Menanggap fungsi sastra yakni didactic heresy, menghibur sekaligus mendidik , direspon oleh feminisme dengan berkolaborasi bersama sastra menjadi sebuah kritik sastra feminis, sebagai upaya dalam menyikapi fenomena realitas yang terjadi pada kehidupan perempuan dan kedudukan perempuan di masyarakat melalui teks. Kritik sastra feminis hadir bukan untuk menciptakan perpecahan antara laki-laki dan perempuan, sejalan dengan Yoder (Suharto, 2005:5), secara sederhana kritik sastra yang berfokus pada feminis memiliki maksud untuk dapat melihat sastra dengan rasa kesadaran secara khusus bahwa terdapat hubungan antara jenis kelamin dengan budaya sekitar,  teks sastra, dan hal-hal yang terjadi di kehidupan sosial. Selain itu kritik sastra feminis menjadi kekuatan untuk secara kuat meneguhkan pendirian bahwa perempuan  memiliki hak membaca sebagai seorang perempuan tanpa dicampuri apa pun, dapat mengarang sesuai dengan dirinya berhak menafsirkan sastra sebagai seorang perempuan (Suharto, 2005:6).
Marsinah, perempuan malang yang terbunuh di era orde baru. Ratna Sarumpaet, perempuan yang me-reka kembali kisah Marsinah melalui teks drama dengan gigih. Walaupun gertakan-gertakan feminisme tak diberi porsi banyak dan Marsinah diberi tugas oleh Ratna untuk menyuarakan ketidakadilan secara umum, tetapi takaran yang sedikit itu cukup, cukup untuk menyayat dan menghabisi masyarakat yang membenarkan dan membiarkan fenomena kesekian kaliannya perempuan mati dengan mengenaskan atas kebenaran yang tengah diperjuangkan.Â
Masyarakat seakan mewajarkan dan menekankan bahwa memang konsekuensi itu yang akan diterima dan mungkin harus diterima perempuan ketika melewati batas yang telah dikonstruksikan oleh struktur sosial. Suharto (2005:206) dalam masyarakat tercipta prasangka gender, hadirnya anggapan bahwa setiap jenis kelamin memiliki suatu yang harus dibedakan, secara umum dikenal dengan istilah gender yang ditempatkan di tempat yang tak seharusnya. Penciptaan gender yang dilakukan masyarakat akhirnya berubah menjadi semacam kodrat yang harus dipatuhi dan akan mendapat dosa besar apabila melangkahinya. Prasangka gender yang umum ditemui adalah bahwa perempuan identik dengan melahirkan, menyusui, memasak, dan mengurus wilayah domestik, sehingga pembagian atribut serta pekerjaan pada perempuan hanya di wilayah internal sedang laki-laki identik dengan pencari nafkah, maka ia berhak untuk berada pada wilayah publik. Young (Crishtian, 2015: 13), menguatkan bahwa dalam sistem gender terjadi pemisahan pekerjaan berupah dengan pekerjaan rumah tanggal, penetapan itu memaksa perempuan untuk berada di pekerjaan domestik. Dan Marsinah durhaka dengan kodrat yang dibangun kokoh oleh masyarakat negaranya. Ia mendapatkan perlakuan-perlakuan tak lazim sebagai penebus keberaniannya melewati batas yang ditentukan.
Ratna Sarumpaet memanfaatkan teks sastra untuk menggambarkan bagaimana perempuan sangat tersiksa melalui monolog Marsinah yang dirangkum dalam sembilan belas halaman, ketidakberdayaan perempuan hanya untuk sekadar mengungkap kebenaran. Â Marsinah dibunuh sebab ia bersuara dengan lantang. Namun yang menyayat mengapa prosesi pemuasan nafsu bejat masih dituruti di tengah-tengah penyiksaan. Apakah perempuan objek nafsu yang sama sekali haram ditolak di seluruh waktu? Jika Marsinah dibunuh karena mengganggu, maka tidak perlu terjadi peristiwa pemerkosaan sebelum mati.
 Pada teks drama Marsinah juga menyebutkan nasib Kuneng  yang tak lain merupakan diri sendiri yang menjadi korban superior laki-laki. Walaupun dalam kelas ekonomi antara laki-laki dan perempuan sama, tetapi lelaki tetap dominan, adanya rasa kesombongan sebab konstruksi budaya yang dibangun, di mana ia berada dalam tingkatan pertama dan perempuan berada pada tingkatan kedua.
 Gerakan feminisme memang telah lahir sejak abad 18 (binus, 2019). Akan tetapi tidak dapat secara langsung merangkul seluruh masyarakat untuk bekerja sama dalam mewujudkan tujuan. Tentu ada pertentangan, tentu ada gertakan dan tentu ada pembangkangan. Sorakan feminisme telah hadir di Indonesia sejak 1879 tepat seabad setelah feminisme digaungkan. Dipimpin R.A. Kartini, akan tetapi hingga sampai pada masa Marsinah menjalani hidup, kekuasaan secara penuh masih dimiliki laki-laki. Ketika Marsinah menekankan dalam monolognya terkait antara kedudukan dirinya dengan satpam laki-laki berada di kelas ekonomi yang sama, tetapi laki-laki dengan berani dan keji turut serta menguasai hidup Marsinah dengan mengandalkan kekuatan yang telah disediakan masyarakat.
Stereotip negatif yang berkembang di masyarakat terkait penandaan terhadap jenis kelamin secara mutlak khususnya bagi perempuan yang dianggap lemah, subordinatif, dan tertinggal. Mengakibatkan terjadinya kekerasan layaknya Marsinah, kekerasan yang disebabkan oleh prasangka gender disebut sebagai gender related violance yang berarti kekerasan disebabkan oleh suatu kekuasaan yang ada (Fakih dalam Pertiwi, 2016: 167). Marsinah dianggap menakutkan masyarakat, keberaniannya dalam menentang, mengkritik, dan membela hak-hak diri dan teman-temannya tak didukung bahkan oleh lembaga yang bertugas melindungi keadilan dan dalam waktu yang sama Marsinah dianggap sebagai pahlawan, tapi tak benar-benar dibela. Banyak yang menginginkan perubahan, tetapi tak ada yang berani bergerak, terutama perempuan.
Kesangsian Ratna terhadap perempuan yang menginginkan perubahan dititipkan pada Marsinah, dikatakan bagaimana ia telah mengorbankan diri  untuk keadilan perempuan lain, tetapi rasa takut dari para perempuan telah dipupuk, sehingga yang didapatkan hanya kecemasan, takut nasibnya akan sama dengan Marsinah, takut ketika mulai bersuara, tetapi keesokan harinya ia akan mengenaskan seperti Marsinah, dan pada akhirnya yang mereka dapatkan hannyalah kepasrahan dan justru mungkin menganggap kematian Marsinah sebagai alarm untuk tetap diam. Hal tersebut sebenarnya juga menjadi salah satu faktor di mana masyarakat semakin kuat mempertahankan prasangka gender, secara tak langsung perempuan memvalidasi konstruksi budaya yang dibangun bahu membahu itu.Â
Apabila di pandang melalui sisi lain, Marsinah adalah salah satu pemantik untuk perempuan secara lebih berani , padahal yang dimaksudkan Marsinah adalah jika perempuan diam, maka ia akan mati dalam kebisuannya itu, ia akan menjadi arwah penasaran yang mencari keadilan untuk disejajarkannya hak-hak dengan laki-laki. Marsinah mudah dibunuh karena ia sendiri tak ada kekuatan di belakangnya untuk terus bertahan yang dapat dipahami bahwa Marsinah telah sedikit banyak menimbulkan keresahan pada para penguasa, ketakutan jika pemberontakan dilakukan perempuan-perempuan lain menjadi pemicu Marsinah harus dieliminasi dari bumi. Perempuan harusnya menyadarinya, ia setidaknya telah mendapatkan clue bagaimana bertindak, tidak harus berdemo atau berteriak seperti kegigihan Marsinah, setidaknya hilangkan rasa takut terhadap iblis yang dikirim masyarakat, dengan begitu perempuan telah merdeka atas perasaannya. Kemudian perlahan keberanian itu harus dijaga akan berkembang dan menemukan kemenangan atas diri sendiri.
Keluar dari tempurung subordinatif secara perlahan seperti tujuan utama Ratna menciptakan monolog Marsinah untuk perempuan. Masih banyak Marsinah-Marsinah lain yang harus didukung sebagai usaha untuk mengeluarkan perempuan-perempuan dari oksigen yang sesak yang dihirup selama ini. Melalui ucapan Marsinah di bagian akhir teks drama sebagai berikut: