Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Travel Story

Mengapa Obyek Wisata Daerahku Kurang Terkenal?

7 Januari 2015   21:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   13:36 464
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption id="attachment_389115" align="alignnone" width="600" caption="Obyek wisata Pantai Marina, Kabupaten Bantaeng (dok.Ratih)"][/caption]

Saya bukan traveller yang memiliki catatan perjalanan khusus mengunjungi tempat wisata berbagai daerah maupun pelosok negeri ini. Kesempatan saya menginjakkan kaki dari selatan Sulawesi hingga di kabupaten bagian utara Sulawesi Selatan adalah berkah beberapa mata kuliah yang mengharuskan kami turun lapangan. Kalau saya harus menjadi backpaker, maka daerah yang pertama kali ingin saya kuliti habis-habisan adalah tempat kelahiran saya sendiri, Kabupaten Bantaeng.

Apa yang kurang dari tanah tua ini? ya Bantaeng dikenal sebagai Tanah Tua atau Butta Toa (sebutan orang Makassar). Tanah ini adalah tanah para Raja (Karaeng) sekitar 757 tahun yang lalu. Usia yang melebihi matang, dan tentu akan diikuti dengan perkiraan jika daerah ini sudah sangat maju.

Bantaeng dianugerahi potensi alam dari wilayah pesisir hingga pegunungan. Pantainya terhampar begitu saja, tidak ada keraguan atau papan peringatan untuk menikmati air laut di pantai ini. Alam pegununungannya juga tidak kalah menarik, di puncak tertingginya dikembangkan perkebunan Appel dan Strawberry.

Melewati daerah Sinoa, disana kita bisa menyaksikan kota Bantaeng, bagaikan miniatur kota yang sangat mengagumkan. Namun dengan semua berkah alam dan sejarah itu, Bantaeng tidak lantas menjadi daerah yang terkenal, tidak sama sekali, karena Bantaeng tidak lebih dianggap sebagai daerah perlintasan saja.

Kalau bukan karena Bantaeng “dianugerahi” pemimpin dengan latar yang bertolak belakang (kebijakan pembangunan daerah) dengan yang memimpin sebelumnya, mungkin hingga saat ini wajah kota Bantaeng tidak berubah sama sekali. Walaupun ini hanya asumsi saya, namun fakta yang saya saksikan di lapangan lebih dari cukup menjadi alasan mengapa saya sebagai orang Bantaeng berterima kasih kepada Bapak Nurdin, Bupati Bantaeng.

Saat ini saya cukup berbangga menyebut daerah kelahiran saya, karena melihat pembangunan daerah yang berjalan sekarang, terutama pariwisata. Potensi pesisir di Bantaeng akhirnya benar-benar diwujudkan menjadi obyek wisata Pantai Marina. Kurang dari dua tahun, kawasan wisata Pantai Marina di Bantaeng akhirnya terwujud dan menjadi sarana berwisata baru bagi warga lokal dan dari kabupaten lain.

Selama ini Bantaeng lebih dikenal dengan wisata pegunungan, ada wisata permandian alam Eremerasa, wisata outbound yang terletak di Loka Camp, agrowisata (perkebunan appel dan strawberry) di daerah Lannying. Sayangnya, dari ketiga obyek wisata ini, hanya permandian Eremerasa yang cukup menyedot angka kunjungan.

[caption id="attachment_389118" align="aligncenter" width="450" caption="Air di kolam ini bukan hasil dari pengeboran sumur tapi bersumber dari pegunungan. (dok.Ratih)"]

14206146371706327908
14206146371706327908
[/caption]

[caption id="attachment_389121" align="alignnone" width="600" caption="Air yang muncul diantara bebatuan (dok.Ratih)"]

14206149101925426719
14206149101925426719
[/caption]

Paket wisata outbound bukannya kurang diminati, melainkan karena akses menuju kawasan ini agak merepotkan. Wisata outbound di Loka Camp tidak dipersiapkan sebagai kawasan wisata publik, karena lebih mirip tempat penyewaan vila bagi orang-orang yang punya duit lebih yang menghabiskan beberapa juta untuk merasakan dinginnya suasana pegunungan.

Wisata perkebunan appel dan strawberry juga tidak terlalu sukses menjadi paket wisata semacam taman wisata Mekarsari atau wisata kebun yang ada di Malang. Entah karena tanah yang kurang cocok, sikap petani dan pengelolaan agrowisata yang belum maksimal.

Saya pernah berkunjung ke lokasi agrowisata di Lannying, berharap bisa memetik strawberry langsung dari tangkainya. Hasilnya justru agak mengecewakan, katanya saya berkunjung di waktu yang kurang tepat, bukan musim strawberry. Apa boleh buat, saya tidak mungkin menyalahkan musim.

Beruntung, Bantaeng masih punya potensi lain yakni wisata kota pesisir, maka jadilah dua pantai di kota ini menjadi ruang publik baru. Bantaeng berhasil membangun wisata Pantai Marina dan Pantai Seruni. Pantai Marina sebelumnya hanya pantai biasa yang dipenuhi semak belukar, tidak ada yang menarik di pantai ini. Berbeda dengan Pantai Seruni, pantai ini telah berkembang lebih dulu menjadi ruang publik/ titik kumpul orang-orang kota. Kalau ada yang pernah melihat Pantai Losari, maka Pantai Seruni serupa dengan Pantai Losari.

[caption id="attachment_389116" align="alignnone" width="600" caption="Pantai Seruni, terletak di pusat kota Bantaeng, banyak orang menyandingkannya dengan Losarinya Bantaeng (dok.Ratih)"]

1420614529696932409
1420614529696932409
[/caption]

Loka Camp atau Malino?

Bagi wisatawan yang pernah berkunjung ke Malino (Kabupaten Gowa) lalu berkunjung ke Loka Camp, tentu bisa merasakan perbedaannya. Alam kedua daerah ini sama bagusnya, sama cantiknya dan sama-sama memiliki potensi untuk menjadi daerah tujuan wisata terbaik di Sulawesi Selatan. Namun jarang sekali orang mengenal dengan baik wisata alam Loka Camp, itu pun sebenarnya bukan wisata menurut saya, hanya tempat menginap saja. Tidak perlu menginap di Loka Camp jika ingin merasakan suhu pegunungan, menginap di kota saja, lalu subuh hari baru ke Loka Camp, ini jika ingin berhemat, karena biaya menginap di Loka Camp cukup mahal.

Saya harap orang Bantaeng atau pemerintah Bantaeng tidak buru-buru marah dengan pendapat saya di atas. Jika benar-benar ingin mengembangkan potensi alam pegunungan kita, maka jangan fokus pada satu titik saja. Misalnya, nilai tambah apa yang bisa diperoleh pengunjung, bacpaker jika berada di Loka? selain kesejukan alamnya? Bukankah Loka terkenal dengan hasil perkebunan seperti kentang, wortel, kol, bawang merah.

Menyediakan paket wisata tidak harus dalam satu kawasan wisata, kampung penduduk pun bisa menjadi kampung wisata, dan konsep ini jauh lebih bermanfaat karena melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemerintah tidak usah menggelontorkan banyak uang untuk membangun/merubah lahan menjadi kawasan wisata, selain merusak lingkungan, juga dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sudah dijelaskan jika daerah pegunungan, hutan lindung ditetapkan sebagai daerah konservasi.

Refleksi

Tujuan berwisata bisa macam-macam, jenis orang yang berwisata juga bermacam-macam (pelancong, backpaker, wisatawan dengan modal besar) sementara potensi wisata yang ada kondisinya sama, mengandalkan alam atau buatan. Jadi pertanyaan apakah satu paket wisata kita sudah cukup andal menjadi pilihan orang-orang dengan tujuan yang berbeda-beda, biaya berwisata yang berbeda-beda?

Wisata, berwisata, pariwisata itu rumit. Bukan sekadar konsep membangun dan menunggu datangnya wisatawan. Kenapa tidak semua pariwisata di Indonesia berhasil padahal sudah meniru macam-macam konsep dari luar negeri? Yah mungkin karena pariwisata dipandang sebagai potongan-potongan “spot”.

Membangun anjungan, membangun penginapan, membangun kawasan wisata, lalu terpisah dengan kawasan sekitarnya, itulah makna daerah wisata selama ini. Bukan begitu ? Kalau hanya mengandalkan “spot” atau bangunan saja, itu sama saja rekreasi, tinggal membangun Water Park, maka jadilah tempat rekreasi namun bukan wisata.

Wisata adalah sebuah perjalanan, dan masing-masing orang khususnya saya berharap dari perjalanan ini bisa peroleh pelajaran baru. Belajar dari masyarakatnya, belajar dari budayanya, belajar dari alamnya. Masyarakat, budaya dan alam adalah paket wisata, tolong jangan membaginya ke dalam partisi-partisi. Kamu belajar apa soal alam dan budayanya jika tak mendengar penuturan atau cerita warga setempat? dari blog?

Bagi saya dengan berwisata kita melakukan sebuah perjalanan “menemukan” lalu kembali, dengan penuh kesadaran, dan dengan pikiran lebih tenang. Lalu bagaimana menemukan paket wisata seperti itu? Bisa kita mulai dengan mengajak masyarakatnya, memberdayakan masyarakat, mengenalkan masyarakat dengan potensi wisata yang ada di daerahnya, bangun peradaban mereka seperti; bagaimana menyambut wisatawan, bagaimana memperlakukan wisatawan dan bagaimana menghargai wisatawan.

Harapan saya, kita bisa menunjukkan kehidupan masyarakat di daerah wisata terlebih dahulu, bagaimana masyrarakatnya hidup dan bekerja sehari-hari. Saya tidak ingin kehadiran saya suatu hari (misalnya di Raja Ampat) dianggap hanya berwisata, mengabaikan keadaan sebenarnya orang-orang Raja Ampat. Kita tidak menginginkan ada jarak, masalah antara penduduk asli dan orang-orang yang berwisata. Cara ini semoga membantu kita semakin mengenali Indonesia, orang-orangnya, dan alamnya, selamat berwisata.

Salam

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun