Wisata perkebunan appel dan strawberry juga tidak terlalu sukses menjadi paket wisata semacam taman wisata Mekarsari atau wisata kebun yang ada di Malang. Entah karena tanah yang kurang cocok, sikap petani dan pengelolaan agrowisata yang belum maksimal.
Saya pernah berkunjung ke lokasi agrowisata di Lannying, berharap bisa memetik strawberry langsung dari tangkainya. Hasilnya justru agak mengecewakan, katanya saya berkunjung di waktu yang kurang tepat, bukan musim strawberry. Apa boleh buat, saya tidak mungkin menyalahkan musim.
Beruntung, Bantaeng masih punya potensi lain yakni wisata kota pesisir, maka jadilah dua pantai di kota ini menjadi ruang publik baru. Bantaeng berhasil membangun wisata Pantai Marina dan Pantai Seruni. Pantai Marina sebelumnya hanya pantai biasa yang dipenuhi semak belukar, tidak ada yang menarik di pantai ini. Berbeda dengan Pantai Seruni, pantai ini telah berkembang lebih dulu menjadi ruang publik/ titik kumpul orang-orang kota. Kalau ada yang pernah melihat Pantai Losari, maka Pantai Seruni serupa dengan Pantai Losari.
[caption id="attachment_389116" align="alignnone" width="600" caption="Pantai Seruni, terletak di pusat kota Bantaeng, banyak orang menyandingkannya dengan Losarinya Bantaeng (dok.Ratih)"]
Loka Camp atau Malino?
Bagi wisatawan yang pernah berkunjung ke Malino (Kabupaten Gowa) lalu berkunjung ke Loka Camp, tentu bisa merasakan perbedaannya. Alam kedua daerah ini sama bagusnya, sama cantiknya dan sama-sama memiliki potensi untuk menjadi daerah tujuan wisata terbaik di Sulawesi Selatan. Namun jarang sekali orang mengenal dengan baik wisata alam Loka Camp, itu pun sebenarnya bukan wisata menurut saya, hanya tempat menginap saja. Tidak perlu menginap di Loka Camp jika ingin merasakan suhu pegunungan, menginap di kota saja, lalu subuh hari baru ke Loka Camp, ini jika ingin berhemat, karena biaya menginap di Loka Camp cukup mahal.
Saya harap orang Bantaeng atau pemerintah Bantaeng tidak buru-buru marah dengan pendapat saya di atas. Jika benar-benar ingin mengembangkan potensi alam pegunungan kita, maka jangan fokus pada satu titik saja. Misalnya, nilai tambah apa yang bisa diperoleh pengunjung, bacpaker jika berada di Loka? selain kesejukan alamnya? Bukankah Loka terkenal dengan hasil perkebunan seperti kentang, wortel, kol, bawang merah.
Menyediakan paket wisata tidak harus dalam satu kawasan wisata, kampung penduduk pun bisa menjadi kampung wisata, dan konsep ini jauh lebih bermanfaat karena melibatkan masyarakat di dalamnya. Pemerintah tidak usah menggelontorkan banyak uang untuk membangun/merubah lahan menjadi kawasan wisata, selain merusak lingkungan, juga dalam Rencana Tata Ruang Wilayah sudah dijelaskan jika daerah pegunungan, hutan lindung ditetapkan sebagai daerah konservasi.
Refleksi
Tujuan berwisata bisa macam-macam, jenis orang yang berwisata juga bermacam-macam (pelancong, backpaker, wisatawan dengan modal besar) sementara potensi wisata yang ada kondisinya sama, mengandalkan alam atau buatan. Jadi pertanyaan apakah satu paket wisata kita sudah cukup andal menjadi pilihan orang-orang dengan tujuan yang berbeda-beda, biaya berwisata yang berbeda-beda?
Wisata, berwisata, pariwisata itu rumit. Bukan sekadar konsep membangun dan menunggu datangnya wisatawan. Kenapa tidak semua pariwisata di Indonesia berhasil padahal sudah meniru macam-macam konsep dari luar negeri? Yah mungkin karena pariwisata dipandang sebagai potongan-potongan “spot”.