[caption id="" align="alignnone" width="600" caption="sumber:http://static.panoramio.com/"][/caption]
Mengapa harus melek soal tata kota? pertanyaan ini ibaratnya mencari jawab untung atau rugi mengenai mana hal yang perlu, harus, darurat untuk kita ketahui. Yup tata kota, jawabannya adalah sangat penting untung tahu atau paham dengan masalah satu ini.
Setiap keputusan dan tindakan kita atas ruang udara, darat dan laut akan berpengaruh terhadap masa depan kita di kemudian hari. saat ini perkembangan kota berjalan sangat cepat, sedangkan ruang yang menjadi wadah atas pembangunan tersebut jumlahnya tidak akan bertambah.
Massa yang melebihi kapasitas daya tampung akan menimbulkan masalah, tidak heran belakangan ini muncul masalah lingkungan di perkotaan. Masalah transportasi misalnya, jumlah penumpang yang harus diangkut tidak sebanding dengan armada bus yang tersedia.
Daerah resapan air juga, tadinya berfungsi sebagai zona hijau, kini berubah menjadi kawasan padat kegiatan non konservasi. Saat musim hujan tiba, warga kota akhirnya kembali berurusan dengan banjir.
Uniknya semua orang, media bahkan pakar sekalipun akan ramai berbicara soal banjir di musim banjir, padahal jika mau lebih prihatin, kesibukan bicara banjir sudah mereka bicarakan sejak 10 bulan sebelum banjir merendam.
Lemahnya pengendalian ruang juga kemudian berdampak pada masalah ekonomi, lingkungan dan sosial. Saya terpaksa mengkritik daerah asal saya di Sulawesi Selatan tepatnya kota Makassar. Selama dua tahun ini saya menetap di Jogja, menjelang lebaran saya pulang kampung.
Rusuhnya kota ini langsung terasa ketika keluar dari kawasan bandara, disana-sini klakson bersahut-sahutan. Supir pete-pete (angkot) yang ugal-ugalan, orang menyeberang jalan seenaknya, padahal sudah tersedia jembatan penyeberangan.
Seorang teman yang berasal dari Solo kebetulan ikut berlibur di Makassar sempat berujar seperti ini “Eh disini nyawa orang murah banget ya, aku merinding lihat anak kecil nyebrang di jalan tanpa ada beban takut gitu”. Dan jalan yang dimaksud kawanku ini tentu bukan jalan lokal biasa, ini jalan arteri primer atau jalan utama kota Makassar. Laju kecepatan kendaraan orang-orang jangan samakan di Jogja atau Solo, disini super kencang.
Masalah yang saya jelaskan di atas adalah sebagian kecil dari banyaknya masalah kota yang belum nampak penyelesaiannya. Percaya atau tidak, seperti yang saya katakan bahwa lemahnya pengendalian tata ruang berpengaruh juga pada kehidupan sosial warganya.
Contohnya adalah anak yang disinggung teman saya, keberanian anak kecil menyeberang jalan arteri ditengah laju kendaraan yang tidak terkendali, menggambarkan bagaimana watak anak ini merespon kondisi disekelilingnya.
Masalah sosial lain misalnya, sulitnya mewujudkan transportasi massal, nyaman dan terpadu semacam trans Jogja di Kota Makassar. Saat pemerintah ingin menawarkan solusi seperti ini, maka bersiap-siaplah pemerintah beradu massa dengan ribuan supir pete-pete (angkot).
Ketika pemerintah mulai mengajak warga Makassar agar tidak rantasa (jorok), maka upaya paling dasar yang dipikirkan bersama adalah perihal pola pikir. Saya punya pengalaman empat tahun tinggal di kota Makassar, dan melihat bagaimana kehidupan sosial khususnya yang berkaitan dengan kepentingan umum di kota ini berjalan.
Sampah misalnya, kebiasaan beberapa orang yang saya llihat di jalan adalah begitu enteng, santai membuang sampah makanan, minuman di tempat dimana dia berdiri atau duduk. Jika sedang berjalan, air di botol minuman sudah habis, maka tinggal lempar saja, masalah selesai.
Siang hari saat menunggu mobil angkutan yang saya tumpangi akan berangkat, salah satu penumpang dengan santai membuang botol minumannya di jalan. Saya spontan melihat dengan muka heran bin dungu sambil bergumam dalam hati, ternyata masih ada orang seperti ini di kota yang sebentar lagi mengejar mimpi menjadi Makassar Kota Dunia.
Kota dunia? Bagaimana jadinya jika kota ini menjadi kota dunia. Saya tidak lantas buru-buru membayangkan Singapura. Pasalnya ulah penumpang di angkot tersebut membuat keyakinan saya dan mungkin bapak Walikota semakin miris mengejar target ini.
Lahirnya masalah sosial, atau kalau saya menyebutnya penyakit sosial karena abai dengan lingkungan tidak lepas dari lemahnya penataan dan pengendalian ruang. Sederhananya saya membayangkan jika setiap kawasan di tata sesuai peruntukan lahannya, maka bangkitan lalu lintas tentu tidak perlu melahirkan kemacetan berjam-jam.
Penataan dan pengendalian ruang juga akan mengurangi kekumuhan kota ini. Salah satunya adalah penataan kawasan kos-kosan. karena pembangunan kos-kosan yang tidak terkontrol di kota Makassar menurut saya salah satu penyebab kekumuhan kota ini. Rumah kos yang terdapat di sekitar area kampus luar biasa joroknya, seperti asal membangun saja. Saluran drainase tidak berfungsi, tapi malah jadi tempat sampah.
Sangat jelas bahwa sebenarnya jika teman-teman, sahabat dan keluarga kita bisa diajak berdiskusi soal kota, mungkin kita bisa membantu menyukseskan program bapak Walikota di daerah yang ingin menata kota menjadi lebih layak huni. Awalnya ketika saya berbicara atau protes soal nyampah dimana-mana ini, saya akan dianggap sok atau alien.
Saya mengajak teman-teman untuk melek tata kota, tata ruang bukan dengan niat atau ekspektasi muluk-muluk. Hanya berangkat dari niat kecil, mengajak teman-teman mencoba mengamati fenomena perkotaan yang ada disekitar kita. Karena masalah apapun yang terjadi di kota kita tidak lepas dari kuat atau lemahnya penataan ruang di wilayah tersebut.
Semoga bermanfaat, selamat berdiskusi, beradu pikiran, dan berbagi :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H