Mohon tunggu...
rasikha tsabita husna
rasikha tsabita husna Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta

Mahasiswa UIN Syarif Hidayatullah Jakarta - FDIKOM -Pengembangan Masyrakat Islam

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Keseimbangan antara Ibadah dan Muamalah

9 November 2024   17:05 Diperbarui: 9 November 2024   18:30 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

Secara umum sudah dipahami bahwa pilar utama agama islam adalah aqidah, syariah, dan akhlak. Syariah meliputi ibadah dan muamalah. Ibadah adalah hubungan manusia dengan Tuhan dan muamalah adalah hubungan manusia dengan sesamanya. (Asrian Hendicaya, 2015)

Ibadah merupakan salah satu tujuan penciptaan manusia dan untuk merealisasikan tujuan tersebut, diutuslah para rasul dan kitab-kitab diturunkan. Setiap muslim tidak hanya dituntut untuk beriman, tetapi juga dituntut untuk beramal sholeh. Karena Islam adalah agama amal, bukan hanya keyakinan. Ia tidak hanya terpaku pada keimanan semata, melainkan juga pada amal perbuatan yang nyata. Keimanan harus diwujudkan dalam bentuk amal yang nyata, yaitu amal sholeh yang dilakukan karena Allah. Ibadah dalam Islam tidak hanya bertujuan untuk mewujudkan hubungan antara manusia dengan Tuhannya, tetapi juga untuk mewujudkan hubungan antar sesama manusia. (Dr. Sholihin Fanani, M.PSDM, 2020, hlm. 5, 8)

Ibadah Secara Etimologi berasal dari bahasa Arab yakni 'Abada-Ya'budu'-'Ibadatan wa 'Ubudiyyatan, yang memiliki arti beribadah, menyembah, mengabdi kepada Allah SWT. Sedangkan, Ibadah secara terminologi sebagaiman disebutkan oleh Yusuf al-Qardhawi yang mengutip pendapat Ibnu Taimiyah bahwa ibadah adalah puncak ketaatan dan ketundukan yang di dalamnya terdapat unsur cinta yang tulus dan sungguhsungguh yang memiliki urgensi yang agung dalam Islam dan agama karena ibadah tanpa unsur cinta bukanlah ibadah yang sebenar-benarnya.

ibadah kepada Allah memberikan dorongan semangat (spirit) bagi seseorang untuk melakukan perbuatan ibadah yang mencakup semua aspek kehidupan dan seluruh aturannya, seperti adab makan, minum, buang hajat sampai pada permasalahan mendirikan negara, politik pemerintahan, manajemen ekonomi, persoalan hubungan antar manusia.

Terdapat berbagai pandangan ulama dan cendikiawan muslim yang berkontribusi memberi rumusan terkait  ini. Masing masing mereka memiliki standar penilaian yang berbeda sehingga memunculkan terminologi yang sedikit berbeda antar sesama. dengan demikian, secara ijmali ibadah dapat dikategorikan menjadi dua kelompok sebagai berikut:

Pertama, disebut dengan ibadah mahah. Secara bahasa mahah bermakna sesuatu yang bersih, murni, tidak bercampur, dan absolute. ibadah mahah merupakan ibadah yang sebab perintahnya tidak akan mampu dikaji atau dipahami oleh akal fikiran manusia. Manusia tidak mungkin mampu untuk mengkaji maqasid apa yang terkandung dibalik perintah pelaksanaan ibadah tersebut. Selain mencakup hal hal yang tidak mampu diketahu maqasid pelaksanaannya, sebagain dari ibadah mahah juga mampu mencakup hal hal yang mungkin dapat dipahami oleh akal terkait sebab pensyariatannya atau dalam bahasa ushul fiqh disebut juga dengan perkara ta'abbudiyyah. ( Nailul Amal, 2022, hlm. 31 )

Kedua, Ibadah ghairu mahah. Jika mahah bermakna murni dan tidak bercampur. Maka ghairu mahah bermakna telah bercampur. ibadah ghairu mahah adalah bahwa jenis ibadah ini mencakup seluruh perbuatan yang berpotensi mendekatkan diri kepada Allah. Sebab taqarrub ilallah merupakan salah satu perintah Allah, maka segala sesuatu yang mendukung jalan taqarrub kepada Allah turut dipandang sebagai ibadah. ( Nailul Amal, 2022, hlm. 33 )

Dari Klasifikasi Ibadah diatas yang terbagi dua, yaitu Ibadah Mahdhoh dan Ibadah Ghairu Mahdhoh. Fiqh Muamalah adalah penjabaran lebih lanjut dari konsep Ibadah ghairu mahdhah dalam arti sempit, yaitu hukum yang mengatur hubungan antar manusia yang bersifat kebendaan lewat transaksi. ( Dr. Harun, MH, 2017, hlm. 3)

Kata Muamalat ( ) yang kata tunggalnya muamalah ( )yang berakar pada kata ( ) secara arti kata mengandung arti saling berbuat atau berbuat secara timbal balik. Lebih sederhana lagi berarti hubungan antara orang dan orang. Muamalah secara etimologi sama dan semakna dengan al-mufa'alah yaitu saling berbuat (Ghazaly dkk., 2018) Sedangkan pengertian muamalah secara terminologi memiliki beberapa pengertian, yaitu:

  • Muamalah adalah hubungan antara manusia dalam usaha mendapatkan alat-alat kebutuhan jasmaniah dengan cara sebaik-baiknya sesuai dengan ajaran-ajaran dan tuntutan agama ( Nasrun Haroen, 2007, hlm.1 )
  • Muamalah adalah hukum yang mengatur hubungan individu dengan individu lain, atau individu dengan negara Islam, dan atau negara Islam dengan negara lain. ( Abdul Aziz Muhammad Azzam, 2010, hlm. 6 )

Pendapat Al-Fikri menyatakan bahwa muamalah dibagi dua bagian sebagai berikut:

1. Al-Muamalah Al-Madiyah, yaitu muamalah yang mengkaji objeknya, sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa muamalah Al-Madiyah ialah muamalah bersifat kebendaan Muamalah Al-Madiyah yang dimaksud Al-Fikri ialah aturan-aturan yang ditinjau dari segi objeknya. ( Prilia Kurnia Ningsih, 2021, hlm. 10)

2. Muamalah Al-Adabiyah adalah aturan-aturan Allah yang berkaitan dengan aktivitas manusia dalam hidup bermasyarakat dilihat dari segi subjeknya, yaitu manusia sebagai pelakunya. ( Prilia Kurnia Ningsih, 2021, hlm. 11 )

Hubungan Ibadah dan Mu'amalah merupakan dua aspek yang saling berkaitan, yang tidak mungkin dipisahkan antara satu sama lain, jika boleh diandaikan, kedudukan ibadah seperti halnya wujud ruh dalam jasad, sedang posisi muamalah layaknya jasad pada diri manusia, baik aspek ibadah maupun muamalah keduanya merupakan satu kesatuan yang mempunyai andil besar dalam membentuk keseimbangan hidup manusia.

Ibadah merupakan  kebutuhan  rohani seseorang, jika  kebutuhannya tidak  terpenuhi  akan menyebabkan ketidak seimbangan  dalam kehidupan, kebutuhan  rohani  seperti  shalat, puasa, zakat dan amalan-amalan 'ubudiyah yang lain, secara tidak langsung akan mendatangkan ketenangan dan kedamaian  dalam  jiwa.

Selain manusia memerlukan ibadah untuk memenuhi kebutuhan rohaninya, manusia juga memerlukan  masyarakat untuk  memenuhi  kebutuhan  sosialnya. Manusia  tidak  dapat  hidup sendiri, dia butuh hidup  bermasyarakat. Hukum Islam  mengakui  hal  tersebut, sehingga  tidak hanya mengatur tentang ibadah yang  merupakan hubungan  vertikalnya  dengan  tuhan,  hukum Islam  juga  mengatur  tentang  ibadah  horisontal  yang  mengatur  hubungannya  antar  sesama manusia. (Yudi Ariyanto, 2019, hlm. 44)

Tidak cukup hanya terpenuhinya ritme ibadah dalam diri manusia, melainkan  juga dituntut  pada terpenuhinya aspek sosial, aspek sosial yang menekankan  sikap  toleran  terhadap sesama makhluk, dalam arti aspek muamalah mengatur bagaimana pentingnya berbuat baik dan menempatkan diri  pada  posisi  semestinya  dalam  berinteraksi  dengan  sesama.  Terpenuhinya aspek muamalah menjadi sangat penting bukan hanya sebagai pelengkap unsur ubudiyah, akan tetapi  karena ia merupakan manifestasi dari  kebenaraan ritual ubudiyyah.

Islam menetapkan apabila nilai-nilai perbuatan manusia tidak kembali kepada  kemanfaatan  dan kebaikan atau tidak berfaedah bagi masyarakat, maka tidak ada kebaikan dalam ibadah-ibadah yang sudah dilaksanakannya. (As-Sidqy:408) Misalnya, jika seseorang hanya rajin beribadah, dia selalu  mengerjakan  shalat-sunnah, puasa-puasa  sunnah, dan  ibadah-ibadah yang lainnya, tetapi tidak pernah berbuat baik dalam bidang sosial  kemasyarakatan,  maka  sebenarnya  ibadahnya tidak  berarti. Dalam hal  ini  dapat  kita  pahami  bahwa  Allah  selalu  mengaitkan  segala  sesuatu terhadap perbuatan manusia. Karena memang tujuan hukum Islam sendiri adalah untuk menjaga manusia.

Dalam  hal mu'amalah hendaknya  manusia  dapat  berkreasi  dan  mengembangkan dirinya  untuk  kepentingan  sosial  dan  kemajuan  manusia. Selalu  mengutamakan  kepentingan individual  dalam  hal  ibadah  dan  mengutamakan  kepentingan  sosial  dalam  bidang  muamalah, bukan hal yang bertentangan satu sama lainnya, melainkan dua hal yang saling melengkapi untuk mencapai suatu keseimbangan antara kepentingan individu dan masyarakat dalam hukum Islam.

Dalam  menjalankan  keseharian, penting  bagi  kita  untuk  mengingat dua prinsip  di  atas. Ibadah  tidak  dapat  dilakukan  dengan  sekehendak  hati  kita  karena  semua  ketentuan  dan aturan telah ditetapkan dalam Al-Quran dan Sunnah, serta contoh dan tatacaranya telah diajarkan oleh Rasulullah SAW semasa hidupnya. (Yudi Ariyanto, 2019, hlm. 46)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun