti pemikiran Plato dalam bidang Politik: “Manusia akan lebih baik, lebih bahagia, lebih produktif, lebih religius, apabila tatanan lembaga kemasyarakatan diubah.”
Pemikiran Plato tersebut kemudian diterjemahkan dalam bidang pemerintahan seperti Good Governance yang diaplikasikan lagi dalam konsep Smart City menjadi Smart Government. Penerapan Smart Government ini yang mengantarkan Surabaya meraih kota paling Smart di Indonesia versi Majalah Warta Indonesia.
Lebih mengerucut lagi, salah satu pelopor utopia city adalah Le Courbusier. Pada masa ini pemikiran Plato mengenai kehidupan sosial masyarakat mengalami kemunduran dan lebih menekankan pada pembangunan fisik kota. Pemikiran Le Corbusier yang mempengaruhi konsep kota saat itu adalah: “Kota sebagai mesin, dan kota sebagai pusat konsentrasi penduduk, kota dibuat tumbuh cepat dengan pembangunan untuk meraih keberhasilan.”
Pemikiran Le Courbusier inilah yang banyak terjadi dalam konsep pembangunan kota hingga saat ini. Munculnya ide kota masa depan dengan mengusung konsep pembangunan kota berkelanjutan (future cities versi Le Courbusier), kota hijau (apa bedanya dengan konsep kota garden city) sebenarnya hanya mengulang konsep kota di masa lalu yang disisipi masalah perubahan cuaca ekstrim dampak dari pemanasan global.
Maka ramailah bahasan mengenai green city, harus lebih banyak kebun, lebih banyak taman, dan masih banyak lagi rekayasa hijau yang mulai dilirik calon walikota sebagai ide kampanye paling membumi saat ini.
Kota masa depan itu seperti apa?
Masa depan, membayangkan kota masa depan di Indonesia apakah harus sama dengan konsep kota masa depan negara di Eropa? Jawbannya tentu tidak. Misalnya Jawa, punya filosofi sendiri seperti “Gemah Ripah Loh Jenawi, Tata Titi Tentrem Kerto Raharjo dan Adil Poro Marto”. Filosofi Jawa jika diterjemahkan dalam pembangunan kota dan pemerintahan tentu memiliki pesan sendiri yang lebih mengakar dengan budaya masyarakat setempat.
Terjemahan nilai-nilai filosofi Jawa ini kemudian bisa menghasilkan indikator yang lebih spesifik untuk menjadi ukuran atau persepsi tentang kota masa depan seperti apa yang orang Jawa inginkan, begitupun dengan kota lain di Indonesia. Kota Tentrem mungkin atau Barokah City?, nah ini hanyalah brand kota saja, yang paling penting adalah melihat bagaimana nilai-nilai filosofis jawa ini memang berjalan dalam tata pemerintahan, dan tata kota.
[caption id="attachment_335812" align="aligncenter" width="400" caption="dasar pemikiran future cities (kota masa depan). sumber: mata kuliah teori perencanaan MPKD UGM"]
Negara-negara maju di Eropa harus diakui memang mampu menjual brand kota mereka. Akhirnya muncul konsep Smart city, yang mencakup beberapa komponen seperti ekonomi, lingkungan, pemerintahan, transportasi, utilitas dan tempat tinggal. Konsep Smart city di Copenhagen (Denmark) sangat fokus pada bidang energi terbarukan dengan target hingga 0% emisi di kotanya. Lantas bagaimana dengan kota di Indonesia?, sebenarnya kota di Indonesia smart untuk kategori apa?.
Kota masa depan yang ada dalam bayangan orang Indonesia itu seperti apa, sementara kiblat kota masa depan di negara kita lebih banyak mengutip keberhasilan negara maju. Sustainable city, atau kota berkelanjutan, kemudian muncul lagi, compact city, green city dan smart city. Semua konsep ini memiliki kesamaan, smart city bisa menjadi bagian dari compact city dan green city (mikro) juga bisa menjadi bagian dari smart city dan compact city.
Tujuan paling dominan dari konsep-konsep di atas adalah memaksimalkan penggunaan energi kemudian beralih pada sumber energi terbarukan. Hasilnya diharapkan mampu mengurangi dampak dari pemanasan global. Namun beberapa kritikan terhadap konsep di atas sangat gamblang dijelaskan oleh Boyd Cohen seorang konsultan/peneliti asal Argentina yang menulis banyak tentang smart city.
Salah satu tulisan Cohen yang menurut saya bisa membuka pandangan publik lebih luas tentang Smart city adalah “Smart cities in stupid country”. Tulisan Cohen bisa menampar kebijakan pemerintah manapun yang mengembangkan Smart city dalam negara yang kebijakan publiknya masih konyol.
Lihat saja Jakarta, kepemimpinan Jokowi yang menargetkan Jakarta menjadi kota masa depan masih terganjal dengan kebijakan pemerintah pusat dan kepentingan antar kementerian. Masih ingat soal kebijakan mobil murah dari Jepang yang disetujui pemerintah Indonesia melalui salah satu kementeriannya?. Ini kotanya yang mau cerdas tapi sayangnya pemerintahan di negaranya kadang bertindak tidak masuk akal.
Sisi lain, konsep kota itu sendiri sering terbalik-balik, tidak jelas karena terlalu banyak, hingga tidak ketahuan, yang ingin dikejar pembangunan kota tipe seperti apa?. Ketika berbicara green, muncullah berbagai macam rekayasa hijau, seperti gedung hijau, yang memiliki taman pada bagian atap gedung, penggunaan panel surya atau menggunakan alternatif lain seperti memanfaatkan botol bekas.
Salah kaprah soal green banyak terjadi di tahap ini, mencari barang pengganti misalnya dengan menggunakan botol, padahal untuk mendatangkan botol ke tempat produksi butuh energi yang lebih besar, seperti bahan bakar, ini green tapi tidak berkelanjutan.
Rekayasa transportasi pun sepertinya masih bias, seperti dengan membangun jalan/jembatang layang. Asumsinya jembatan layang mengurangi atau mengurai kemacetan lalu lintas.
Padahal hukum alamnya ruang semakin bertambah, maka semakin padat, mengisi ruang yang kosong. Begitupun dengan transportasi, bukannya mengurangi macet, jembatan layang, malah menambah kemacetan. Beda dengan menambah gerbong kereta komuter, atau menambah bus kota.
Semakin banyak bus, maka semakin banyak yang bisa diangkut, jika pelayanan bus semakin baik dan jumlah armada juga banyak tentu masyarakat tidak pikir-pikir panjang untuk menggunakan bus.
Tak ada Socrates Award,
Bicara atau membahas kota bukan lagi urusan perencana kota, sekarang masyarakat punya andil besar di dalamnya. Soal penghargaan Socrates award yang tidak jelas pula mengapa menjadi tolak ukur untuk penghargaan penataan kota sebaiknya disingkirkan saja.
Kota masa depan yang didengung-dengungkan seperti smart city maupun sustainable city rupanya masih abu-abu dalam pemahaman sebagian besar masyarakat dan pemerintah di Indonesia. Hal yang menjadi porsi dan proporsi sering terbalik-balik dalam merumuskan kebijakan penataan kota.
Bicara banyak soal rekayasa hijau namun dasar perhitungan untuk memilih satu kebijakan hampir tidak berdasar sama sekali contohnya energi dan transportasi tadi. Mau tidak mau harus kembali lagi dari nol, soal energi terbarukan jangan lupakan prinsip entropi.
Soal kota kompak (compact city) jangan lupakan isu Urban Heat Island, bahwa ketika kepadatan bangunan terkonsentrasi dalam satu kawasan akan memicu terjadinya urban heat island, meningkatnya suhu panas di dalam kota atau kawasan dan tidak berpindah.
Jadi terlepas dari asli atau tidaknya penghargaan Socrates Award kota Surabaya, sebenarnya bukan masalah besar yang wajib dibesar-besarkan. Sebab pembahasan tentang indikator untuk kota masa depan di negara kita masih terbata-bata, target yang ingin dicapai kota-kota di Indonesia pun masih meraba-raba, karena masalah pokok (bukan kebutuhan utama) kota di Indonesia masih sangat dasar sekali, yakni soal sampah, macet, dan banjir.
Upaya Tri Rismaharini menata kota Surabaya saat ini sudah jauh melamapaui ekspektasi saya sebagai mahasiswa di bidang tata kota, di tengah rasa pesimis berlebihan akan sosok walikota yang mampu membawa kota menjadi lebih layak huni.
Keberhasilan Tri Rismaharini tidak hanya berbicara soal pembangunan fisik kota Surabaya saja, masalah sosial pun menjadi tanggung jawab utamanya dan beliau sudah membuktikannya dengan menunjukkan kepeduliannya pada anak-anak dan perempuan yang tinggal di kawasan Doly.
Artinya nilai sosial filsuf Plato dan kota masa depan Le Corbusier sudah mulai berjalan di Kota Surabaya, jadi tanpa Socrates, Tri Rismaharini dan kota Surabaya sebenarnya sudah meraih ilmu Plato dan Corbusier, dan hal itu sudah sangat luar biasa dalam sejarah perencanaan kota di Indonesia.
***
Hal yang dilupakan soal hemat energi
Smart City mengapa jadi solusi masalah kota?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H