Penulis: Wage Wardana (Komisioner KPU Jakarta Timur)
Geliat Dukungan
Pemilihan Gubernur DKI Jakarta memang masih lama yaitu dibulan Februari 2017, namun euphoria masyarakat mengenai hal tersebut sangat terasa. Massa yang terkoordinir maupun yang tidak terkoordinir mulai menunjukkan dukungannya kepada jagoannya masing-masing baik melalui kegiatan sehari-hari maupun lewat media sosial. Baik melalui dukungan yang simpatik bahkan sampai saling menghujat jagoan pihak lain. Komunitas-komunitas terkoordinir mulai muncul seperti Teman Ahok, Sahabat Djarot, TemanKitaSemua, Suka Haji Lulung dan lain-lain menambah dinamisnya suasana dukungan.
Geliat dukungan tersebut menunjukkan adanya animo yang luar biasa dalam diri masyarakat DKI Jakarta terkait pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur pada tahun 2017. Padahal, duet kepemimpinan Ahok-Djarot masih belum menyelesaikan masa baktinya, mereka masih mempunyai banyak waktu untuk melakukan Finishing berbagai program kerja mereka dalam menata DKI Jakarta. Animo masyarakat juga ditunjang oleh pemberitaan media massa yang sangat progress dan dinamis dalam memberitakan dinamika suksesi kepemimpinan di DKI Jakarta, hal tersebut kadang membuat pemberitaan mengenai program yang sedang berjalan dan akan dijalankan oleh pemprov DKI Jakarta kalah actual.
Media sosial jelas menjadi sasaran yang paling empuk dalam rangka sosialisasi dan menunjukkan dukungan kepada public. Facebook, Twitter, Path, dan Instagram menjadi media yang efektif dalam sosialisasi dan galang dukungan. Awalnya media sosial tersebut menjadi alat untuk publikasi calon dan perkenalan calon, namun kini seiring dengan gesekan-gesekan lewat media, media tersebut juga menjadi media untuk saling menjatuhkan lawan politiknya. Tweetwars di Twitter menjadi hal yang lazim dan menjadi makanan masyarakat sehari-hari. Black Campaign yang dulunya terasa tabu, kini menjadi sesuatu hal yang biasa terjadi, jelas ada pergeseran paradigma dalam hal ini.
Fenomena Deparpolisasi
DKI Jakarta-1 memang menjadi sebuah jabatan prestisius dan menjadi sebuah tolak ukur bagi layak atau tidaknya seseorang bertransformasi menjadi tokoh nasional. Sehingga, tidaklah mengherankan kalau banyak para kepala daerah juga disebut-sebut sebagai calon kontestan dalam rangka perhelatan akbar tersebut. sebut saja Walikota Bandung Ridwan Kamil, Walikota Surabaya Tri Rismaharini, Bupati Banyuwangi Abdullah Azwar Anas serta beberapa kepala daerah lainnya pun disebut media massa dan beberapa partai layak “ naik kelas” menuju DKI Jakarta 1.
Hiruk pikuknya dukungan kepada calon-calon tertentu menimbulkan panasnya persaingan para calon kontestan, ditengah suasana tersebut muncullah sebuah terminology yang sangat unik yaitu Deparpolisasi. Munculnya istilah Deparpolisasi ditengarai ketika akhirnya sang petahana yaitu Ir. Basuki Tjahaja Purnama yang akrab dipanggil Ahok memutuskan untuk mencalonkan kembali sebagai Gubernur DKI Jakarta didampingi Heru Budi Hartono, SE, MM setelah awalnya gencar melakukan pendekatan untuk berduet dengan Wagub Djarot Saeful Hidayat, namun pendekatan sang petahana kemudian kandas akibat adanya mekanisme partai. Akhirnya Ahok mantap mengambil jalan independent dengan disokong Teman Ahok yang terus menerus bergerilya mengumpulkan KTP sebagai dukungan untuk Ahok-Heru.
Fenomena incumbent yang memilih jalur independent dan mempunyai kans yang kuat dalam memenangi kompetisi inilah yang ditengarai beberapa pihak memunculkan istilah deparpolisasi. Deparpolisasi menurut kamus besar bahasa Indonesia adalah pengurangan partai politik, namun tidak demikian dengan arti yang tersurat dalam KBBI tersebut, arti Deparpolisasi yang berkembang dewasa ini adalah pengurangan/peniadaan peran partai politik dalam kehidupan berdemokrasi dewasa ini. Kasarnya banyak pihak berpandangan bahwa tanpa partai politikpun Ahok bisa memenangi pertarungan ini. Tentu ini hanya prediksi karena tahap pencalonan yang diagendakan oleh KPU DKI Jakarta juga belum mulai, jadi masih jauh kalau menganggap salah satu bakal calon akan memenangkan kompetisi tersebut.
Pandangan Terhadap Deparpolisasi
Majunya Petahana Basuki Tjahaja Purnama melalui jalur independent bukanlah sebuah rekonstruksi dalam rangka Deparpolisasi, majunya Ahok melalui jalur tersebut adalah sebuah hak warga negara yang dilindungi oleh konstitusi dan pengejawantahan dari perkembangan demokrasi. Fungsi Partai Politik dalam UU No 2 Tahun 2008 adalah salah satunya adalah melakukan pendidikan politik dan rekrutmen politik, ketika pendidikan politik dan rekrutmen politik dilakukan secara konsisten oleh parpol maka wacana Deparpolisasi tidak perlu dikhawatirkan, dan patut dicatat calon independent bukan bentuk dari deparpolisasi.
Wacana tentang Deparpolisasi tentu adalah teguran, evaluasi dan koreksi terhadap fungsi partai politik yang belum berjalan secara maksimal. Andaikata dua fungsi tersebut dijalankan secara maksimal, maka pemahaman masyarakat akan politik semakin baik, serta mekanisme rekrutmen politik yang bagus tentu membuat calon yang diusung oleh partai politik mempunyai kualifikasi yang sangat baik, ketika partai politik mempunyai para calon kepala daerah yang berkualitas, tentu saja masyarakat akan memilih kandidat yang disung oleh partai politik. Ketika ada pemahaman dari masyarakat mengenai calon dari partai kurang layak dipilih, maka ada yang salah dalam pendidikan dan rekrutmen politik selama ini, apalagi banyak masyarakat melihat bahwa parpol tak segan melakukan transaksi dalam memberikan dukungan kepada calon yang diusungnya.
Konklusi
Akhirnya, pilgub DKI Jakarta 2017 tentu menjadi sebuah momentum tidak hanya buat Parpol, calon independent , Volunteer , dan masyarakat DKI Jakarta pada umumnya untuk untuk melakukan perbaikan dalam sistem perpolitikan dan demokrasi di Indonesia. Partai politik tentu harus berkaca terhadap kinerjanya, wacana deparpolisasi tentu akan membuat partai tergerak melakukan perbaikan mendasar dalam melakukan pendidikan politik dan dalam memformulasi rekrutmen politik kedepan supaya lebih baik lagi. Bagi calon independent hal tersebut tentunya ada celah dan peluang dalam rangka memikat masyarakat untuk memilih mereka, selama ada program dan komitmen yang sangat jelas. Sedangkan untuk para calon pemilih, jelang pemilihan ini tentu mereka mempunyai banyak waktu melihat rekam jejak para calon pemimpinnya, oleh sebab itu jadilah calon pemilih yang cerdas. (Rasyid)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H