Sebenarnya saya takut menulis. Itu adalah ungkapan paling jujur saya. Tidak seperti kesukaan saya pada menulis, rasa takut saya jauh lebih besar. Saya takut orang lain akan mengenal saya. Saya takut orang lain akan berpikir tentang sesuatu yang tidak saya tahu dan tidak saya suka. Saya takut isi hati saya akan diketahui orang lain. Saya pun jadi takut menulis.
Tumpukan tulisan saya hanya menjadi pajangan di dalam folder-folder tak bergerak di dalam memory komputer. Sekali terkena virus, maka semuanya hilang. Beda jika saya berani mempublikasikannya. Berani membiarkan orang lain membacanya. Maka, tulisan saya meskipun tidak diingat bahkan diingat, tetapi setidaknya pernah di baca.
Katanya “tidak perlu berguna sekarang, suatu saat nanti pasti akan berguna.”
Katanya “kamu adalah apa yang kamu tulis”
Itu adalah ketakutan terbesar saya, ketika semua orang mengenal saya. Kenapa saya begitu takut orang lain mengenal saya. Seolah selama ini saya bersembunyi. Seolah selama ini saya hanya tinggal dengan topeng palsu. Seolah selama ini saya adalah seseorang yang sebenarnya tidak boleh diketahui khalayak ramai.
Tapi, saya hanya orang biasa. Lahir di kota kecil namun memiliki impian besar. Saya hanya orang biasa yang tidak bersembunyi. Saya hanya agak minder dengan ketidakpunyaan saya. Saya hanya pesimis dengan apa yang saya pikirkan. Saya hanya merasa kecil di antara dunia yang besar dan penuh intrik.
Saya akhirnya takut menulis. Takut membuka pikiran. Takut menyuarakan pendapat.
Tapi, takut saya bukan hanya pada menulis. Saya sebenarnya takut pada kata takut itu sendiri. Rasa takut yang saya rasakan menjadikannya sebagai kalimat yang entah mengapa mengalir dengan sendirinya bahkan tanpa saya saya pikirkan. Ia menjadi bersahabat dengan lidah saya. Sehingga tidak heran sebagian besar jawaban saya untuk pertanyaan orang lain adalah takut.
Saya benci sekali dengan takut. Dia tidak semengerikan yang kalian bayangkan. Dia sangat mengerikan. Mengikatmu dalam ketidakberdayaan. Mengunci mulutmu untuk mengatakan yang benar dan mengunci dirimu untuk melakukan yang bijak. Takut menggerogotimu hingga kakimu tidak mampu melangkah. Menghambatmu menuju masa depan yang kamu impikan.
Tapi, takut ternyata tidak salah. Ia sebenarnya tidak ada. Ia ternyata adalah dirimu sendiri. Saya sendiri yang telah menciptakannya. Saya sendiri yang membuat takut itu ada. Maka, cara terbaik untuk mengalahkan rasa takut itu adalah dengan melakukan hal-hal yang kita takutkan (Rumah di Seribu Ombak). Sehingga sampailah saya pada keputusan untuk menulis ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H