Stunting dan wasting menjadi masalah kesehatan anak yang mendapatkan perhatian khusus pemerintah Indonesia hingga saat ini. Berdasarkan Survei Status Gizi Indonesia (SSGI) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia (Kemenkes RI), prevalensi balita yang mengalami stunting di Indonesia tahun 2022 adalah sebesar 21,6 % (https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/02/daftar-prevalensi-balita-stunting-di-indonesia-pada-2022-provinsi-mana-teratas, 2023).Â
Mengenal tentang stunting itu sendiri, di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 tentang Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran mengenai Tata Laksana Stunting disebutkan bahwa stunting adalah perawakan pendek atau sangat pendek berdasarkan panjang/tinggi badan menurut usia kurang dari -2 Standar Deviasi (SD) pada kurva pertumbuhan WHO yang disebabkan oleh kekurangan gizi kronik.Â
Stunting ini menjadi permasalahan kesehatan anak yang serius karena jika tidak segera ditangani, akan beresiko fatal pada perkembangan fisik dan kognitif anak di masa depan.
Wasting juga merupakan salah satu bentuk kekurangan gizi yang tercermin pada berat badan anak terlalu kurus menurut tinggi badannya, ditandai dengan z-score BB/TB kurang dari -2 SD untuk wasting dan z-score BB/TB kurang dari -3 untuk severe wasting (Menteri Kesehatan Republik Indonesia dalam Soedarsono dan Sumarmi, 2021), sehingga dapat berakibat pada keterlambatan tumbuh kembang jangka panjang, penurunan imunitas tubuh, serta kerentanan terhadap penyakit menular (Soedarsono & Sumarmi, 2021).
Ada keterkaitan antara masalah stunting/wasting dengan resiko masalah perkembangan psikologisnya. Anak-anak yang mengalami stunting di usia 2 tahun pertama kehidupan disinyalir mempunyai fungsi psikologis yang lebih buruk saat remaja seperti menunjukkan simtom-simtom kecemasan dan depresi, kepercayaan diri rendah, dan kecenderungan perilaku hiperaktif (Susan W., dkk., 2007).Â
Aryastami dalam Yadika, dkk. (2019) juga menyatakan bahwa stunting memiliki dampak terhadap menurunnya intelektualitas dan kemampuan kognitif anak. Literatur terbaru menyebutkan bahwa remaja dengan riwayat masalah stunting cenderung tidak percaya diri dengan citra tubuhnya, sehingga ia beresiko mendapatkan perundungan dari teman sebaya dan menarik diri dari lingkungan sosial (Delima, dkk., 2023).
Masalah gizi balita itu sendiri dapat bersumber dari persoalan kelekatan ibu dan anak saat pemberian ASI eksklusif, masalah infeksi, pemberian MPASI tidak adekuat, serta problem rumah tangga dan keluarga.Â
Sebagai seorang psikolog klinis di Fasilitas Pelayanan Kesehatan (Fasyankes) yang memiliki peran dalam melakukan skrining masalah perkembangan balita dengan kondisi stunting maupun berat badan anak di bawah rata-rata standar usianya, saya menemukan adanya kontribusi antara faktor psikososial dan perilaku pemberian makan anak dari orang tua terhadap status gizi anak itu sendiri.Â
Beberapa kasus yang terjadi adalah ketidakmampuan orang tua untuk mengelola stres selama pemberian ASI, MPASI, atau makanan keluarga. Secara tidak langsung, daya juang orang tua untuk menghadapi tantangan pengasuhan selama pemberian makan anak juga menjadi tidak optimal.Â
Di dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 tentang Pedoman Nasional pelayanan Kedokteran mengenai Tata Laksana Stunting disebutkan bahwa faktor resiko dari keluarga yang berkontribusi terhadap masalah tumbuh kembang anak tersebut adalah kehamilan saat remaja, masalah kesehatan mental orang tua, stimulasi dan aktivitas anak tidak adekuat, pola pengasuhan yang buruk, serta pemberian makan yang tidak responsif dan kurang adekuat.Â
Hasil penelitian Leuba, dkk. (2022) menunjukkan bahwa pola asuh orang tua yang negatif berhubungan dengan perilaku makan anak-anak usia prasekolah, yang mana tipe pengasuhan tidak konsisten mempunyai dampak terbesar terhadap sikap menghindari makanan tertentu secara terus-menerus.
Berdasarkan hasil wawancara, di antara orang tua dengan anak yang memiliki masalah status gizi, ada yang mengatakan tidak mampu konsisten untuk menyajikan menu isi piring yang sehat karena anak menunjukkan tantrum saat dilarang untuk mengonsumsi makanan atau minuman tinggi gula.
Selain itu, minimnya dukungan keluarga membuat orang tua (khusunya ibu) kurang memiliki ketahanan untuk menyajikan makanan sehat kepada anak. Hal ini berlaku bagi ibu bekerja ataupun ibu rumah tangga. Ketidakmampuan orang tua untuk merespons sikap negatif anak ketika disajikan menu isi piring yang sehat, membuat anak cenderung terbiasa menyukai makanan atau minuman yang mengandung unsur pengawet.
Melihat fenomena di atas, sebagai orang tua kita bisa melakukan refleksi bersama bahwa kesejahteraan psikologis orang tua (terutama figur ibu) perlu diperhatikan.Â
Upaya preventif untuk orang tua harus segera ditegakkan agar masalah gizi yang dihadapi anak tidak berlanjut ke persoalan kesehatan anak yang lebih serius. Kita menyadari bahwa ibu menjadi roda utama yang menggerakkan kebutuhan pangan yang sehat bagi anak. Upaya yang dapat orang tua lakukan untuk mengelola stres secara lebih efektif saat memberi makan balita antara lain:
1) Kemampuan untuk Sadar dan Mengenal Emosi Diri Sendiri
Seseorang yang mampu mengidentifikasi suasana perasaan (mood) biasanya memiliki regulasi emosi yang lebih baik (Morie, dkk., 2022). Penekanan yang disampaikan ahli ini menguatkan bahwa orang tua juga perlu memiliki keterampilan untuk mengenal perasaan yang dialaminya setiap hari dan memenuhi kebutuhan emosinya tersebut.Â
Contoh: jika ibu merasa lelah karena beban pekerjaan rumah dan pengasuhan, maka ibu bisa bertanya di dalam hati, "Apa yang sebenarnya saya butuhkan saat ini?" Penuhi apa yang menjadi kata hati ibu untuk memperoleh bantuan orang terdekat, butuh kehadiran lebih dari pasangan, perlu istirahat sejenak, atau lainnya. Tangki perasaan ibu yang terisi lebih banyak tentu akan membuat ibu merasa lebih mudah memenuhi kebutuhan psikologis anak dalam memperoleh interaksi dan suasana nyaman saat jadwal makan tiba.
2) Membingkai Ulang Pola Pikir tentang Diri Sendiri dan AnakÂ
Beberapa kasus yang terjadi adalah orang tua berpikir hitam putih tentang pola pemberian makan anak. Misalnya, "Anak saya pasti akan tantrum jika tidak diberikan jajanan sebelum makan. Jadi saya lebih baik menurutinya daripada dia tidak berhenti menangis." Kita bisa mengganti alternatif pemikiran di atas dengan pola pikir yang lebih bijak bahwa pada situasi tertentu, orang tua lah yang semestinya mengendalikan situasi anak, bukan dikendalikan anak.Â
Lalu, bagaimana gambaran kongkritnya? Kita perlu memberi afirmasi terhadap diri sendiri bahwa saat anak benar-benar merasa lapar, dia akan mengonsumsi makanan yang ada di depannya dan kita pertegas diri sendiri untuk tidak menyediakan makanan yang mengandung tinggi gula.Â
Dalam kondisi tersebut, kita hanya menyiapkan menu isi piring yang sehat. Melalui penciptaan suasana interaksi dan bermain yang menyenangkan, kemungkinan anak akhirnya mengonsumsi makanan yang diberikan orang tua akan lebih berhasil. Selain afirmasi untuk diri sendiri, orang tua juga dapat melakukan afirmasi positif pada anak tentang masalah makan yang dihadapinya melalui beragam media seperti salah satunya adalah flashcard sayuran.
3) Modifikasi Pola Perilaku Makan Keluarga
Pola makan yang dimiliki anak ternyata tidak hanya dilihat dari faktor diri anak. Balita memiliki kemampuan untuk meniru perilaku anggota keluarganya (ibu, ayah, kakak) dalam hal konsumsi makanan.Â
Hasil penelitian Muharyani (2017) disebutkan bahwa ada keterkaitan antara kontrol makanan, model peran, dan keterlibatan anak dengan kesulitan makan pada anak. Model peran di sini dapat dimaknai dengan gaya hidup makan keluarga.Â
Dengan demikian, keluarga dapat mengevaluasi tentang isi piring keluarga karena hal ini lah yang dapat ditiru oleh balita. Pola makan sehat yang berhasil diterapkan keluarga dengan baik tentunya juga menjadi nilai tambah bagi peningkatan kesehatan fisik dan mental keluarga.
4) Orang Tua Memperkuat Dukungan Sosial
Dukungan sosial menjadi variabel penting terhadap kesehatan mental orang tua. Dalam penelitian Hastuti, dkk (2021) disebutkan bahwa seorang ibu dapat menjalankan perannya secara maksimal jika mendapat dukungan sosial. Pasangan menjadi sumber dukungan utama bagi seorang istri untuk memecahkan situasi-situasi sulit yang dihadapi selama mengasuh anak.Â
Jika kerjasama pengasuhan ini bisa berjalan lebih seimbang, maka kita bisa optimis bahwa anak akan dapat lebih mudah diatur dalam hal konsumsi makanan karena di sana terdapat dua figur kuat yang dapat saling menopang dalam memodifikasi perilaku makan anak.Â
Seorang ibu perlu untuk aktif mengomunikasikan kebutuhannya agar mendapat dukungan sosial. Memilih untuk memendam sendiri kebutuhan tersebut hanya akan membuat ibu rentan kembali mengalami masalah suasana hati sehari-hari hingga akhirnya mempengaruhi cara asuhnya terhadap anak.
Daftar Pustaka:
Urbanowicz, A.M., Jaynie R., Rebecca S., & Paul B. (2023). Cognitive Behavioral Stress Management for Parents: Prevention and Reduction for Parental Burnout. International Journal of Clinical and Health Psychology, 23, 1-9.
Morie, K.P., Michael J.C., Linda, C.M., & Marc N.P. (2022). The Process of Emotion Identification: Considerations for Psychiatric Disorders. J Psychiatr Res, 148, 264-274.
Muharyani, P.W. (2015). Hubungan Kontrol Makanan, Model Peran, dan Keterlibatan Anak dengan Sulit Makan pada Anak. Jurnal Keperawatan Sriwijaya, 2, 10-21.
Rahayu, E.P., Nanik H., Lini D., & Trisna A.N.L. (2021). Edukasi Feeding Rules dan Distribusi Flashcard Affirmation sebagai Upaya untuk Mengatasi Masalah Makan pada Balita. Jurnal Masyarakat Mandiri, 6, 3193-3202.
Annur, C.M. (2023). Daftar Prevalensi Stunting di Indonesia pada 2022, Provinsi Mana Teratas? Diunduh pada tanggal 25 Februari 2024 dari https://databoks.katadata.co.id/datapublish/2023/02/02/daftar-prevalensi-balita-stunting-di-indonesia-pada-2022-provinsi-mana-teratas, 2023
Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor HK.01.07/Menkes/1928/2022 tentang Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Stunting.
Yadika, A.D.N., Khairun, N.B., & Syahrul, H.N. (2019). Pengaruh Stunting terhadap Perkembangan Kognitif dan Prestasi Belajar, Majority, 273-282.
Soedarsono, A.M. & Sumarmi, S. (2021). Faktor yang Mempengaruhi Kejadian Wasting pada Balita di Wilayah Kerja Puskesmas Simomulyo Surabaya. Media Gizi Kesmas, 02, 237-245.
Delima, Neviyarni, Majorhan, Ifdil, & Afdal. (2023). Psychological Impact on Stunting Adolescents: Literature Review Study. Real in Nursing Journal (RNJ), 6 (1), 1-10.
Susan W., Susan, C., Christine P., Emily S., & Sally, G. (2007). Early Childhood Stunting is Associated with Poor Psychological Functioning in Late Adolescence and Effects Are Reduced by Psychosocial Stimulation. The Journal of Nutrition, 137 (11), 2464-2469.
Leuba., dkk. (2022). The Relationship of Parenting Style and Eating Behavior in Preschool Children. BMC Psychology, 10 (1), 1-10.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H