[caption id="attachment_331161" align="aligncenter" width="583" caption="QUICK COUNT KOMPAS - Suasana hasil hitung cepat Kompas Calon Legislatif atau Quick Count Caleg Kompas 2014, Rabu (9/4/2014) di gedung Kompas Gramedia Jakarta. (TRIBUNNEWS.COM/FX ISMANTO) "][/caption]
Dua hari ini saya cukup aktif mengamati media sosial terutama facebook yang isi status teman-teman saya sebagian besar perang opini pemilu legislatif. Tiba-tiba mereka berubah menjadi pakar-pakar politik dengan analisanya masing-masing hehe… Gerah juga ya membaca status yang isinya saling menghujat, sindir, sikut, keras dg prinsipnya masing-masing. Hfft…. Sedih melihatnya, padahal saudara seibu setanah air. Hingga pada saat bersamaan tiba-tiba ada makhluk bernama Quick Count yang ngedadak tenar terutama saat berlangsungnya pemilu Legislatif 9 April 2014 kemarin. Semua orang memperbincangkannya karena makhluk ini menjadi salah satu indikator kemenangan jagoannya masing-masing. Saya sendiri cukup antusias mengamati proses jalannya quick count di beberapa stasiun televisi kemarin. Gonta-ganti channel TV dan membandingkan persentase data masuk tiap partai. Tiga partai papan atas ditempati PDIP, Golkar, dan Gerindra. Dan dua partai tidak lolos PT (dibawah 3.5%) ditempati PBB dan PKPI. Selebihnya ada di papan tengah urutan ke-4 hingga ke 10. Hmm.. dan ga jauh beda antar lembaga survey di beberapa media tv.
Sampai suatu ketika saya tergelitik saat membaca salah satu status di facebook (sepertinya salah satu kader partai XX) yang berkomentar bahwa quick count di media itu adalah konspirasi. Lalu dengan percaya dirinya membandingkan dengan data real count di pusat tabulasi partainya. Juga komentar lain menambahkan “Ga usah ngeliat QC tv, malah menjatuhkan mental kader”. Weleh-weleh saya cuma bisa tersenyum miris kok bisa ya mereka berpikir seperti itu dan hebat sekali jika benar stasiun TV berkonspirasi mengeluarkan angka yang hampir sama. Saya yang awalnya ga terlalu menanggapi hal2 seperti itu akhirnya gatal juga sampai menulis di blog ini :D. Saya disini tidak dibelakang siapapun dan tidak berdasar kepentingan politik apapun. Saya hanya ingin membagi pengalaman ke teman-teman agar bisa lebih bijak dan cerdas menanggapi sesuatu yang sifatnya ilmiah.
Kurang lebih 3 tahun saya pernah berkecimpung di riset lembaga survey. Waktu yang terbilang singkat dan belum pantas sebenarnya untuk berbicara banyak hal tentang ini. Tapi saya ingin berbagi sedikit tentang Quick Count dan pernak-perniknya. Saya sudah tidak kaget jika ada orang yang kemudian meragukan data hasil quick count. Dulu di beberapa daerah saat kami merilis hasil quick count pilgub atau pilwakot ke media, tidak jarang wartawan mengkritisi metode dan jumlah sample yang diambil. Pernah tahun 2011 di propinsi Gorontalo ada wartawan yang sangat ngotot sekali mempertanyakan jumlah sampel yang diambil. Saat itu sampel kami hanya 280 TPS dari 1820 TPS (sekitar 15.4%), apa tidak punya biaya katanya hehe… dan sangat jelas akhirnya meragukan data QC. Kenapa jika dengan sample yang cukup representatif harus dengan sample yang lebih banyak? Saya rasa wartawan itu akan jauh lebih kaget jika tahu di Propinsi Banten kami pernah hanya mengambil sampel 300 tps dari 16.805 tps atau sekitar 1.8% sampel. Hal-hal seperti itu saya anggap wajar karena kadang ilmu statistika masih dianggap hantu oleh sebagian orang :D. Bagi yang sudah pernah menerima mata kuliah statistika pasti sudah tidak asing dengan perhitungannya. Berikut saya sajikan lagi contoh menghitung jumlah sample QC, misalnya di Kota Padang.
Besar sampel tergantung kepada 4 hal, yaitu keragaman (variasi) dari populasi, batas kesalahan sampel yang dikehendaki (sampling eror), interval kepercayaan (confidence interval), dan besarnya populasi. Empat hal ini saling berkaitan dan berhubungan dan menjadi bagian dari rumus menentukan besar sampel.
Misalnya jika kita membuat quick count di Kota Padang dengan jumlah pemilih sebesar 560.732 pemilih dan jumlah TPS sebesar 1.532 dan quick count dirancang menggunakan sampling eror 0.5 % dengan tingkat kepercayaan 99% maka dengan rumus berikut kita mendapatkan sampel pemilih sebanyak 89.252 orang.
Setelah jumlah pemilih ditentukan, maka jumlah TPS bisa didapat. Jumlah TPS diperoleh dengan formula sbb :
Jumlah sampel TPS = Jumlah pemilih yang dibutuhkan/ukuran rata-rata pemilih TPS
Maka total sampel quick count yang diambil di Kota Padang adalah 244 TPS.
Menilik sejarah Quick count, tools inipertama kali digunakan oleh NAMFREL (National Citizens Movements For Free Election) yang memantau pelaksanaan Pemilu 1986 di Filipina dimana ada dua kandidat yang bersaing ketat yakni Ferdinand Marcos dan Corazon Aquino. NAMFREL berhasil menemukan berbagai kecurangan dan manipulasi suara serta secara meyakinkan dapat menunjukkan kemenangan Cory Aquino, sekaligus menggagalkan klaim kemenangan Marcos. Oleh karena itu secara tidak langsung quick count sebagai bagian dari kontrol terhadap pemilu dan bagian dari upaya untuk menegakkan demokrasi dengan mendorong berlangsungnya pemilu yang jujur dan adil.
Quick countmerupakan prediksi hasil pemilu berdasarkan fakta bukan berdasarkan opini. Prediksi quick count akan akurat apabila berdasarkan metodologi statistik yang tepat. Kenapa quick count bisa secara cepat meramal hasil perhitungan suara ? Pertama karena quick count memakai sampel TPS, tidak semua TPS dimonitor. Kedua, quick count dilakukan dengan ringkas. Relawan yang ada dimasing-masing TPS bisa langsung melaporkan hasil perhitungan suara ke pusat data. Tidak seperti perhitungan resmi KPUD dimana data perhitungan suara dibuat berjenjang dari TPS ke PPS ke PPK dan seterusnya.
Dulu di setiap akhir konferensi pers, kami selalu menyampaikan bahwa hasil quick count adalah hasil sementara, dan tetap secara resmi berdasar hasil KPU. Quick count dirasa ampuh dalam memenuhi keingintahuan publik atas hasil pemilu dengan segera. Quick count dapat menciptakan stabilitas politik, karena pemilih tidak perlu menunggu lama untuk mengetahui siapa pemenang pemilu. Lalu Jika ada yang bertanya lebih akurat mana Real Count dengan Quick Count, ya tentu saja Real Count. Real Count ini basisnya populasi artinya semua TPS yang diambil sedangkan quick count adalah sampel dengan ada margin of eror (moe). Karena basisnya populasi meskipun real count akurat tapi pengumpulan datanya pasti lebih lama ya. Jika masyarakat sudah tidak sabar ya lebih baik lihat quick count…
Jika quick count itu konspirasi media maka kredibilitas lembaga quick count akan diragukan setelahnya. Jika quick count adalah konspirasi media maka dipastikan lembaga tersebut akan kena pinalti karena tidak ada lagi yang percaya, ga punya klien, ga ada pemasukan, ujung-ujungnya bangkrut hehehe…. Apa iya mereka mau mempertaruhkan hal-hal seperti itu ? Nah, nanti jika hasil KPU sudah keluar silahkan dibandingkan dengan hasil QC lembaga-lembaga survey tersebut. Jika setelah dibandingkan hasilnya diluar rata-rata simpangan kesalahan maka rakyat berhak menggugat. Mari kawal demokrasi Indonesia dan tentunya dengan bijak dan santun :)
Ini contoh perhitungan rata-rata kesalahan antara QC dan KPU Prop Gorontalo setelah data QC masuk 100 %.
http://politik.kompasiana.com/2014/04/13/quick-count-pileg-2014-konspirasi-media-bag2-646584.html
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H