Ataupun mungkin di era kedua Pak Jokowi dengan kabinet barunya dapat melahirkan kebijakan-kebijakan yang dapat mencerahkan kita semua. Â Paket kebijakan Jokowi yang salah satunya adalah kebijakan melalui kementrian pertanian dengan 1000 desa organic, harusnya bisa diteruskan menjadi dua atau lima kali lipat dari jumlah desa menjadi misalnya 5000 desa organic di Indonesia yang terintegrasi dengan kota organic atau kota hijau yang mulai bertumbuh dimana-mana. Â
Intergrasi ini bisa menyambungkan kebijakan infrastruktur yang juga menjadi andalan Jokowi. Dan seharusnya peranan kementrian UMKM diberi porsi besar untuk inisiatif-inisiatif ekonomi kreatif dari produsen-produsen kecil kita. Â Untuk produsen besar alias penguasa besar kita dorong untuk bersaing di dunia internasional, melakukan ekspansi produk-produk Indonesia untuk diekspor dan diperdagangkan di luar negeri. Â Semoga....
Saya berpindah lagi ke display produk-produk beras. Â Terlihat, mungkin ada sebanyak 20 merek kemasan beras di rak-rak yang terpajang rapih tersebut. Â Mulai dari beras putih, merah sampai beras hitam tetapi semuanya dikemas oleh perusahaan baik berbentuk PT maupun UD yang berdomisili di Jakarta dan Tangerang. Â Di hampir semua kemasan beras tersebut tidak dicantumkan produsen dari beras tersebut atau siapa petani atau kelompok tani yang menghasilkan beras tersebut. Â
Dugaan saya perusahaan-perusahaan ini hanya mengemas saja tetapi yang  bergumpul dengan lumpur sawah adalah petani-petani di berbagai daerah di Indonesia.  Lalu dimanakah pengakuan atas peran mereka itu kita tempatkan? Â
Apakah hanya pada pembelian putus oleh perusahaan perusahaan pengemas itu kepada petani dan kelompok tani yang kita tidak tahu juga berapa harga beras per kg nya? Sementara kita tahu juga begitu banyak petani-petani kita yang telah terlilit dalam utang ijon. Â
Mereka tidak lagi mendapatkan keuntungan dari dunia pertaniannya dari sawahnya tetapi hanya sekedar sebagai upaya bertahan hidup dalam lingkaran setan yang mereka tidak tahu bagaimana jalan keluarnya. Bagi mereka bersawah dan berladang adalah kebudayaan bukan untuk mencari keuntungan.Â
Disudut yang lain lagi, saya melihat beras organic yang sudah tersertifikasi dengan gagahnya memasang logo organic Indonesia yang menjadi keharusan dalam regulasi pertanian organic di Indonesia. Â
Beras hitam organic, harganya Rp 75.400,- per kg. Â Bandingkan dengan beras biasa yang bukan organic hanya berkisar antara Rp 7.500 sampai paling mahal Rp 13.000 per kg di warung-warung kecil dan pasar-pasar tradisional di Bogor. Â Atau kita bandingkan dengan Beras Hitam organic di Kalimantan yang hanya rata-rata Rp 30.000 -- 50.000 per kg.Â
Dan di kemasan beras hitam organik itu juga tidak  tercantum nama petani dan kelompok tani yang memproduksinya.  Di satu sisi saya bahagia dan bangga mulai bermunculan produk-produk organic di pasar-pasar modern seperti ini tetapi di sisi lain ada kemirisan dimana trend isu organic ini lebih banyak termanfaatkan oleh para pengusaha besar dengan kemampuan modal yang dimilikinya. Â
Sementara nun jauh di sawah-sawah dan ladang-ladang sana para petani harus berjibaku dengan kehidupan kesehariannya yang masih bergelut dengan dampak perubahan iklim yang diakibatkan oleh rusak dan habisnya hutan-hutan alam disekitar mereka oleh ekstrasi pembangunan skala dan modal besar.
Sepertinya, sampai hari ini, pangan kita masih dikuasai oleh kaum kapitalis yang memiliki modal ekonomi yang besar dan relasi kekuasaan dengan penguasa negeri. Â Sementara para petani hanyalah sebagai produsen yang dengan keyakinan budayanya menjalani lakon kehidupan kesehariannya dengan penuh keyakinan dan semangatnya sendiri. Â Yaaah... tapi inilah realitas hidup ini. Â