[caption id="attachment_377792" align="alignnone" width="600" caption="Ini dia jagoan kompasiana 2014, ada Mas Rahab juara fiksi, Pak Daniel HT dan Mbak Fey Down"][/caption]
Gelaran Kompasianival telah usai, namun ingatan beragam kegiatan dan perjumpaan dengan kawan-kawan kompasianer, dan admin Kompasiana masih membekas di kepala saya. Tiga hari sebelum keberangkatan, tiba-tiba rasa penasaran saya berkurang, tidak antusias mengkuti acara Kompasianival. Kepala saya dipenuhi macam-macam pikiran yang belum jelas ujungnya. Rasa gugup tiba-tiba mengganggu saya waktu itu. Bingung, pasti. Selama ini saya belum mengenal cukup banyak Kompasianer, jadinya saya gugup sendiri, bingung sendiri selama tiga hari sebelum hari H.
Dari kejauhan, setelah memasuki gerbang “keong” (supir angkot sebutnya seperti itu), baliho besar bertuliskan Kompasianival mulai terpampang dengan sangat jelas. Wah ini dia lokasinya, perasaan campur aduk yang sebelumnya memenuhi kepala saya, langsung kubuang jauh-jauh, pokoknya hajar saja (mencoba menenangkan diri).
Ketakutan saya akhirnya musnah juga setelah melihat dari kejauhan Ibu Enggar dan Mbak Selsa, sebelumnya saya sudah bertemu beliau saat acara nangkring BI di Jogja. Akhirnya saya mulai mencoba membaur dengan kawan-kawan baru yang kebetulan baru saya kenal saat itu juga. Kesibukan selama beberapa bulan terkahir ini membuat saya memang agak jarang mengunjungi tulisan teman-teman. Juga karena saya sadar, komunikasi saya lewar kolom komentar dengan teman-teman masih kurang.
Sebelum bergabung di Kompasiana, kebiasaan menulis saya masih banyak berkutat di dalam diari/buku harian. Walaupun masih berupa buku diari, saya menulis banyak hal, kejadian yang terjadi disekeliling saya dengan cukup detil, tentu dengan gaya bahasa yang lebih santai. Oleh seorang teman yang juga sudah lama cukup aktif menulis di Kompasiana (Fandi Sido, terima kasih sudah ganas menyemangati saya) saya disarankan bergabung di Kompasiana, waktu itu sekitar tahun 2012. Jadilah saya akhirnya bergabung dengan Kompasiana Februari 2012.
Namanya juga pemula, dan belum paham dengan persis “prinsip” kerja sebuah jurnalisme warga, saya akhirnya membagikan tulisan hasil tugas-tugas kuliah saya dengan gubahan bahasa yang masih terbaca sangat kaku. Fandi kebetulan sangat antusias melihat keseriusan ini dan mulai menjelaskan dan mengenalkan bahasa-bahasa blog.
Sejak saat itu saya mulai mengerti mengapa tulisan saya sepi pembaca, rupanya karena cara bertutur saya sangat kaku seperti paper mahasiswa. Sedikit-sedikit saya belajar menata bahasa, bahkan sampai sekarang “rasa” tulisan saya masih kaku. Tidak menyerah sampai disini, kadang berjam-jam saya sering membaca tulisan beberapa orang yang saya kagumi seperti Kak Yusran atau Citra (ini favorit saya).
Acara Kompasianival tahun ini memiliki juara-juara luar biasa, terutama Pak Daniel HT. Sebenarnya saya tidak terlalu tertarik membaca tulisan politik, apalagi yang cenderung tendensius dan murni sudut pandang pribadi. Kecuali tulisan politik Kak Yusran dan Pak Daniel HT, mata saya tidak pernah lelah membaca tulisan-tulisannya. Sekalipun demikian saya selalu berusaha tidak terpengaruh dengan pandangan politik beliau, namun tulisannya sudah lebih dari cukup untuk membuat saya menikmati tulisan tema politik yang lebih masuk akal.
Dalam acara Kompasianival ini juga saya bersyukur dipertemukan dengan Mbak Seneng, Pak Tjipta, Pak Prayitno (dari jauh), Pak Agung Soni, Ibu Maria, teman-teman di fiksiana, Mbak-mbak di desa Rangkat (Mbak Marla, Mbak Jingga, Fitri Y, suguhan nasi kuningnya cukup meredam suara krucuk-krucuk di perut saya), Komplakyo Band dan Babeh Helmi. Visualisasi melalui foto profil memang begitu kuat di kepala saya, gara-gara ini juga saya tidak langsung mengenali Pak Agung Soni dan Mbak Seneng Utami yang duduk berdekatan dengan saya (Maaf Mbak Utami, Pak Agung).
Kelucuan juga terjadi saat saya lewat-lewat begitu saja di depan Babeh Helmi, karena foto profilnya yang bergambar seoran anak kecil, saya jadi menganggap kalau Babeh Helmi ini masih remaja. Nanti setelah teman saya menyebut, “Beh, duluan ya”. Ha? jadi tadi barusan Babeh Helmi? pikirku, ya sudah saya putar badan dan menyalami Babeh yang memang nyatanya seperti Babeh (hehehe, becanda Bang). Ada beberapa kompasianer yang sangat ingin saya temui seperti Kak Yusran, Pak Arman dan Pak Fadli. Mudah-mudahan tahun depan bisa ketemu sama bapak-bapak keren ini (tulisannya, hehehe).
Sepanjang perjalanan saya berpikir-pikir, apa jadinya kalau Kompasiana belum lahir ya? Mungkin kita tidak pernah tahu ada ibu rumah tangga yang jago menulis puisi dan sudah membukukannya. Bagi saya Mbak Selsa sangat mengispirasi, juga Ibu Enggar. Sebenarnya masih banyak lagi ibu-ibu produktif yang menulis di Kompasiana. Juga Saya tidak akan pernah dibuat kagum dengan Marlistya melalui tulisan-tulisannya tentang Taiwan, dan juga sudut pandangnya tentang beberapa hal. Mbak Seneng dengan perjuangannya di usia yang masih muda baru saja melewati perjalanan hidup yang cukup berat (ukuran saya). Dan sosok yang cukup membuat saya sangat terharu adalah kehadiran Pak Tjipta, motivasi besarnya dalam menulis berhasil merobek kesombongan saya selama ini, bahwa hanya yang muda yang bisa meraih mimpi-mimpinya.
Pesan yang disampaikan Pak Tjipta setelah menerima penghargaan Kompasianival sebagai Kompasianer Of The Year adalah bahwa menulis itu ibadah, jangan mudah patah semangat dan selalu berpikiran positif. Pertama kali melihat Pak Tjipta, sungguh adalah pengalaman berharga dalam hidup saya. Bagi saya pribadi, dibalik kemunculan pesaing Kompasiana dan desas-desus kekecewaan beberapa kawan-kawan selama ini, saya tetap berterima kasih dan bersyukur berada dalam ribuan penulis hebat di negeri ini.
[caption id="attachment_377793" align="alignnone" width="600" caption="Pak Tjipta dan Pak Prayitno, ini sesi yang paling mendebarkan. Saya salut kepada beliau-beliau, jadi insiprasi bagi kami yg masih belajar menulis"]
[caption id="attachment_377795" align="alignnone" width="600" caption="ada mbak Maria dan Fandi Sido, keren :)"]
Hikmah berkompasiana juga tidak melulu soal urusan tulisan, bagi saya Kompasiana berhasil memunculkan orang-orang biasa di masa lalu dan menjadi luar biasa melalui kisah, sudut pandang dan opini dalam tulisannya. Siapa yang tahu, seseorang di masa lalu mungkin hanya bisa menyimpan ide di kepala saja, bukan tipe orang yang senang unjuk gigi dan gila hormat.
Namun dengan Kompasiana, mereka maju pelan-pelan, menyampaikan gagasannya, dan ternyata gagasan mereka sangat cerdas di mata-mata orang biasa bahkan orang dengan gelar terpanjang sekalipun. Kompasiana mungkin sudah membantu banyak orang menemukan minat, fokus dan persahabatan yang tulus melalui tulisan. Dan semua paket lengkap ini tidak bisa diukur dengan materi, sekalipun materi itu mutlak. Itulah dahsyatnya Kompasianer dan Kompasiana.
[caption id="attachment_377796" align="alignnone" width="600" caption="Asyik ada Alexa, tidak ikutan nyanyi soalnya ga hapal lagu-lagunya :)"]
Sampai jumpa di tahun berikutnya :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H