Mohon tunggu...
Ratih Anggraeni
Ratih Anggraeni Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Sarjana Sastra dan Bahasa Inggris yang gemar menulis sejak SMP, suka dengan warna Ungu, dan berprofesi karyawan swasta dan Pengusaha muda bercita cita : Menjadi wanita karir yang mampu BERKARYA untuk Agama, Bangsa dan Negara -amin-

Selanjutnya

Tutup

Puisi

[FPK] Diary "Sumpah Pemuda"

28 Oktober 2011   13:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   00:22 64
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Diary, “Sumpah Pemuda”

Ratih Anggraeni & Panglima kata (Nomer. 136)

Berbaringlah dipangkuanku, akan kuceritakan padamu

Tentang kisah metamorfosa

Dari seekor kepompong penghuni ranting pakis

Kini menjelma sebagai kupu kupu yang terbang bebas

Terik mentari yang pecah didaun pakis

Meleleh dikulitmu, menjelma bias pelangi yang masih misteri

Tak harus terbang agar bebas

Sebab ranting pakis telah melukiskan kebebasan dengan tinta angin yang sepoi

Aku masih disini, Terbaring dalam rimbun daun pakis

Menatap mega yang tersenyum sangat manis

Mengukir langkah dalam irama bekerja sangat keras

Isi hidup dengan puing karya tanpa batas

Pakis meranggas

Sebab waktu tak ragu untuk memangkas

Biarkan saja tetap meranggas, biar ditebas

Agar kelak mampu bekerja keras

Aku mengerti

Kadang hujan turun bersama gelombang pasang

Terpaan badai tak mampu lagi dihadang

Rasa sedih dan kecewa seiring berdendang

Menyibak impian yang terurai panjang

Biar..! biar ku tunggu sebentar

Biar aku fikirkan kembali sebuah strategi

Karena aku yakin

Selalu ada pelangi setelah hujan

Selalu ada kesuksesan dihari depan setelah ujian

Akan ada kekuatan setelah goncangan dan terpaan

Bangkitlah pemuda

Mari angkat semangat bersenjata

Kita taklukan dunia

Maka biarlah kita hidup dalam keragu-raguan

Sebab, butuh seribu Tanya untuk mengenal makna

Dan rasa kecewa awal dari sebuah rasa

Dan bila mentari terbit lagi

Kita tak punya waktu lagi untuk berlari

Sebab kita dilahirkan untuk memberi waktu pada hari

Dan bila hujan datang kemudian hari

Tak usah kau berteduh

Sebab kita butuh kekuyuban untuk belajar menghargai kehangatan

Biarkan tangan menggigil, mengepal,

menghantam cendikia yang ternyata berotak bebal

Dan hingga suatu saat nanti

Kita telah selesai berdiri

Disebuah tepi

Yang bernama kejayaan cahaya sang hati

Dapat tersenyum pada matahari

Yang telah mampu dinikmati

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun