Oleh : Rasi Kasim Samosir, S.P
DPR yang merupakan salah satu lembaga tinggi negara dalam sistem ketatanegaraan Indonesia atau yang dikenal sebagai lembaga perwakilan rakyat yang dipilih melalui pemilihan umum melalui perwakilan partai politik. Pada hari Senin tanggal 12 Februari 2018 merupakan hari yang bersejarah buat DPR yang ditujukan kepada rakyat. Mengapa dikatakan hari bersejarah? Tidak lain merupakan hari sejarah dalam menyesatkan rakyat. Melakukan sidang paripurna merupakan hal yang wajar dan merupakan salah satu agenda DPR RI. Akan tetapi, hal yang wajar sering disalah artikan oleh para wakil rakyat kita di Indonesia yang kita cintai ini.
Mengapa tidak? Agenda sidang paripurna pada saat itu yaitu mengesahkan penambahan pimpinan DPR dan MPR, serta revisi pasal kontroversial yaitu peraturan Pasal 73, Pasal 122 dan Pasal 245. Penambahan pimpinan DPR dan MPR diasusmsikan tidak menambah output kinerja DPR dan MPR. Penambahan pimpinan DPR dan MPR berbanding lurus juga dengan penambahan anggaran belanja para legislator yang membebankan keuangan negara. Menyoroti pasal 73, ditambahkan kata "wajib" bagi polisi memanggil paksa pihak yang diperiksa DPR, namun enggan datang. Bahkan dalam ayat 6 pasal tersebut, polisi berhak menyandra pihak yang menolak hadir diperiksa DPR paling lama 30 hari.
Nantinya ketentuan penyandraan akan diperkuat dengan adanya Peraturan Kapolri. DPR menyalah artikan fungsi pengawasan dengan berdalih mengotot untuk memeriksa atau menyelidiki duduk bahasan yang sedang dibahas di pansus. Sebagai contoh, pansus lembaga, DPR berhak memanggil pimpinan lembaga. Apabila ditolak hadir selama 30 hari, polisi berhak menyandra dan dikuatkan dengan Peraturan Kapolri (Perkap). Menyoroti pasal 122 huruf k yang mengatur soal kehormatan DPR dan anggota DPR. Kata 'merendahkan' pasal tersebut berbahaya dan dapat mengancam kebebasan masyarakat dalam menggunakan hak konstitusionalnya dalam mengawasi wakil rakyat.
Kemunduran demokrasi terletak pada revisi pasal 122 huruf k karena DPR yang berfungsi sebagai lembaga yang memiliki fungsi pengawasan kepada pemrintah hanya diawasi oleh MKD. Mahkamah Kehormatan Dewan yang merupakan salah satu alat kelengkapan dewan yaitu bagian dari DPR itu sendiri. Siapa lagi yang bisa bersuara selain MKD untuk mengawasi DPR? Warga yang sering disebut sebagai orang-orang yang bersuara dalam mengawasi kinerja perwakilan rakyat menjadi takut nantinya apabila bersuara dalam "mendorong" kinerja DPR.
Mengapa takut? Karena dengan disahkannya pasal 122 huruf k berbunyi MKD bertugas mengambil langkah hukum dan atau langkah lain terhadap orang perseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR. Menyoroti pasal 245 tentang pertimbangan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) dalam pemeriksaan anggota DPR yang terlibat pidana. Aturan lainnya yakni soal peran Mahkamah Kehormatan Dewan dalam pemeriksaan anggota DPR oleh penegak hukum. Padahal, klausul pemeriksaan anggota dewan harus seizin MKD telah dibatalkan MK.
Hanya saja, dalam RUU MD3, kata "izin" diganti dengan "pertimbangan". Hal tersebut disinyalir dapat memperlambat proses hukum terhadap anggota dewan. Dalam hal ini dapat dilihat bahwa anggota DPR yang terlibat dalam proses hukum menghambat lama proses hukum. Dapat dilihat bahwa kinerja DPR selama hampir 4 tahun belum berpihak kepada rakyat. Pasal 20A UUD 1945 yang menyatakan bahwa DPR memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi sering disalah artikan oleh DPR untuk memikirkan kepentingan pribadi bahkan kelompok. DPR tidak memikirkan aspirasi rakyat. Bukti nyata, masih banyak Rancangan Undang-Undang yang belum disahkan menjadi Undang-Undang.
Penulis berharap revisi UU MD3 pasal 73, 122, dan 245 sebaiknya ditinjau ulang dan berpihaklah kepada rakyat dan menjadi wakil rayat yang benar-benar penyambung aspirasi rakyat. Sudah sebaiknya, Rancangan Undang-Undang yang penting dalam mendorong pembangunan Indonesia dan untuk mensejahterakan rakyat dibahas dengan benar-benar pro rakyat dan dijadikan Undang-Undang. Presiden Jokowi dengan slogannya yang dikenal kerja, kerja, kerja maka bekerjalah wahai para wakil rakyat dengan tulus dan ikhlas tanpa memikirkan kepentingan pribadi dan kelompok. Koordinasi pemerintah dan DPR perlu ditingkatkan dalam mendorong pembangunan Indonesia serta mensejahterakan rakyat. Sudah saatnya DPR memikirkan Undang-Undang yang mengatur tentang tingginya jumlah investor dalam mendorong percepatan pembangunan Indonesia di segala sektor.
Salam hormat wakil rakyat!
Kerja,kerja,kerja!
Penulis adalah mahasiswa magister perencanaan pembangunan wilayah dan pedesaan Universitas Sumatera Utara dan anggota GMKI Cabang Medan dan Ketua Departemen Bidang Pendidikan DPC GAMKI Kota Medan
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H