Salah satu masalah dilokasi kawasan hutan pada dikade tahun 1980-2.000 adalah terjadinya perambahan hutan dan illegal loging. Kegiatan tersebut tidak  terkedali pada masa transisi dari era orde baru (ORBA) ke  era reformasi tahun 1997-1998. Para oknum memanfaatkan situasi tersebut melakukan illegal loging. Di saat itu juga terjadi krisis moneter ada lonjakan harga-harga kebutuhan dan harga komoditas perkebunan menjadi naik terutama buah kopi, sebelum krisis moneter harga kopi Rp. 2.000/kg pada saat kritis menjadi Rp.15.000/kg hal tersebut mejadi alasan masyarakat merambah hutan negara.  Kebutuhan hidup semakin sulit dan harga kopi dan coklat mahal itu faktor utama mereka masuk kedalam kawasan hutan negara. Lahan hutan yang sudah berhasil di Reboisasi ikut hancur dijadikan lahan perkebunan kopi, coklat dll sehingga terjasi deforetasi, hutan alamiah dirusak kayunya diambil sehingga kawasan hutan negara jadi gundul.
Terbitnya Undang-Undang Nomor 41 tahun 1999 tetang Kehutanan mejadi kontroversi disisi lain menteri kehutanan ingin  menegakan aturan disisi lain masyarakat sudah kadong masuk dalam kawasan hutan negara.
Meditasi antara Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) dan Pemerintah untuk mencari solusi pola pengelolaan yang melibatkan masyarakat yang sudah masuk dalam Hutan Negara, maka pada tahun 2.000 ada kesempatan di anulirnya masyarakat untuk dilibatkan dalam pengelolaan hutan berbasis masyarakat yang tujuannya hutan lestari masyarakat sejahtera.Â
Semakin luasnnya keinginan masyarakat untuk mengelola Kawasan hutan negara maka terbitlah regulasi pertama yaitu Keputusan Menteri Kehutanan SK Nomor : 31/Kpts-II/2001 tetang Penyelenggaraan Hutan Kemasyakatan. Pada peraturan tersebut masyarakat melalui lembaga Kelompok hutan kemasyakatan (HKm) diperbolehkan untuk mengajukan permohonan kepada menteri kehutanan dan selanjutnya menteri kehutanan meberi kewenangan kepada pemerintah daerah kabupaten untuk memberi Ijin Usaha Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan (IUPHKm) yakni ijin semetara diberikan selama 5 tahun dan ijin devinitif selama 35 tahun dengan ketentuan diwajibakan merehabilitasi lahan kelola mereka dengan menanam kayu-kayuan dan buah-buahan minimal 400 batang per hektar serta diwajibkan menjaga hutan yang masih utuh untuk tetap dipertahanakan dari gangguan dari pihak-pihak pelaku illegal loging. Hasil yang diperbolehkan untuk manfaatkan oleh anggota kelompok pada hutan lindung berupa Hasil Hutan Bukan Kayu (HHBK) sedangkan yang mengelola hutan produksi berupa Hasil Hutan Kayu (HHK).
Seiring perjalanan waktu pemerintah telah mengeluarkan beberapa regulasi yang mengatur pengelolaan hutan oleh masyarakat, yaitu Permenhut no 37 tahun 2007, Permenhut P.88 tahun 2014, PermenLHK P.83 tahun 2016 tetang Perhutanan Sosial dan regulasi pada saat ini yaitu PermenLHK Nomor P.9 tahun 2021 tentang Pengelolaan Perhutanan Sosial.
Yang menjadi pertanyaan apakah selama masyarakat mengelola kawasan hutan negara, hutannya semakin baik dan masyarakat semakin sejahtera atau sebaliknya apakah hutan semakin rusak dan masyarakat yang berada dalam kawasan hutan maupun diluar hutan semakin miskin serta apakah apa dampak lingkungan nya?.
Untuk menjawab semua itu perlukan ada penelitian yang detail untuk mengtahui dampak-dampak secara ilmiah yang ditimbulkan dari pengelolaan hutan oleh masyarakat.
Kehadiran tim peneliti dari Pusat Riset Masyarakat dan Budaya , Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRMB-BRIN) ke Provinsi Lampung pada akhir bulan mei 2023 melakukan penelitian di KPH liwa kepada 5 kelompok Pemegang Persetujuan Perhutanan Sosial  generasi pertama dan generasi terbaru.