Perempuan, Demokrasi Dan Partisipasi PolitikÂ
Oleh: Wa Ode Azrina, Ketua Umum Komisariat IMM FKIP UHO
Momentum pesta demokrasi menjadi kesempatan dan peluang yang sangat menentukan bagi masa depan masyarakat Sulawesi Tenggara (Sultra) pada umumnya khususnya perempuan.
Tampilnya sosok perempuan adalah babak baru pada demokrasi di Indonesia pada satu dekade ini menunjukkan bahwa peran perempuan dalam demokrasi elektoral semakin penting. Sekaligus meneguhkan kerasnya demokrasi tidak melemahkan perempuan untuk hadir dan berkiprah membangun demokrasi kebangsaan.
Ruang-ruang partisipasi yang bisa diakses perempuan menjadi gambaran kalau perempuan saat ini memiliki potensi yang tidak boleh dianggap sebelah mata. Bahkan menempati posisi-poisi yang sebelumnya dominan laki-laki.
Masalah Kultur Sosial
Meski demikian problem tetaplah muncul, seperti faktor sosiologis di karenakan masyarakat menganut paham patriarki. Di sini, laki-laki menjadi patron utama dalam struktur masyarakat yang ada.
Problem kultural, masih bisa dirasakan pada masyarakat perdesaan. Dimensi kodrati masih amat kental dan melekat dibenak masyarakat. Maka tak heran jika masih ada hambatan yang tumbuh pada perempuan yang ada di pedesaan. Namun kondisi ini berbeda pada masyarakat perkotaan, yang sudah terbuka dan memberikan ruang yang setara kepada perempuan.
Dalam sistem demokrasi saat ini, peran perempuan dalam regulasi mendapatkan porsi sendiri. Alasan utama partisipasi perempuan merujuk pada keadilan, akses yang setara untuk melakukan partisipasi politik dan peluang yang setara bagi perempuan untuk mempengaruhi proses kebijakan politik dengan perspektif perempuan.
Lewat afirmasi perempuan, mendapatkan tempat di ranah demokrasi. Keterwakilan 30 persen menjadi salah satu hal yang harus dipenuhi dalam setiap kontestasi, seperti di penyelenggara pemilu pemantau, Eksekutif, Yudikatif, dan Legislatif.
Sama halnya dengan yang menjadi anggota KPU, Bawaslu, dan jajaran di bawahnya. Kuota 30 persen dari jumlah anggota ada yang terpenuhi dan ada yang tidak.