Seberapa luas “rahmatan lil alamin” dalam Al Quran bisa menjangkau peradaban? Tak terbatas, bahkan mampu beradaptasi dengan kultur selfie di era teknologi informasi dengan gadget yang semakin merajalela. Tak percaya? Mari kembali ke awal Maret lalu ketika Raja Arab Saudi, Raja Salman Bin Abdulaziz Al Saud, berkunjung ke Indonesia. Aksi selfie yang dilakukan raja dari negeri di mana Islam berasal itu ditandai oleh sejumlah pihak sebagai bukti bahwa “Islam” adalah agama yang melimpahkan rahmat untuk semesta.
Salah satu potret yang cukup ikonik adalah ketika Raja Salman melakukan selfie dengan Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan Indonesia, Puan Maharani, Ketua Umum Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, dan Presiden Joko Widodo. Apa hubungannya rahmatan lil alamin dengan selfie?
Jelas ada hubungannya jika kita melihat bahwa apa yang tertera di dalam kitab suci akan menampakkan tindakan dalam kehidupan manusia yang memercayainya. Dalam hal ini, Raja Salman sebagai wakil dari negara Islam, menunjukkan bahwa dirinya tidak sekaku citra yang kerap dipahami orang tentang Islam.
Bagi Perdana Menteri Malaysia, Najib Razak, kesediaan Raja Salman melakukan selfie menunjukkan bahwa raja tersebut bersikap ramah terhadap negeri muslim lain yang secara kultur jauh berbeda dengan kultur negaranya. Di Malaysia, Raja Salman juga melakukan selfie dengan Razak. “Selfie saya dengan Raja Salman, penjaga Dua Masjid Suci! Persahabatan yang amat akrab,” tulis Najib di akun Twitter-nya, Maret silam.
Dalam konteks Indonesia, selfie adalah kebudayaan kontemporer yang jelas tidak kuno karena merupakan imbas dari perkembangan internet. Selfie adalah kultur Indonesia masa kini yang memiliki lebih dari 132 pengguna internet. Bukankah dengan demikian selfie juga bagian dari semesta? Tidakkah bisa kita melihat teknologi juga sebagai rahmat Tuhan karena konsep rahmatan lil alamin mewajibkan manusia untuk membuat Islam tidak sebagai bencana, melainkan merangkul semua yang ada di bumi? Karena yang melakukan itu adalah seorang raja dari negara Ka’bah, aksi semacam selfie menimbulkan makna yang luas. Dan beruntunglah bagi kita ketika Raja Salman ternyata tidak sekeras dan sefanatik sebagai mana kesan tentang warga Arab yang diperlihatkan oleh sejumlah kelompok pendukung penegakan khilafah di Indonesia.
Pada akhirnya, perwujudan ajaran agama itu akan menemui realitanya dalam kehidupan manusia yang berbeda-beda. Raja Salman, sebagai tokoh yang paling tepat untuk mempromosikan bagaimana Islam seharusnya, telah berlaku tepat dengan menghargai perkembangan peradaban dan teknologi di negara muslim yang secara kultural boleh jadi jauh berbeda dengan apa yang ada di negerinya. “Wahhabi, Wahhabi, Wahhabi… orang suka menggunakan istilah ini tanpa tahu artinya! Mereka hanya bisa menuduh tanpa dasar. Gila!” kata Duta Besar Arab Saudi untuk Indonesia, Mohammed Abdullah Al Shuaibi, tentang dugaan yang menganggap kehadiran Raja Salman ke Indonesia akan memperkuat Islam radikal.
Setelah kita mengetahui bahwa Raja Salman menghormati Indonesia dan Pancasila, Indonesia dan pluralitasnya, sekaligus kita juga tahu bahwa Islam juga bisa gaul dan tidak gagap di hadapan budaya teknologi abad terbaru yang bernama selfie.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H