Mohon tunggu...
ratih puspa
ratih puspa Mohon Tunggu... Bankir - swasta

suka jalan-jalan

Selanjutnya

Tutup

Worklife

Langkah Kecil Wujudkan Lingkungan Kerja Siaga

16 September 2023   09:42 Diperbarui: 16 September 2023   09:55 53
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa bulan lalu, kita dikejutkan oleh penangkapan seorang pegawai di lingkungan Kereta Api Indonesia (KAI ) karena kedapatan memiliki sejumlah senjata api pabrikan dan rakitan. Di media sosialnya, dia juga mengajak banyak teman-temannya untuk berbuat ammaliyah. Dia dalamnya juga ada narasi yang mengesankan bahwa yang bersangkutan adalah simpatisan ISIS.

Beberapa tahun lalu, Densus 88 juga menangkap seorang dosen senior di Bogor Jawa Barat, yang  kedapatan memiliki dan sedang merakit bom rakitan yang akan di ledakkan di Jakarta. Dia dan timnya memang sedang menyiapkan bom-bom itu setelah Jakarta gonjang-ganjing soal Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) yang beralngsung sangat panas di Jakarta. Karena dua pilihan calon itu, kemudian faktor agama dan etnis (SARA) membuat kota itu seakan terbelah. Ujaran kebencian dan narasi-narasi yang bernuansa SARA menyeruak sepanjang bulan menjelang Pilkada. Bagi masyarakat tertentu, itu adalah masa yang sangat tidak menyenangkan.

Keterlibatan Aparatur Sipil Negara (ASN ) dalam kegiatan radikal sampai terorisme seperti ini memang sangat memprihatinkan. Tidak mudah dan gampang untuk menjadi ASN karena harus bisa melewati serangkaian tes. Asal tahu saja ada beberapa orang yang ikut tes penyaringan ASN sebanyak tiga atau empat kali yang berakhir kegagalan. Di sisi penyelenggaraan tes dan berbagai pelatihannya, negara juga sudah mengeluarkan  biaya cukup besar untuk menjadikan ASN sebagai sosok pengabdi negara dan masyarkat . namun pada kenyataannya, seperti saya ungkapkan di atas bahwa ASN tidak sepenuhnya bisa berkarkater teladan bagi masyarakat lain.

Menilik dari dua kasus di atas, alangkah baiknya semua inbstansi pemerintah sekarang harus aware bahaya radikalisme di kalangan para pegawai mereka.  Tidak saja instansi pemerintah yang berada di jalur pendidikan, tapi juga BUMN, dan instransi umum lainnya. Aware  ini bisa dilakukan berbagai langkah, misalnya melihat kecenderungan narasi di di medsos, lingkungan kerja terkecil yang dia miliki, lalu jika memungkinkan diadakan tes psikologi secara periodik untuk memberi warning kepada instansi soal aspek psikologi dan politik.

Memang tak mudah. Instansi yang pernah menerapkan ini adalah KPK yang pernah mengadakan tes bela negara dan psikologi, sehingga memang ada beberapa karyawan yang menunjukkan tidak sesuai dengan profil yang diinginkan instansi tersebut.

Namun langkah itu mungkin sebuah langkah paling ideal untuk masa kini untuk mewujudkan lingkungan kerja siaga terhadap intoleransi, radikalisme dan terorisme. Sehingga kita bisa menghindarkan diri dari kejadian seperti di KAI atau di IPB tersebut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Worklife Selengkapnya
Lihat Worklife Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun