Mohon tunggu...
Rara Zarary
Rara Zarary Mohon Tunggu... Penulis - Menulis adalah caraku menemukan kebebasan, menemukan diri sendiri, dan bertahan hidup (sabdawaktu)

Penulis Buku: Menghitung Gerimis (2013), Hujan Terakhir (2014), Hujan dan Senja Tanah Rantau (2016), Kita yang Pernah (2020).

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Seni Mengubah Hidup Lebih Baik dan Mengasyikkan

31 Agustus 2021   10:15 Diperbarui: 31 Agustus 2021   10:21 361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Oleh: Rara Zarary*

Dalam kehidupan ini, tak jarang kita akan atau bahkan telah menemui banyak masalah, rintangan, mungkin juga sebuah titik di mana kita ingin menyerah saja. Sebuah proses kehidupan panjang yang kita selesaikan dengan pola pikir jangka pendek, entah karena bingung, lelah, dan putus asa.

Pertanyaannya adalah apakah kita sudah tahu mengapa hal ini seringkali terjadi? Salah satu hal yang paling dekat jawabannya adalah berasal dari pikiran kita, pikiran yang akhirnya akan memengaruhi cara bertindak dan mengambil sebuah keputusan.

Misal dalam sebuah kasus, si Mawar sedang berjuang untuk meraih juara dalam perlombaan, dia merasa telah melakukan berbagai upaya dan yakin pasti menang. Sayang sekali, suatu hari namanya tak ada dalam list pemenang, kala itu ia kecewa, marah, putus asa, bahkan ingin diam saja.

Sebenarnya wajar-wajar saja merasa kecewa, tapi sangat tidak fair bila ia memutuskan untuk menyerah dan tak berjuang lagi. Padahal akan ada banyak event lomba lagi dan dia bisa mencoba lagi. Sehingga ia hanya perlu introspeksi apa saja yang membuatnya gagal meraih juara. Bisa jadi kualitas konten lomba, atau cara prosesnya.

Dimana letak kesalahan seseorang yang putus asa? Lagi-lagi soal pola pikir atau mindsetnya. Ia menjudge dirinya tak bisa dan tak akan bisa lagi, akhirnya bertindak untuk putus asa dan menyerah. Padahal masih bisa dicoba lagi.

Tahukah kita? Penulis-penulis yang saat ini memiliki buku best seller adalah mereka yang telah mengikuti banyak sekali seleksi naskah bahkan pernah dibuang, disobek, dan tak dimuat bertahun-tahun oleh media?

Hal tersebut pernah diakui penulis kondang Tereliye dalam sebuah webinar nasional saat ia launching buku terbarunya. Bahwa untuk menduduki posisinya saat ini ia telah melalui banyak hal termasuk ditolak di sana-sini.

Lalu, seberapa jauh kita telah berjuang? Kalau hanya sekali ditolak sudah merasa gugur dan nyerah, itu rasanya belum seberapa. Mari berjuang lebih keras dan sekuat-kuatnya. Sampai kita benar-benar tidak mampu. Bukankah Allah tak akan menguji hambaNya dibatas kemampuan?

Ada lagi, kasus yang secara sadar atau tidak kita lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Yaitu membanding-bandingkan hidup atau nasib kita dengan orang lain. Barangkali bisa saya contohkan dengan redaksi ini, "enak ya si Bunga, beruntung terus hidupnya. Padahal kayaknya aku lebih keras berjuang. Dia udah jadi a,b,c. Dia udah dapat a,b,c. Dan hal-hal lain yang sejenisnya."

Apakah kamu pernah melakukan bahkan merasakan hal ini? semoga tidak. Kalau pun iya, semoga tidak berulang-ulang. Sebab kita perlu menyadari, bahwa kita punya jalan hidup masing-masing.

Belajar dari hidup orang untuk mengambil hikmah dan memetik energi positif atau motivasi boleh-boleh saja bahkan bagus. Tapi jika melihat pencapaian orang hanya untuk mengerdilkan diri sendiri? Oh jangan. Itu akan mematikan semangat dan tentu akan sangat berpengaruh pada pola pikir dan psikis kita.

Jadi mulailah menghargai diri sendiri dan terus semangat berjuang. Berhenti mengukur pencapaian kita dengan orang lain. Berhenti menjadikan orang lain sebagai satu-satunya standart hidup kita. Mari hargai dan sayangi diri sendiri serta jadilah versi terbaik ala diri sendiri.

Dilansir dari kanal youtube suksesdaily, saya menemukan konten bagus dan positif yang sangat relevan dengan kasus di atas. Bagaimana kita mampu menghargai kehidupan kita dan bagaimana kita mengatur ulang cara berpikir kita untuk memulai hidup yang lebih baik dan berubah menjadi lebih mengasikkan, hingga kita pandai mensyukurinya.

Vishen Lakhiani (2021) dalam sebuah video "otakmu akan berubah dalam 21 hari" mengajak penonton untuk melakukan "hacking" pada pikiran dan tubuh. Untuk melakukan hal demikian, ia mengungkap 6 fase/level ini.

Pertama, kasih sayang dan kebaikan. Tentu dalam hidup, kita butuh yang namanya kasih sayang dan sesuatu yang penuh dengan kebaikan. Kasih sayang akan mengamunisi kita untuk lebih percaya diri, lebih semangat dan tentu yakin atas apa yang dilalui. Begitu pun dengan kebaikan, kebaikan akan selalu melahirkan hal-hal baik yang lain. Ini akan membuat hidup kita berarti dan bermanfaat.

Kedua, memiliki kemampuan untuk bersyukur. Inilah yang seringkali kita lupakan. Andai kita bisa mensyukuri apapun yang kita capai, insyaAllah itu akan membuat keadaan batin kita lebih baik, dan saat kondisi batin baik, tentu akan memengaruhi lahir dan cara berpikir kita. Oleh sebab itu, bersyukur adalah PR besar kita dalam menanggapi proses dan hasil dalam kehidupan ini. Bukan kah dengan bersyukur Allah akan menambah nikmat kita?

Ketiga, yaitu pemaafan. Salah satunya adalah memaafkan diri sendiri dan orang lain. Ada banyak orang yang gagal menghadapi masa depan karena terjerembab di masa lalu, bisa karena ia marah pada diri sendiri, merasa gagal dan membenci diri sendiri atau bahkan bisa jadi dia marah dan membenci orang lain dan tidak memaafkannya.

Ini adalah masalah yang harus diselesaikan segera. Memaafkan diri dan orang lain adalah jalan satu-satunya untuk menciptakan kedamaian dalam diri kita. Tentu setelah itu kita bisa fokus untuk kehidupan selanjutnya.

Keempat, memiliki visi untuk kehidupan 3 tahun ke depan. Harapan adalah salah satu hal yang bisa bikin kita tetap hidup dan semangat melalui hari-hari. Tanpa harapan, rasanya dunia hampa dan hidup seperti begitu-begitu saja, oleh karena itu sangat penting untuk menyusun plan dan visi misi ke depan. Tentu hal ini untuk membuat hidup kita lebih tertata dan disiplin serta berkomitmen untuk berjuang.

Kelima, adalah tentang bagaimana visi tersebut diwujudkan. Dan keenam, adalah bagaimana kita harus merasa didukung, artinya jangan merasa berjuang sendirian. Percayalah, kita akan selalu menemukan orang yang mendukung diri kita, orang terdekat seperti keluarga, teman, sahabat, pasangan, atau bahkan kepercayaan diri kita sendiri.

Oleh karena itu dukungan yang datang, baik dari internal atau eksternal sangat dibutuhkan dalam kehidupan ini. Temuilah diri kita dan orang-orang yang memiliki energi positif untuk kehidupan kita.

Mari menjadi diri yang baik, memberi yang terbaik dan tentu jangan bosan menebar kebaikan dan kebermanfaatan. Jangan lupa, untuk mensyukuri segala apa yang telah Tuhan berikan dalam kehidupan ini. Salam bahagia!

*Pegiat komunitas Pesantren Perempuan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun