Mohon tunggu...
Ratih Purnamasari
Ratih Purnamasari Mohon Tunggu... Konsultan - Tata Kota

Engineer | r.purnamasari16@gmail.com | Ratih antusias pada isu perkotaan, lingkungan, kebencanaan, smart city, blockchain dan big data. Sebagiaan ide dirangkum di mimpikota.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Wacana Penghapusan PBB dan Praktik Agraria di Lapangan

4 Februari 2015   19:02 Diperbarui: 17 Juni 2015   11:50 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
14230258531385196896

[caption id="attachment_394857" align="aligncenter" width="420" caption="Lokasi pembangunan apartemen mahasiswa di dusun Pogung, kecamatan Mlati, Depok-Sleman. D.I.Yogyakarta. Sumber:Ratih Purnamasari,2014"][/caption]

Tahun 1960 menjadi sejarah dalam sistem penguasaan dan kepemilikan tanah di Indonesia pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Sistem penguasaan tanah oleh Belanda pada masa kolonial diatur kembali kepentingan dan fungsinya yang dikenal dengan istilah Land Reform. Pada tahun 1960 pemerintah akhirnya menerbitkan Undang-undang Pokok Agraria Indonesia (UU.No.5/1960) yang menjadi awal perombakan sistem agraria peninggalan kolonial Belanda.

Undang-undang Pokok Agraria mengutamakan asas keadilan dalam kepemilikan lahan pertanian. Salah satu asas keadilan yang diterapkan pemerintah sebelum menetapkan UUPA adalah dengan menghapus sistem tanah partikelir. Pada masa kolonial tanah-tanah partikelir dikuasai oleh pemerintah Belanda lalu dijual kepada kalangan bangsawan, orang Arab dan keluarga raja.

Pasca kemerdekaan Indonesia tahun 1945, pemerintah mengatur kembali sistem kepemilikan tanah Partikelir. Tanah yang dikuasai oleh bangsawan, keluarga raja dan pedagang Arab diberi pilihan oleh pemerintah Indonesia kala itu, menjual ke petani atau mengalihkan kepemilikan tanah ke pemerintah kemudian dibagikan kepada penduduk.

Undang-undang Pokok Agraria menjadi dasar dalam sistem kepemilikan tanah di Indonesia. Penguasaan tertinggi atas tanah diberikan kepada masyarakat dan pemerintah hanya berperan sebagai regulator. Sesuai bunyi pasal 31 ayat 1 UUD 1945 bahwa tanah, air dan sumber daya yang terkandung di tanah ini adalah untuk kesejahteraan rakyat Indonesia, dimanfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan rakyat Indonesia.

Undang-undang Pokok Agraria sejalan dengan asas UUD 1945 pasal 31 dengan pertimbangan bahwa pemerintah tidak menguasai tanah, melainkan masyarakat, tetapi negara memiliki wewenang mengendalikan penguasaan tanah yang efektif (Tjondronegoro,2008).

PBB dan Alih Fungsi Lahan Pertanian

Wacana penghapusan Pajak Bumi dan Bangunan yang dikemukakan oleh Kementerian Agraria dan Tata Ruang sejalan dengan asas dan tujuan Undang-undang Pokok Agraria. Menghapus Pajak Bumi dan Bangunan yang berkaitan erat dengan prinsip utama UUPA bertujuan untuk mengendalikan penguasaan tanah oleh individu dalam jumlah besar.

Selama ini PBB yang ditentukan berdasarkan NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) oleh pemerintah daerah dianggap memberatkan masyarakat. Khususnya petani yang memiliki sawah di perkotaan. Sawah/lahan pertanian yang berada di jalur strategis seperti jalan kabupaten memiliki NJOP yang tinggi dibandingkan sawah yang jaraknya jauh dari jalan utama/kabupaten. Penentuan besaran NJOP sendiri ditentukan berdasarkan: lokasi strategis, perumahan dan peruntukan bangunan untuk perdagangan yang akan dan sedang tumbuh di sekitar persawahan.

Sementara peruntukan lahan untuk bangunan jasa, perdagangan, hotel, perumahan elit dan restoran memiliki NJOP dan PBB yang tinggi. Dampaknya terhadap lahan pertanian adalah, petani yang memiliki sawah di bawah 1 hektar akan menjual sawah mereka dengan alasan PBB yang dibayarkan terlalu tinggi sedangkan hasil yang diperoleh dari sawah garapannya tidak mencukupi kebutuhan sehari-hari bahkan untuk biaya pendidikan anaknya.

Sawah yang berada di sekitar kawasan terbangun seperti perumahan elite, dekat dengan pusat kota, terdapat infrastruktur jalan kabupaten memiliki NJOP yang tinggi. Harga jual dan transaksi atas sawah-sawah yang dikelilingi oleh dominasi guna lahan untuk jasa dan perdagangan menyebabkan harga transaksi lahan pertanian menjadi tinggi. Imbas psikologisnya, di banyak daerah kini, justru sawahlah yang diserahkan kepada pemodal menjadi jadi kawasan niaga dengan mengubah statusnya.

Pemilik lahan tentu tertarik dengan harga jual yang melambung tinggi, lalu menjual lahan pertanian mereka. Petani kemudian membeli lahan pertanian di daerah lain—yang NJOP-nya masih rendah--dengan harga lebih rendah atau dengan luas sawah tentu lebih besar dibandingkan sebelumnya.

Penguasa Tanah, Makelar dan Pengembang Properti

Penguasa lahan memiliki peran penting dalam proses alih fungsi lahan pertanian. Spekulan lahan menawari beberapa petani agar menjual sawahnya, kemudian spekulan lahan ini menguasai sawah di dalam satu dusun tersebut sebagai semacam “portofolio lahan”. Mereka mampu memprediksi perkembangan perkotaan sehingga membeli sawah yang berada di jalur strategis dan dekat dengan pusat kota.

Dalam praktiknya, pengembang tidak perlu mendatangi petani satu per satu untuk membeli tanah mereka, karena yang menguasai/memiliki sawah dalam jumlah besar hanya penguasa lahan yang seringnya justru tidak tinggal di teritori lahan tersebut. Maka tidak mengherankan jika dalam jangka waktu satu–dua tahun sudah terbangun mal, hotel dan perumahan di atas lahan pertanian tanpa sepengetahuan semua warga kampung. Penguasaan tanah tersebut bisa terjadi sepuluh tahun sebelumnya, namun pembangunan baru dilaksanakan ketika membaca respon permintaan bangunan yang tinggi di masyarakat.

Komentar salah satu pengembang di Kompas.com 1 Februari 2015 agak mengejutkan saya kala itu. Keliru jika pengembang tersebut mengatakan bahwa penetapan NJOP tidak berdasarkan nilai ekonomis tanah dan ditentukan secara sepihak.

Pemerintah telah menetapkan besaran NJOP berdasarkan harga tanah yang berlaku normal di pasaran dan harga bangunan sesuai dengan harga bahan bangunan. Harga tanah/sawah yang dibeli pengembang dengan harga tinggi, tidak dipengaruhi secara langsung  dari NJOP melainkan harga pasar yang telah dikendalikan lebih dulu oleh spekulan lahan.

Harga transaksi antara pengembang dan spekulan lahan/penguasa lahan adalah harga emotional price. Artinya, pengembang telah membeli dengan harga tinggi dari spekulan, maka perhitungan nilai properti akan bertambah. Orang yang paling dirugikan adalah petani dari sistem pembelian tanah oleh makelar tanah. Petani hanya mendapat biaya ganti rugi atas aset tanah yang hilang, namun nilai manfaat atas sawah mereka tidak terhitung.

Sementara makelar, pemilik tunggal tanah menentukan harga jual berdasarkan taksiran keuntungan setelah berdiri bangunan di atas tanah tersebut. Keuntungan berlipat ganda karena permintaan pengembang biasanya telanjur jatuh cinta terhadap lokasi, lokasi, dan lokasi.

Fungsi PBB dan RDTR dalam Pengendalian Ruang

Nilai PBB sangat menentukan bentuk pemanfaatan lahan dalam perkotaan, di luar perannya untuk meningkatkan PAD daerah/kabupaten. PBB berfungsi mengatur setiap jengkal tanah dan bangunan yang berdiri dalam satu kawasan.

Pengamat tata kota dari Ruang Jakarta Rujak Center (Ruang Jakarta) Marco Kusumawijaya menjelaskan bahwa PBB dapat menjadi insentif dan disinsentif bagi fungsi atau kegiatan tertentu untuk berkembang dalam kawasan tertentu. Selama ini harga tanah ditentukan oleh pasar, inilah yang menyebabkan banyak rencana tata ruang tidak berjalan sesuai isi dokumen yang diperdakan.

Pengendalian ruang menjadi masalah pembangunan kota saat ini disebabkan RDTR (Rencana Detail Tata Ruang) sebagian besar belum diperdakan. Rencana tata ruang wilayah mengatur arahan pemanfaatan ruang secara makro sedangkan Rencana Detail Tata Ruang bertujuan menetapkan jenis dan fungsi  bangunan apa saja yang akan berdiri dalam satu kawasan.

Spekulan maupun makelar tanah tidak akan leluasa menentukan, memainkan harga tanah apabila setiap kota sudah memiliki RDTR. Selanjutnya adalah besaran PBB yang ditetapkan pemerintah bisa mengikuti, menyesuaikan dengan RDTR yang telah diperdakan.

Manfaatnya adalah pemerintah (Dispenda) memiliki pedoman yang jelas menetapkan NJOP atas blok yang mendapatkan disinsentif dan insentif dari pemerintah (Bupati). Untuk bangunan publik dan kawasan budaya saya kira sudah jelas, pemerintah tidak menarik PBB atas bangunan publik.

Sementara untuk lahan pertanian, hal yang perlu diperhatikan adalah pemanfaatannya berdasar RDTR dijelaskan fungsinya sebagai kawasan budi dayaatau sawah abadi. Bagi petani yang sawahnya termasuk sawah abadi bisa diberi insentif oleh pemerintah seperti keringanan pajak, begitu pun dengan bangunan sejarah dan budaya yang tetap dipertahankan dan diberi keringanan pajak.

Penarikan biaya PBB untuk lahan pertanian tidak lagi didasarkan atas asas manfaat yang diperoleh karena terdapat infrastruktur jalan di sekitarnya. PBB bisa menarik pajak atas bangunan yang telah ditetapkan pemerintah dalam RDTR sebagai kawasan yang didorong dengan fungsi kegiatan ekonomi.

Perubahan NJOP dan PBB yang meningkat dari tahun ke tahun disebabkan karena perkembangan wilayah di satu kawasan tertentu terus terjadi. Padahal jika RDTR telah menetapkan fungsi kawasan tertentu misalnya untuk perdagangan maka dalam jangka waktu tertentu (5 tahun) seharusnya tidak terjadi kenaikan PBB yang tinggi. Artinya dalam kurun waktu 5 tahun tersebut tidak ada spekulan lahan di kawasan tertentu, yang membuat pengembang berlomba-lomba ingin mengembangkan propertinya. Semua rencana pembangunan dikendalikan oleh pemerintah, sehingga PBB yang ditetapkan sesuai dengan harga normal dan arahan tata ruang.

Kemauan politik (political will) berbagai instansi di daerah seperti Dispenda, BPN, PU dan Bappeda untuk merumuskan bersama-sama sistem kepemilikan tanah, pengembangan perumahan, tata ruang dan pendapatan daerah dalam satu sistem yang saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lain. Apalagi saat ini kementerian Agraria dan Tata Ruang telah dilebur, harapannya ada keselarasan dalam menetapkan kebijakan atas lahan di Indonesia.

Pengendalian ruang tidak bisa diselesaikan dengan kebijakan satu instansi saja, melainkan melibatkan banyak kebijakan berbagai instansi pemerintah.  Kerjasama antar instansi pemerintah dalam merumuskan arahan pembangunan kota dan pengendaliannya tanpa mengganggu PAD lebih tepat dilakukan. Menghapus PBB dengan alasan yang condong kepada keberpihakan pada pengembang saja rasanya kurang relevan dengan permasalahan utama yang terjadi selama ini.

***

Referensi:

T.Firman, 2003. Major Issues in Indonesia's Urban Land Development. Departement of Regional and City Planning, Institute of Technology.

Soediono M.P Tjondronegoro, Gunawan Wiradi. 2008. Dua Abad Penguasaan Tanah.

mkususumawijaya.wordpress.com

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun