"Hidup ini untuk apa?". Mungkin bagitulah, ungkapan yang bisa diungkapkan untuk hari ini, dan mungkin hal itu akan berulang untuk hari esok dan seterusnya.
Berawal dari sebuah kejenuhan, hingga pada akhirnya hal itu akan berakhir dengan yang namanya kemalasan. Kemalasan yang akan berujung pada tahap kebuntuan. Kebuntuan untuk dapat berpikir secara kritis, dan kebuntuan untuk dapat bertindak secara kongkrit. Hal itulah yang akhir-akhir ini dihadapi dan kerap kali terjadi.
Kemalasan itu hadir bukan tanpa sebab. Sebab, segala sesuatunya memang sudah pasti akan menghadirkan akibat sebagai konsekuensi logis. Sama halnya dengan sebab orang sakit sebagai akibat dari tidak teraturnya dalam mengatur cara kita hidup sehat, atau akibat lainnya seperti keseringan kita tidur larut malam (keseringan begadang). Hal lainnya juga, penyebab dari kita tidak minum obat atas resep yang disarankan seorang dokter, akan berakibat pada penyakit kita kambuh.
Dan contoh kemalasan lainnya, seperti hadirnya kemalasan untuk menjaga hubungan manusia berinteraksi dengan alam (Hablum minal alam). Malasnya kita untuk merawat keberlangsungan dan menjaga ekosistem pohon dilingkungan sekitar misalnya. Untuk menjaga keberlangsungan resapan air agar tidak tergenang yang pada akhirnya berakibat pada air bah (banjir), yang hal itu jika terjadi akan berakibat petaka bagi kita (Manusia).
Pembangunan, inovasi infrastuktur, dan keberlangsungan mode industrialisasi memang menjadi tantangan dan gerakan pembaharu dilakukan secara masif besar-besaran.
Disetiap lini wilayah, gerakan industrialisasi tersebut menyebar tanpa mengenal batas. Karena memang begitulah, kita dituntut untuk secara konkrit melakukannya secara bersama-sama. Tanpa melihat kesiapan dan unsur-unsur pendukung lainnya, semuanya menjadi wajib untuk dilakukan.
Namun yang terjadi, kesiapan dan hasil dari mode industrialisasi bukan menjadi asas bagi berlangsungnya kebermanfaatan untuk dapat dilakukan dan disebarkan secara luas.
Melainkan justru, disempitkan oleh kemalasan yang hal itu dilakukan secara massif. Akhirnya yang terjadi adalah, sumber kebermanfaatan berubah menjadi sumber kebuntuan dalam menjaga eksistensi dan inovasi perubaan baru.
Melihat berbagai macam ragam alasan tersebut, bahwa sebetulnya kebuntuan itu hadir atas akibat dari gesekan perlombaan kepentingan individual yang datangnya dari diri sendiri dan bias faktor orang lain (lingkungan sekitar). Tidak heran, jika arena gesekan perlombaan itu pula, kerap kali ingin mempertontonkan siapakah yang menang? dan siapakah yang kalah?
Memperdebatkan segala sesuatunya tentang pendapat argumen individual, siapakah pendapat yang benar? Dan siapakah yang salah?. Belum lagi jika hal itu melihat terhadap individu mereka yang berkuasa, dan bagi mereka jajaran para penguasa.
Disisi lain, kita juga memang dihadapkan pada sebuah kenyataan yang menyebutkan bahwa, pentingnya mode industrialisasi pengelompokan dan pengorganisiran terhadap individu-individu yang lahir untuk dapat menyatukan kedalam satu persepsi.
Satu persepsi tersebut yang sangat diyakini benar, walaupun ada lain persepsi yang juga menjustifikasi bahwa persepsinyalah yang paling benar. Jika kita melihat persepsi atau pengelompokan tersebut.
Pengelompokan itu, sebetulnya diharapkan untuk dapat dengan mudah mencari dan memberikan pemahaman akan satu persepsi sudut pandang lainnya. Dan dari satu persepsi tersebut diharapkan dapat membunuh atau menyingkirkan persepsi lain, yang dinilainya, persepsi lain tersebut hanya akan menjadi ancaman dan penghambat bagi keberlangsungan akan kepentingan pengelompokan dan pengorganisiran tadi.
Semuanya saling berlomba-lomba, dan ingin memenangkan perlombaan itu atas nama pribadi (individu). Sementara, individu lainnya termarjinalkan bahkan tak terawat sama sekali. Konsep berjamaah, saling bekerja untuk menjalin kebersamaan (gotong royong) hambar begitu saja. Dan jika hal itu terjadi, bermalas-malasan dan madzhab dari diri sendirilah yang merasa paling benar.
Dan akibatnya, tidak ada kesepahaman upaya untuk sampai pada kata persatuan dan kerukunan nalar kritis kebuntuan itu. Maka, perlunya untuk saling memahami kembali (came back) terhadap intropeksi diri kita masing-masing.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H