[caption id="attachment_357783" align="aligncenter" width="400" caption="Salah satu bagian adegan drama dalam rangkaian Tari Kecak"][/caption]
Cak, cak, cak, cak.. suara penari Bali saat membawakan tarian kecak mulai membahana dan membuat saya merinding. Bukan merinding karena takut, tapi saya merasa nuansa magis dari tarian ini begitu terasa. Para penari Kecak ini seakan begitu khusyuk melakoni gerakan dan syair tarian yang mereka ucapkan.
Gerakan penari ini begitu kompak dan energik, setiap syair yang diucapkan seakan-akan ingin memberitahukan kepada penonton bahwa mereka tidak sekadar bernyanyi. Saya tidak mengerti banyak soal tarian Kecak namun malam itu saya seperti tidak ingin pertunjukan tersebut segera berakhir.
Merasa beruntung tentu saya rasakan, mengingat kata teman bahwa untuk menonton pertunjukan tari Kecak biayanya bisa mencapai ratusan ribu. Semalam saya menonton tari Kecak gratis, sekalipun tidak menyaksikannya di Bali. Suasana Festival Kesenian Yogyakarta ke 26 yang salah satunya diisi oleh penampil dari Bali memang terbukti menghipnotis penonton.
Penonton di Taman Sari Pasar Ngasem sesekali memberi tepuk tangan yang terdengar begitu meriah. Maka ketika tepuk tangan dan sorak sorai penonton terdengar kembali, semangat penari Kecak seperti terlecut kembali. Gamelan dan alat musik yang digunakan pun turut membuat pentas semalam terlihat begitu bergairah.
Puncaknya ketika Ogoh-Ogoh mulai dibawa ke tengah panggung, kelompok penari pembawa obor yang tepat berada di samping saya akhirnya bersiap-siap. Belum hilang rasa shock menikmati kemegahaan tarian Kecak itu, saya pun kmebali dibuat terkejut ketika pemuda-pemuda tampan disamping saya menyalakan obornya.
[caption id="attachment_357786" align="aligncenter" width="400" caption="Kelompok Penari yang Membawa Obor"]
Penari pembawa obor pun mulai bersiap-siap di tangga, dan saat Ogoh-Ogoh dirubuhkan mereka kemudian beratraksi dengan energik bersama dengan kedua obor di tangan. Sekali lagi jantung saya berdegung kencang, it was amazing and this is a wonderful performance that i’ve ever seen.
Saya tidak bisa lagi berkata-kata saat itu, saya kagum sekaligus terharu saat menyaksikan pertunjukan paling mahal tersebut. Selama ini saya bukan orang yang sangat fanatik dengan kebudayaan, bahkan cenderung abai. Bagi saya kebudayaan hanya urusan orang budaya, masa bodoh dengan tarian dan segala macamnya.
Saat heboh klaim negeri tetangga tentang tari Pendet yang dianggap sebagai warisan Harimau Malaya, saya menanggapinya biasa-biasa saja. Tapi setelah melihat pertunjukan semalam di FKY 26 Kota Yogya, saya akhirnya paham, betapa budaya bagi masyarakat Bali adalah sebuah semangat yang selaras dengan kehidupan sehari-sehari.
Tarian yang tidak bernyawa mungkin hanya terlihat sebagai sebuah pertunjukan biasa. Tetapi ketika didalam tarian membawa nilai-nilai kehidupan dari para leluhur maka tarian akan berubah menjadi sebuah pertunjukan luar biasa.
Bagi masyarakat Bali, menari merupakan ibadah, sehingga tarian yang mereka senantiasa bawakan terasa begitu hidup. Saya belum memahami sepenuhnya bagaimana pengaruh agama Hindu yang juga lahir di tanah Hindustan, namun keduanya memperkenalkan tarian kepada dunia sebagai kebudayaan mereka.
Saya bukan orang Bali namun begitu bangga dengan kebudayaan mereka, beruntunglah orang-orang yang lahir di kota berbudaya seperti Yogya dan Bali. Mereka sangat kaya, kaya pemikiran, kreatifitas, penghargaan dan peradaban. Suatu hari semoga saya benar-benar bisa menyaksikan tarian Kecak langsung dari tanah asalnya, Bali.
[caption id="attachment_357787" align="aligncenter" width="400" caption="berfoto bersama salah satu pengunjung sebelum penari pentas"]
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H