Mohon tunggu...
Rasyid Ridha Saragih
Rasyid Ridha Saragih Mohon Tunggu... -

Hi.. My Name's Muhammad Rasyid Ridha Saragih. I'm 17 years old. I Live In Tasikmalaya City. I'm a santri in Ma'had Amanah Al-Islami Muhammadiyah. The member of Angkatan Muda Muhammadiyah. A progressive moeslem.

Selanjutnya

Tutup

Politik

66 Tahun Kemerdekaan Indonesia, untuk Kita atau untuk Orang Lain?

5 Januari 2012   04:15 Diperbarui: 25 Juni 2015   21:19 112
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Sepanjang tahun 2010, retorika pemberantasan korupsi oleh SBY semakin terbukti hanya manis di bibir. Pada acara Konferensi Nasional Pemberantasan Korupsi, tanggal 1 Desember 2010, SBY antara lain mengatakan bahwa pemberantasan korupsi dapat efektif apabila penegak hukum bersih. Berlawanan dengan pernyataannya, alat-alat penegakan hukum seperti kepolisian, kejaksaan, maupun KPK, justru dibuat menjadi semakin ‘kotor’ atau bermasalah. “Alat hukum” terkini buatan SBY adalah Satgas Antimafia Hukum yang diketuai oleh Kuntoro Mangkusubroto, tangan kanan SBY juga .

Kasus korupsi yang melibatkan pegawai kantor pajak, Gayus Tambunan, membuktikan keberadaan alat-alat penegakan hukum yang dapat dimanfaatkan penguasa sesuka hatinya. Pengakuan-pengakuan yang diberikan oleh Gayus, tampak sengaja diarahkan untuk menyerang Aburizal Bakrie (Ical), sebagai salah satu manipulator pajak yang ‘dibantunya’. Drama lolosnya Gayus dari tahanan untuk menyaksikan pertandingan tenis di Bali, yang ‘kebetulan’ dihadiri juga oleh Ical, seakan mengkonfirmasi adanya konspirasi besar untuk memainkan isu tersebut tanpa penyelesaian yang pasti.

Sisa Watak Hukum Kolonial

Pada bulan November tahun lalu, ada kisah Nenek Minah (55), yang dihukum penjara 1,5 bulan karena secara tidak sengaja ‘mencuri’ tiga buah cokelat. Saat itu kita alami ramainya kecaman dan kritikan terhadap kejadian ini. Hakim yang membacakan vonis hukuman mengalami situasi emosional dan menyatakan bahwa, “kasus ini kecil tapi telah melukai banyak orang.” Ketidakadilan yang sangat mencolok mata semacam ini ternyata tidak berkurang dengan kegeraman banyak orang.

Di tahun 2010 ini kejadian serupa kembali berulang. Seorang nenek di Pekalongan dihukum tiga bulan penjara karena mencuri lima batang permen coklat. Kemudian, baru bulan Oktober lalu, seorang petani di Pasuruan divonis hampir 1,5 bulan karena ‘mencuri’ dua batang singkong milik tetangganya buat makan sekeluarga. Kasus-kasus memilukan yang terungkap di media massa ini hanyalah sedikit contoh dari gejala umum posisi penegakan hukum. Rakyat, yang sedang dimiskinkan, sangat gampang diseret hukum, sementara orang yang berkuasa atau berduit sangat sulit tersentuh hukum. Hukum menjadi tajam ke bawah, tapi tumpul ke atas.

Menuju “Perampingan Sistem” dan Stabilisasi Pemerintahan Neoliberal

Tahun 2010 ditutup dengan pengesahan atas perubahan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2008 Tentang Partai Politik. Perubahan ini terutama diarahkan untuk memperberat syarat pendirian partai politik (parpol). Ini merupakan saringan pertama peraturan perundang-undangan, untuk mewujudkan “pemerintahan yang kuat dan stabil”. Saringan peraturan berikutnya adalah yang mengatur tentang pemilihan umum (pemilu), yakni syarat bagi parpol untuk menjadi kompetitor dalam pemilu, dan batas perolehan suara untuk dapat mengirim perwakilan ke parlamen (electoral threshold).

Di samping telah melakukan pelanggaran konstitusional, yang untuk ini dapat diadukan ke Mahkamah Konstitusi, pembatasan partai politik merupakan bagian dari upaya membangun “pemerintahan yang kuat dan stabil” tadi. Fase reformasi politik tampaknya mulai mendekati tahap puncak berupa tercapainya konsensus kepentingan antara sebagian faksi-faksi politik yang sempat ‘terpecah-belah’ oleh liberalisasi 1998. Bila dipandang dari sudut ini, maka kemunculan koalisi setgab yang sedikit terbahas di atas, tampak seperti sebuah ‘uji-coba’ menuju perampingan sistem, menuju pengorganisasian politik yang lebih tersentralisasi, tidak berserak di banyak parpol seperti keadaan sekarang

Berkacalah kepada sejarah

Kalau saja para pemimpin negeri ini mengerti akan hukum agama, dan banyak mengambil dari pelajaran masa lalu, maka mereka ‘mungkin’ akan ‘insyaf’ dari hal-hal seperti diatas. Kita contohkan saja Bung Karno. Beliau berani menentang hegemoni barat yang dimotori Amerika serikat dan Inggris, bahkan sampai muaknya dengan ‘ketidakadilan’ dalam PBB, beliau berani mengambil sebuah tindakan yang cukup ‘ekstrem’ yaitu menjadi anggota yang pertama keluar dari PBB.

Betapa susahnya para pahlawan kita terdahulu merebut tanah air ini dari penjajah, eh tetapi malah dikotori oleh oknum-oknum pengacau pemuas hawa nafsu kepentingan asing. Kalau kita lihat, kita sudah tertinggal jauh dari Malaysia tetangga kita. Mungkin aka nada yang bilang, “Anda tidak fair membandingkan Negara Indonesia dengan Malaysia. Malaysia kan negaranya kecil, jadi gampang diatur”. Saya rasa, perkataan diatas itu salah satu ungkapan orang yang motivasi untuk majunya mandeg. Sebenarnya, kita tidak usah membutuhkan asing. Kita ini negeri kaya, tidak usah mengimpor barang-barang dari luar, karena Sumber daya alam kita ini melimpah ruah. Minyak bumi, gas alam, kayu, emas, intan, beras, dan masih banyak yang lainnya. Sangat disayangkan dengan tindakan-tindakan oknum pengkhianat Negara ini. Mereka merepresentasikan orang-orang yang tidak mau bersyukur kepada nikmat Tuhan.

Orang-orang asing nyolongin kekayaan kita, sedangkan kita hanya bisa diam saja, dan malah dengan enaknya mengimport barang-barang dari luar negeri. Pantas saja Negara kita tidak maju-maju, wong Negara kita itu kerjaannya Cuma mengkonsumsi saja, tidak mau memproduksi. Padahal kita bisa mencontoh China atau Malaysia dalam hal produksi luar negerinya. Sangat disayangkan negeri sekaya seperti Indonesia ini malah menjadi sarang rakyat melarat.

*Santri di Ma’had Amanah Muhammadiyah Tasikmalaya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun