Mohon tunggu...
Raden Arditya Mutwara
Raden Arditya Mutwara Mohon Tunggu... Wiraswasta - Mahasiswa Program Pascasarjana

Seorang wiraswasta yang sedang mengambil program Magister Ilmu Komunikasi

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Tahun Politik, Isu Keagamaan, dan Era Digital

21 April 2019   15:01 Diperbarui: 21 April 2019   15:25 135
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Tahun 2019 menjadi tahun yang cukup spesial mengingat statusnya sebagai tahun politik. Tidak seperti tahun-tahun sebelumnya kali ini pemilu menjadi ajang untuk pamer dukungan. Memang benar pamer dukungan merupakan hal biasa dalam pemilu, tapi kali ini dukungan lebih ditekankan pada aspek agama.

Hal ini terjadi bukan tanpa alasan. Pasalnya salah satu pasangan calon (paslon) memang mengangkat isu agama karena mendapat dukungan dari ulama lebih dulu daripada paslon lain. Terjadi komodifikasi agama di sini, hanya saja memang tidak ada syarat dalam kampanye yang mengatakan tidak boleh mengangkat isu agama. Banyak pihak yang menyayangkan hal ini, tetapi tidak sedikit pula yang justru mendukung mati-matian.

Apabila ditarik mundur, Anda akan ingat tipe kampanye yang mengangkat isu serupa. Kampanye itu adalah kampanye pemilihan Gubernur DKI. Serupa tapi tak sama. Serupa karena mengangkat isu agama, tak sama karena kali ini skalanya lebih besar.

Isu agama mungkin sah-sah saja diangkat, tetapi apakah itu cocok ketika selama ini bangsa Indonesia selalu menggembar-gemborkan keberagaman suku, agama, dan budayanya? Seharusnya pertanyaan ini muncul di benak tiap-tiap orang yang merasa dirinya sebagai orang Indonesia. Isu agama menjadi sesuatu yang sensitif sejak dulu, karena seharusnya agama menjadi urusan yang sangat privat bagi tiap-tiap individu.

Memang isu-isu apapun dapat mudah dimainkan dalam politik. Tetapi yang perlu menjadi fokus adalah bagaimana masyarakat saat ini berani memerangi kampanye hitam bila dikaitkan dengan pemilu. Dihubungkan dengan era digital saat ini, tentu saja hal-hal berbau kampanye hitam lebih mudah disebarkan.

Apalagi semua orang asal punya sumber dayanya, seperti gawai dan pulsa internet, langsung bisa terkoneksi di manapun dia berada. Hal tersebut menimbulkan permasalahan baru, yakni banyaknya akun-akun anonim atau tanpa nama yang bebas menulis apa saja. Akhirnya tulisan-tulisan tak bertanggungjawab ini menjadi "sampah" digital.

Sudah sepatutnya masyarakat di era digital mulai menjadi masyarakat yang aktif dalam memproses informasi yang didapat dari gawai maupun perangkat lain dengan koneksi internet. Tidak dapat dipungkiri bahwa saat ini user atau pengguna smartphone harus mampu menjadi filter untuk dirinya.

Salah satu caranya adalah dengan literasi digital. Semakin banyak informasi, maka sebaiknya masyarakat semakin pandai memilih dan memilah. Layaknya istilah yang sudah sering terdengar di telinga yakni, "saring sebelum sharing." Sebagai langkah antisipasi dan minimalisasi tersebarnya informasi ngawur atau bohong yang lebih dikenal dengan istilah hoax memang diperlukan adanya literasi digital, apalagi hal tersebut sangat mungkin dilakukan secara mandiri.

Bagi generasi millenial mungkin penetrasi terkait dunia digital sudah tinggi, tetapi secara persentasenya tingkat penetrasi untuk mereka yang masuk dalam kategori generasi Z justru yang paling tinggi. Dapat dikatakan bahwa mereka yang lahir pada rentang waktu 1995-2010 dapat dikatakan tidak mengenal zaman sebelum era digitalisasi.

Karakteristik "serba instan" juga terlanjur melekat pada mereka. Hal ini bukan tanpa alasan, karena pada kenyataannya mereka memang lahir di mana semua hal menjadi lebih praktis dan bisa dilakukan dengan lebih mudah. Oleh sebab itu, literasi digital sangat perlu untuk diterapkan pada anak-anak yang berada dalam generasi ini.

Kembali pada poin pembahasan tentang situasi politik saat ini, terkait dengan pemilu, sangat penting apabila audiens atau khalayak media perlu untuk senantiasa menjadi kritis terhadapi informasi yang mereka terima. Jangan asal sebar atau bagikan apabila belum didapat sumber terpercaya terkait informasi tersebut. Pikiran yang jernih dan terbuka sangat diperlukan supaya tidak mudah diombang-ambingkan informasi yang cenderung mengonfrontasi. Peluang terjadi konflik sangat besar, untuk itulah sifat waspada dan kritis harus menjadi ujung tombak perjuangan di era digital saat ini.

Mengawal kampanye damai bukan hal yang remeh apalagi mudah, tetapi hal tersebut mungkin untuk dilakukan. Kembali lagi pada niat awal ketika setiap orang berupaya secara jujur mengusung paslon masing-masing. Dari tiap individu inilah akan lahir kelompok besar yang saling menjaga satu sama lain untuk tetap menjunjung integritas sebagai warga negara Indonesia.

Akhirnya pesan yang paling mujarab untuk disampaikan adalah junjung tinggi kejujuran dan nasionalisme yang ada dalam diri. Sehingga harapan ke depan menjadi satu visi, yakni membawa negara ini menjadi negara mandiri dengan ketahanan pangan dan ketahanan militer yang mumpuni melebihi apa yang dimiliki saat ini. Salam damai satu negeri.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun