Mestinya semangat Ibu Fanny Jonathan Poyk bisa ditiru oleh setiap penulis pemula, yang tidak mudah menyerah meski berulang kali gagal dirasa menyulitkan.Â
Bagi pemula atau jika ingin mengikuti jejak sukses para penulis senior, tentu membutuhkan bekal ilmu serta dukungan saling menguatkan.Â
Beruntung, sebab Clickompasiana bekerja sama dengan Perhimpunan Penulis Indonesia (PPI), mengadakan pelatihan menulis pada tanggal 2 - 3 Agustus 2019, bertempat di Graha Wisata Taman Mini Indonesia Indah. Dengan nara sumber berkompeten di bidangnya, mengajak para kompasianer, baik blogger maupun vlogger se-DKI Jakarta, Banten dan Jawa Barat, untuk lebih aktif berkarya.
Fanny Jonathan Poyk, salah satu nara sumber berbagi banyak pengalaman. Sebagai seorang penulis puisi, cerpen, novel, serta buku-buku motivasi, telah malang melintang di dunia kepenulisan.Â
Menurut beliau, menulis merupakan ekspresi jiwa, mencuatkan ide-ide dari beragam kejadian di sekitar kita ke dalam bentuk kata-kata atau kalimat.
Wanita kelahiran Bima, Nusa Tenggara Timur ini menggeluti dunia jurnalistik sejak tahun 1994. Barangkali jiwa sastranya menurun dari sang ayah, Gerson Poyk.Â
Rupanya, masih jelas dalam ingatan ibu Fanny detik terakhir menemani sang ayah, menjalani pengobatan di rumah sakit hingga menghembuskan napas terakhir pada tahun 2017 lalu. Tidak mudah baginya untuk melepas kepergian ayah tercinta, namun perjuangan sang ayah tentu tak boleh dipatahkan.
Kecintaannya terhadap cerita fiksi dibuktikan melalui karyanya yang terus menghiasi media massa lokal, diantaranya : Pelangi di Langit Bali, Sayonara Narkoba, dan Perkawinan Lintas Budaya. Ibu Fanny berpendapat bahwa, "Sastra berarti memandang kehidupan orang lain sebagai bagian dari kehidupan kita sendiri."Â
Karya sastra harusnya mengandung nilai humanis, menyertakan metafora dan diksi dalam merangkai kata. Menulis pun sebaiknya disertai dengan hobi membaca, baik membaca buku maupun membaca keadaan. Banyak membaca buku akan memperluas wawasan  dan kosa kata, sedangkan membaca keadaan akan lebih mempertajam intuisi sehingga tulisan yang dibuat terkesan lebih natural dan apa adanya. Â
Sebuah tulisan perlu didasari riset terlebih dahulu, apalagi kalau ingin membuat cerpen agar tembus ke media massa. "Butuh sekitar 10 tahun, sampai cerpen saya diterima oleh kompas," kenang Ibu Fanny. Maklum saja, cerpen yang selama ini beredar di koran kompas mayoritas karya para senior yang namanya sudah familiar, seperti Afrizal Malna. Akan tetapi, kegigihan Ibu Fanny dengan terus mencoba dan mempelajari secara mendalam karya-karya mereka, kerja keras pun berbuah manis, membuat cerpennya berhasil dimuat di harian kompas.