Mohon tunggu...
Ratih Poetry
Ratih Poetry Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mompreneur

“A poet is, before anything else, a person who is passionately in love with language.” – W. H. Auden.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Harusnya Sederhana Sewajarnya Sadar

20 Oktober 2024   17:30 Diperbarui: 20 Oktober 2024   17:51 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hujan deras disertai angin kencang terus menyebarkan dingin yang basah. Kilat dan guntur tiada henti bergantian menebar aura magis senja yang biasanya hangat merona.
      Kata penyair; tak ada yang lebih kuat memanggil kenangan selain hujan, jadi...
Adakah yang lebih sia-sia daripada upaya mengulang kenangan?
Memahami pertemuan adalah bagian dari takdir yang mesti terjadi, memang menyakitkan hati pun membuat sedih jiwa.
Selalu diingkari, ditolak, ditinggal - tinggal sampai entah kapan untuk kemudian datang lagi. Bodohnya masih terus berharap hingga tupai pun menertawakan dari atas dahan pohon tua di sebelah punden berundak itu.
       Masih terngiang-ngiang omongan mbak-mbak di youtube tadi yang lagi membaca bukunya. Katanya; "Berusaha kuat adalah sia - sia bagimu, sebab dia sama sekali tidak layak tinggal dalam rasa apalagi membersamai hidupmu".
        Aku masih duduk di depan jendela yang dingin dan lembab. Menikmati tetesan hujan yang mengenai kaca jendela kamar. Terkenang kenang dirimu yang telah sekian hari hilang tanpa kabar. Inikah rasanya patah hati...
       Bila engkau mencintai, maka bersiap-siaplah untuk merasakan penderitaan. .... Entah penderitaan dari kehilangan, karena perpisahan, atau ketika yang kau cintai harus menghadapi beratnya tantangan hidupnya sendiri. ...
          Aku memang kecewa sama kamu tapi,
Aku menyayangimu. Itu sebabnya aku gak kan pernah selesai mendoakan kesehatan dan keselamatanmu... Mungkin kita adalah patah-patah hati yang belum menemukan tenangnya, terlalu sulit menepis gundah dan terlalu riuh mencari sembuh.
Seperti kata Murakami suatu waktu, entah kapan, kenangan memang dapat menghangatkan dirimu, tetapi secara bersamaan juga mengiris-iris perasaanmu.. .
         Kuakui rasa itu ada tapi bukan cinta
Sekarang rasa yang kusimpan telah apa adanya. Terasa penuh jenaka tanpa harus berakhir saling melukai. Harusnya sederhana sewajarnya sadar.
Seperti ajaran Budha yang pernah kubaca, "Pada akhirnya, hanya ada tiga hal yang berarti: Seberapa banyak kau mencintai, seberapa lembut kau menjalani hidup, dan seberapa ikhlas kau melepaskan sesuatu yang tidak dimaksudkan untukmu".
          Maka bisa jadi hidup yg sesungguhnya dimulai ketika kita memutuskan membangun kebahagiaan kita sendiri. Kamu dengan kehidupanmu sendiri demikian pula aku pun dengan kehidupanku sendiri. Let go of it all for now.


       

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun