“This is your book, your book on the table”.
Ini sumpah saya ngakak pas baca tulisan Citra atau pendapatnya soal yang satu ini. Setelah itu saya mulai menyadari pesan besar yang ingin disampaikan Citra. Tidak perlu mengambil contoh terlalu jauh soal minat yang begitu besar untuk belajar ke luar negeri. Melanjutkan S2 pun kadang persiapan non teknis kita masih lemah. Non teknis yang saya maksud bukan hanya soal syarat lulus administrasi Toefl dan TPA (Tes Potensi Akademik). Tapi hal cukup mendasar seperti sejauh mana kontribusi keilmuan yang kita miliki berperan dalam kehidupan masyarakat. Bukan seberapa besar peluang lulusan S2 ini terserap sebagai PNS atau dosen.
Misalnya saja, hasil penelitian yang dihasilkan dari tesis maupun jurnal internasional. Apakah dari sekian ribu jurnal ini sudah ada yang sampai di telinga masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan masalah kesehatan, kedokteran, pangan dan teknologi? Atau jujur saja kita mengakui, jika untuk mengkaji satu penemuan baru, para akademisi ini harus membayar sekian ratus ribu untuk menghadiri seminar nasional untuk membahas satu penemuan saja.
Lantas bagaimana dengan masyarakat non akademisi? dimana mereka harus mengakses temuan-temuan ilmiah ini? Apakah jumpa dan temu ilmiah yang sering diadakan dalam konsep “Call for Paper” hanya ditujukan untuk orang-orang kampus saja? jika benar demikian dimana peran universitas yang memiliki slogan sebagai garda terdepan dalam pengabdian masyarakat?
Apa yang dilakukan Citra dengan menulis di Kompasiana memberi saya kelegaan dan harapan bahwa masih ada doktor yang membumikan ilmunya di belantara masyarakat. Sebenarnya masih ada blog lain selain Kompasiana yang Citra punya. Ada satu blog yang berisi tulisan serius dan berbobot tentang kimia dan lingkungan, blog khusus cerita Taiwan dan blog travel. Teman-teman yang tertarik membaca tulisan Citra selain di Kompasiana bisa tanya langsung Citra, biar akrab dengan yang punya blog (hehehe). Apalagi setelah Citra bergabung dengan Indonesia mengajar, saya semakin optimis tindakannya ini akan menggiring kita pada satu pandangan baru.
“Saya belum terburu-buru ingin mengajar di kampus, ilmu saya masih sedikit, dan tanggung jawab mendidik generasi di dunia kampus itu bukan perkara main-main”.
Malam itu sambil menyantap masakan Ternate saya menyimak betul kata-kata Citra. Apa yang disampaikannya tidak salah, karena yang terjadi saat ini (sebagian) memang demikian. Kalau bukan jadi dosen buat apa lanjut S2? seperti itu ungkapan sinis yang saya dapatkan. Pun jika belum siap untuk segera mengajar di kampus, maka saya harus bersiap dengan cibiran baru lagi, lulusan S2 yang terkatung-katung.
Bagi saya pribadi, ini bukan perkara secepat apa seseorang menginjakkan kaki di dunia kampus dan mengajar di sana. Toh masing-masing orang punya “standar” pencapaian masing-masing. Pandangan pribadi saya sendiri adalah mengagumi pengetahuan dan beribadah padanya sama seperti mencintai keyakinan.
Saya melihat ilmu pengetahuan dan kemajuan teknologi yang ada di masa sekarang adalah hasil dari pencapaian di masa lalu, dan manusia tidak akan sampai di peradaban ilmu dan budaya seperti sekarang tanpa peristiwa/temuan di masa lampau. Sepertinya hanya akan sia-sia jika ilmu pengetahuan, gelar sarjana berkahir menjadi label belaka, semoga saja tidak perlu terjadi demikian.
Citra sudah menunjukkan dengan cara lain, mungkin tanpa dia sadari, dia juga turut serta telah menyebarkan inspirasi pada orang-orang yang sudah,akan memiliki gelar sarjana. Sore ini lewat Twitter Citra meminta umpan balik agar Saya memberi masukan pada tulisan-tulisannya.
Jujur saja, Saya bingung sendiri, dan malu dimintai masukan tapi sesama teman/sahabat, Saya menitip harapan, berharap esok atau lusa dan seterusnya Citra bisa menuliskan informasi penting mengenai keilmuannya yang perlu diketahui secara luas oleh masyarakat. Apalagi Kompasiana semakin berkembang sebagai blog warga, tentu sarana ini bisa jadi akses untuk menjangkau warga umum di luar kampus untuk menikmati informasi ilmiah tanpa harus duduk dalam bangku kuliah.