Oleh: Ratih Putri Budiyanty*
Dimana perempuan saat Pemira? Ikutkah mereka meramaikan pesta demokrasi paling ditunggu ini? Atau hanya ‘ikut-ikutan’ kesana kemari sebagai cheers leader si-A,si-B atau si-Z? Atau sebaliknya, siapa sangka di balik majunya si A sebagai capres BEM misalnya, adalah berkat Giant Concept seorang perempuan. Itu semua bisa saja terjadi tergantung konteks dari si perempuan yang ingin menempatkan dirinya sebagai siapa dan apa.
Lalu yang menjadi magnet paling kuat untuk membicarakan perempuan dan ‘kuasa’nya adalah sejauh mana peran perempuan dalam Pemira kali ini? Ulasan ini tidak bicara ketepatan perempuan dalam komposisinya di perpolitikan kampus, kali ini dibahas lebih jauh mengenai kesamaan hak perempuan dan laki-laki dalam kancah politik kampus dengan tuturannya yang paradigmatik.
Sebelum bicara lebih lanjut, perlu diketahui bahwa issue perempuan bukanlah issue yang hangat lagi. Menurut penulis, menaikkan derajat perempuan dengan alih-alih ‘persamaan hak’ sepertinya kurang tepat jika dipraktikkan di negara ini yang masih sangat komunal dengan masyarakatnya. Dengan begitu tidaklah heran jika issue tersebut basi dengan sendirinya dan hanya panas di tempat-tempat tertentu yang dekat dengan ‘kepentingan’.
Apakah keterwakilan perempuan dalam senat dan BEM adalah suatu bentuk keadilan, kesamaan hak atau keproporsionalan? Jawabannya tentu beragam. Jika ya, alasan bahwa perempuan juga memiliki hak yang sama seperti laki-laki adalah jawaban paling major. Namun jika penulis balik, bahwa perempuan kurang berinisiatif, cenderung malu dan kurang tanggap misalnya apakah perempuan dengan ciri seperti inipun harus diwakilkan di lembaga kemahasiswaan agar keadilan yang dibuktikan dengan adanya persamaan hak antara laki-laki dan perempuan itu tercapai?
Membicarakan keadilan, tidak selamanya harus menempatkan pada segala hal yang ‘sama’, atau ‘sejajar’. Begitupula untuk memberikan keadilan {dengan atas nama persamaan hak} bagi kaum hawa. Tidak selamanya memberikan perlakuan yang sama pada perempuan adalah keadilan yang paling adil.
Perempuan seringkali hanya dijadikan daya tarik tertentu untuk pembulatan suara. Artinya, tidak peduli si perempuan berkompeten pada bidangnya atau tidak tapi jika memiliki teman banyak dan kemungkinan jumlah suara yang bersaing maka tidak mustahil mencalonkannya untuk maju menjadi senat misalnya. Sehingga bila ia terpilih, bukan sosok pribadinya yang sedang berorganisasi atas nama wakil mahasiswa. Tapi hanya menjadi jasad berjalan yang ruhnya dimainkan para oknum yang berkepentingan.
Dari contoh tersebut, perempuan dan keterwakilannya bukan semata-mata atas nama persamaan hak tetapi lebih pada sebuah ‘nilai jual’. Orientasi peempuan pada keikutsertaannya di Pemira tidak fokus pada betapa pentingnya perempuan sebagai sinergitas dalam sebuah lembaga kemahasiswaan. Perempuan sekedar jadi penambah, pembulat suara .
Sebaliknya, perempuan dengan sejuta ide brilian dan ketangguhannyapun tersebar di lembaga kemahasiswaan. Malah cenderung mendominasi. Keadaan ini lebih dikarenakan perempuan adalah sosok yang rapi dan terkodifikasi. Sehingga tidak sulit mencari perempuan dengan spesifikasi keahlian yang dimilikinya. Sehingga jika dibutuhkan ‘jasa’nya tinggal lobi sebentar dan akan dengan senang hati bergabung. Tak lain pula karena kondisi psikis perempuan yang cenderung tidak enakan dan gampang terpengaruh.
Presiden BEM misalnya, hingga saat ini (saat masih dijabat Devid Adi Surya) perempuan belum pernah menjabat sebagai Presiden BEM. Entah apa yang membuat perempuan tidak hadir dalam kursi seeklusif presiden BEM. Sepintas perempuan dirasa cukup menjadi komisi ahli atau kepala departemen saja. Hal tersebut (menurut penulis) lebih cenderung pada persaingan perebutan suara, dan kebijakan partai yang mengusungnya tidak pada hal esensial bahwa sebenarnya perempuanpun mampu untuk hadir dan memimpin.
Bila dikaji lebih lanjut, apakah keterwakilan perempuan dengan latar belakang kondisi seperti dijelaskan diatas tadi adalah sebuah bentuk keadilan? Dengan ada dan ikut dalam Pemira atau pesta demokrasi ini tidak semua perempuan sadar bahwa itu adalah sebuah langkah persamaan hak dengan apa dan siapapun. Perempuan dengan latar kondisi seperti itu tidak hadir untuk merepresentasikan dirinya yang mempunyai hak sama dengan laki-laki, tetapi hanya sekedar memenuhi ‘kuota’.
Tidak ada yang salah dengan latar belakang apapun yang menyebabkan perempuan hadir dalam Pemira. Perempuan dengan segala keunikan dan kekhasannya hadir untuk membuat complementer yang saling berfungsi. Artinya, perempuan adalah bagian yang saling melengkapi. Tidak berarti berdiri sendiri dengan ke-khasannya. Perempuan bukan jenis kelamin sosial yang diciptakan dengan sendirinya, tapi mereka adalah ciptaan Tuhan Maha Cinta yang diciptakan khusus.
*Kepala Departemen Humas BEM FH 2011
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H