Mohon tunggu...
Rasawulan Sari Widuri
Rasawulan Sari Widuri Mohon Tunggu... Wiraswasta - Senang berbagi hal yang menarik dengan orang lain

Jakarta, I am really lovin it !

Selanjutnya

Tutup

Ramadan Pilihan

Signifikansi Nilai Kebangkitan Nasional dengan Makna Bulan Ramadan

20 Mei 2020   23:04 Diperbarui: 20 Mei 2020   23:09 585
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Hari kebangkitan nasional yang diperingati setiap tanggal 20 Mei biasanya berlangsung meriah. Namun tidak meriah pada tahun 2020. Setelah 112 tahun sejak kebangkitan nasional lahir pada tahun 1908, kebangkitan nasional tahun ini diperingati dengan lebih khidmat.

Pada tahun 1908, kebangkitan nasional adalah momen dimana rasa kesadaran nasional sebagai "orang Indonesia" tumbuh dan bangkit, ditandai dengan berdirinya Boedi Oetomo. Boedi Oetomo sendiri secara harfiah berasal dari bahasa jawa "budi kang utami" yang berarti suatu usaha yang mulia.

Sesuai dengan arti harfiahnya, lahirnya Boedi Oetomo adalah sebagai usaha yang mempelopori perjuangan dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran bukan sekedar melalui perjuangan fisik. Usaha yang sangat mulia dan berhasil kita capai ditandai dengan kemerdekaan Republik Indonesia pada tahun 1945.

Boedi Oetomo adalah tonggak perubahan perjuangan bangsa Indonesia pada saat melawan penjajah. Jika pada perang dunia pertama, perang diwarnai dengan perjuangan fisik, maka pada perang dunia kedua, strategi memenangi perang berubah dengan memanfaatkan kekuatan pemikiran.

Perubahan lain yang dapat dilihat adalah bentuk perjuangan yang bersifat kedaerahan berubah menjadi bersifat nasional,  menyeluruh di seluruh Indonesia. Ini tentu menyadarkan bahwa rasa persatuan sangat penting untuk memenangkan perjuangan. Sesuai dengan peribahasa, "bercerai kita runtuh, bersatu kita menang".  

Setelah lebih dari satu dekade, rasa persatuan dan kesatuan sebagai makna kebangkitan nasional semakin terpupuk dengan baik. Rasa kemanusiaan dan solidaritas muncul dengan sendirinya apabila kita berbicara tentang makna persatuan.

Tahun ini, setelah lebih dari satu dekade, kita sedang dihadapkan pada perang yang berbeda dengan yang sebelumnya. Bukan perang dengan penjajah. Namun perang dengan virus yang tidak terlihat secara kasat mata. Belum terlihat tanda-tanda siapa yang akan jadi pemenang dalam peperangan ini.

Perang melawan virus corona yang telah terjadi sejak awal tahun 2020 akhirnya membuka pola hidup baru bagi kita semua. Pola hidup yang sudah ada, namun sering kita abaikan. Pola untuk hidup bersih.

Bagi bangsa Indonesia, bulan Mei 2020 di tengah perang melawan virus corona dihadapkan pula pada realitas untuk mengatasi banyaknya perubahan tradisi selama bulan Ramadhan dan Idul Fitri.

Jika sampai dengan tahun kemarin, bulan Ramadan dirayakan dengan meriah, tahun ini lebih dirayakan dengan cara yang sederhana. Kebijakan beraktivitas di dalam rumah, membuat semua orang  beribadah dari rumah masing-masing. Melaksanakan ibadah dengan keluarga.

Rasa persatuan yang bersifat nasional lahir dari rasa persatuan dari lingkungan terkecil yaitu keluarga. Ini bagaikan perumpamaan bahwa uang satu juta terbentuk dari koin satu rupiah. Maka jika kita dapat memupuk rasa persatuan dalam lingkup terkecil yaitu keluarga, bukan tidak mungkin bahwa persatuan bangsa dalam lingkup yang lebih besar akan tercapai.

Sikap tolong-menolong dan bekerja sama di tengah pandemi adalah salah satu nilai dari kebangkitan nasional yang harus tetap dilestarikan. Saling berbagi dengan sesama akan membuat bangsa Indonesia dapat tetap bertahan. Apalagi bagi umat muslim, berbagi di bulan Ramadan adalah salah satu amalan yang mulia.

Menilik kembali bahwa perang melawan corona ini bukanlah perang secara fisik, maka kita harus bisa mengalahkannya dengan pemikiran. Pemikiran yang logis dan harus kita terapkan adalah menjaga kontak fisik sampai dengan pandemi selesai. Namun jika pandemi belum usai maka kita harus bisa beradaptasi dengan kehidupan baru kita setelah ini.

Tradisi pulang kampung untuk merayakan lebaran harus dapat kita tahan pada saat pandemi ini. Kita harus memikirkan pula kondisi kesehatan orang tua ataupun saudara yang ada di kampung halaman. Kemajuan teknologi masih memungkinkan kita untuk melakukan mudik digital yang tidak menghilangkan makna mudik untuk saling bersilaturahmi.

Tidak bersikap egois adalah kunci untuk menang dalam peperangan. Tidak ada cerita dimana peperangan dapat dimenangkan oleh satu orang. Perang hanya akan dimenangkan apabila semua orang bersatu.

Terlihat bahwa beberapa nilai kebangkitan nasional dapat diterapkan selama bulan Ramadan di masa pandemi. Bahkan nilai ini menjadi sesuatu yang signifikan demi memerangi wabah corona. Mari kita disiplin untuk menerapkan nilai-nilai kebangkitan nasional tanpa menghilangkan makna kemuliaan di bulan Ramadan dan juga kesucian di lebaran Idul Fitri yang tinggal sebentar lagi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ramadan Selengkapnya
Lihat Ramadan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun