Mohon tunggu...
Ratih Maryam
Ratih Maryam Mohon Tunggu... -

Menulis yang semoga bermanfaat untuk sesama. Bahwa berbagi kebaikan dapat dilakukan dengan kata-kata._Ratih Maryam_.

Selanjutnya

Tutup

Puisi Pilihan

Surgaku Tak Pernah Memujiku

13 Maret 2016   22:40 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:29 146
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

'Jika ada yang bertanya kepadaku, apakah Surga yang telah nampak di dunia ini? Aku menjawabnya: Ibu.'_Ratih Maryam_.

Aku tak dapat berhitung berapa kali airmata terurai, dan isak dibalik senyum yang kukembangkan pada dunia. Airmata sebagai wewakil dari sakit hati, ketidak-ikhlas-an menerima penolakan dari beberapa pilihan hidup. Bagaimana mungkin aku memilih melawannya dengan ucapan? Sementara pada dirinya telah bernaung keindahan janji Illahi.

Surgaku. Separuh tubuh, separuh darahku: Ibu. Lama, aku merangkum kata demi kata yang terlontar atas upaya juangku sebagai hardik. Aku dikerdilkan Surgaku sendiri. Surgaku tak pernah memujiku!

Bukan sekali, aku berandai Ibuku seperti Ibu-ibu kawanku. Jika berkata-kata halus terdengar, mengusap kepala dan memberi senyum bangga sambil mengucap rasa bangga atas perbuatan jerih payah kerja kawanku. Aku iri. Aku mengingkari kehadiran Ibu kandungku sendiri yang kupertanyakan: mengapa tak sesuai inginku sendiri?

Pernah. Ibu menolak tumpukan puisi yang ku sodorkan sebagai bacaan disela waktu luang. Tak pernah memuji pada setiap piagam kejuaraan, wajahnya masam. Beliau tidak sebangga Guru-guru yang kian memuji kepiawaian urai kalimat yang selalu hadir di Mading sekolah. 

Pernah. Ibu dingin atas aksi sosial. Berbagi ilmu agar terhapus buta aksara. Ibu bilang, "cari kerja yang dapat uang!, tolong diri sendiri!".

Pernah. Aku berniaga sebagai pilihan kerja. Ibu murka. "Susah payah sekolahkan tinggi! Seandainya menjadi seperti ini, cukuplah sekolah dasar!".

Beliau nampak lebih bangga pada Pegawai di gedung-gedung tinggi. Ibu tersenyum saat tubuhku berbalut jas dan sepatu tinggi. Pengabdi Negeri, menjadi seseorang yang patuh pada sistem yang dibuat orang lain. Sistem yang selalu bertolak belakang dengan pemikiranku.

Apakah bertahan lama? Tidak. Ibu tak pernah tersenyum lagi saat seketika tahu jumlah upah sebagai Pengabdi Negeriku sendiri. "Tigaratus ribu? Bahkan ongkos sekolahmu selama sebulan melebihi angka itu!"

Kalimat-kalimat intonasi tinggi. Seolah serbuan anak panah yang dengan sengaja diarahkan pada dadaku, menembus jantungku. Dan mampu memberi tenaga ekstra pada kedua kakiku untuk beranjak dari rumah. Ibu...Ibu...Ibu ... Surgaku, kapan bangga dan memujiku? 

Suatu petang, handphoneku berbunyi. "Pulang, ada sayur bambu muda, kesukaanmu." Aku sedang berapa dalam ruang kamar berukuran tiga kali empat meter. Ruang yang kusewa sebagai ruang kerja yang tak jauh dari kawasan tempat tinggalku. Aku beranjak agar tak lagi serbuan anak panah menembus jantungku. Kesukaanmu? Aku menangis hingga segukanku. Aku pulang.

Wajah yang semakin keriput namun tetap cantik, tersenyum. Aku tidak ditanya kabar, "mau seduh kopi?". Aku disuguhi secangkir kopi, duduk berhadapan. Kemudian aku menemukan jawaban-jawaban.

"Menulismu itu adalah Bapakmu. Jika beliau tidak sukses, temukanlah kesuksesan olehmu. Ibu bukan tak sudi membaca, hanya tidak paham dengan tulisanmu. Berat, Nak."

Berdagang itu yang pertama modal diri. Kalau bukan seorang tangguh, bukan seorang ramah, bukan seorang yang selalu ingat kepada Pemilik-mu, jangan jadi Pedagang. Jangan kalah sama Ibumu yang bertahun-tahun berdagang meski hanya sekolah hingga sekolah dasar.

Kamu itu keras kepala, tapi hatimu lembut. Anak-anak menyukaimu, sebab hatimu adalah hati seorang Ibu. Semoga kaya raya, banyaklah berbagi rejeki kepada anak-anak yang membutuhkan sosok Ibu. Kalau tiada lebih rejekimu, apakah cukup berbagi ilmu sedang perut mereka lapar? Banyak menolong dari keberhasilan menolong dirimu sendiri.

Ibu tidak ingin anak bontot Ibu menjadi seseorang yang bergaul dengan cabe rawit dan terasi. Makanya disekolahkan tinggi, bercita-cita keindahan untuk masa depanmu. Tidak berpakaian lusuh, bekerja sejak dini hari, beban berat, fisik lelah. Tidak ingin seperti Ibu. 

Dan kamu menjadi seperti ini. Sambal buatanmu masih terlalu banyak gula merah, kurangi. Baik-baiklah sama bawahan, sering-seringlah bekali makanan. Jangan berkata yang menyakitkan, pikirkan agar dicintai, mereka patuh dan saling menghargai. 

Ibumu ini. Tak seberapa lama lagi kesempatan hidup di dunia ini. Kapan pernah meminta uang sama kamu? Dengar baik-baik, Ibu tak ingin uangmu. Selama ini, Ibu hanya ingin menjadilah anak yang lebih baik dari Ibu. Bangkit! Mandiri! Jangan cengeng! Jangan mudah menyerah! 

Kapan berdoa banyak untuk Ibumu? Ibu tidak meminta itu. Agar kamu tahu, Ibu selalu berdoa untuk kebaikanmu, untuk kenyamanan hidupmu, untuk keselamatan dunia dan akhiratmu. Mumpung masih ada waktuku hidup, dengarkan ....

Maafkan untuk segala ucap yang Ibu ucapkan dengan sadar. Untukmu yang keras kepala harus dihantar kesakitan demi kesakitan agar semakin kuat dalam menghadapi kerasnya kehidupan. Agar tak gentar dalam berupaya. Agar suatu ketika ketika Ibu sudah tiada, kamu sudah terbiasa sabar, tegar, dan mampu berbagi semua itu untuk banyak jiwa raga. 

Ibu tak pernah memujimu agar tak lekas puas atas jerih payahmu. Agar anakku tidak tumbuh dengan tinggi hati. Rendah hati selalu, bermanfaatlah untuk banyak sesama.

Sekarang. Ibu minta satu hal. Jika Ibu sudah tiada, kirimkan banyak doa. Makanlah, jangan abaikan perutmu."

 

Yaa Illahi Rabbi, ampuni segala dosaku atas kesalahan menilai Ibuku. Terima kasih untuk Surgaku!  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun