Selama ini, banyak masyarakat cenderung ramai menyoroti pasal bagaimana Indonesia yang terus-terusan menerima bantuan dari negara lain untuk mencapai pemerataan pembangunan. Padahal, Indonesia sendiri juga sangat berkomitmen dan termasuk ke dalam daftar negara yang menjadi donatur dalam program pembangunan global. Salah satunya melalui program South-South Cooperation and Triangular, Indonesia telah banyak berperan aktif memberikan bantuan baik dari segi pendanaan maupun bentuk bantuan non-finansial lain kepada negara-negara di wilayah selatan yang notabene masih berkembang dan bahkan dikategorikan negara miskin.
Lalu sebenarnya South-South Cooperation and Triangular ini program seperti apa dan bagaimana implementasinya? Tidak seperti ASEAN yang ketika orang mendengar akan langsung mengerti, program SSCT masih banyak tidak diketahui oleh khalayak. Padahal komitmen kerja sama ini sudah digagas sejak pertemuan Konferensi Asia-Afrika tahun 1955 di Bandung, meski Indonesia sendiri baru mulai beralih menjadi negara pemberi bantuan pada 1980-an dengan program yang dinamai Kerja sama Teknik Negara Berkembang (KTNB) masa itu.Â
Secara mudah, SSCT merupakan kerja sama untuk menemukan solusi bagi tantangan pembangunan bersama yang tumbuh atas dasar kesadaran dan solidaritas negara-negara selatan yang ketika itu baru saja lepas dari kolonialisme, serta dipicu pula oleh Berakhirnya Perang Dunia II dan ketegangan Perang Dingin yang mendorong gerakan Non-Blok dilakukan negara-negara berkembang termasuk Indonesia sebagai salah satu pelopor.
 Seluruh skema SSCT bertujuan untuk mempromosikan kerja sama teknis dan ekonomi yang lebih erat di antara negara-negara berkembang, pertukaran tenaga ahli dan ilmu pengetahuan, serta membuka kesempatan bagi negara-negara berkembang untuk mendiversifikasi dan memperluas ikatan ekonomi mereka. Sementara konsep Triangular yang dimaksudkan adalah pelibatan negara maju dalam kerangka kerja sama, sehingga terdapat tiga aktor yang berkoordinasi: negara donor tradisional (biasanya anggota OECD/Development Assistance Committee), negara berkembang sebagai donor, dan negara berkembang sebagai penerima.
Peran Indonesia sebagai donor dalam program ini diawali pada tahun 1981 lewat skema Kerja sama Teknik Negara Berkembang (KTNB) yang sudah disinggung sebelumnya. Cakupan kerja sama teknik ini meliputi program-program pelatihan yang diikuti oleh peserta dari negara berkembang, misalnya dengan penugasan tenaga ahli Indonesia ke Gambia, Kamboja, dan beberapa negara berkembang lain. Kemudian, Indonesia juga menyalurkan bantuan berupa alat pertanian seperti: hand tractor, cangkul, sabit, pompa air, power thresher, dan rice milling ke beberapa negara di Afrika, serta pemberian beasiswa sekaligus pertukaran kebudayaan di beberapa negara Asia Pasifik. Dari data yang dicatat oleh Kementerian Luar Negeri, jumlah peserta program pelatihan di bidang pertanian dari negara berkembang dari tahun 1980 sampai tahun 2008 telah mencapai 1.630 orang dan berasal dari sekitar 70 negara di kawasan Asia, Pasifik, Afrika, dan Amerika Latin.
Komitmen kerja sama Indonesia dalam SSCT semakin kuat, utamanya setelah program ini dicantumkan ke dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) tahun 2010-2014. Proses implementasi SSCT kemudian diatur di bawah empat kementerian, yakni: Bappenas yang bertanggung jawab terkait koordinasi serta budgeting; Kementerian Luar Negeri yang mengurus diplomasi dan kebijakan luar negeri; Kementerian Keuangan yang bertanggung jawab atas hal bersifat fiskal dan juga anggaran negara; dan terakhir adalah Kementerian Sekretariat Negara untuk mendukung fasilitasi.Â
Pada masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, urgensi skema penguatan kerja sama SSCT lebih dipertegas melalui pencantumannya sebagai salah satu dari sembilan agenda prioritas pembangunan 'Nawacita'. Jumlah alokasi dana yang dianggarkan untuk program SSCT juga terus mengalami peningkatan, dari semula 1,2 juta USD di tahun 2014 dan 1,5 juta USD pada 2015, hingga peningkatan paling besar pada tahun 2016 di mana Indonesia menganggarkan dana sebesar 15,08 juta USD. Tidak cuma itu, hanya dalam kurun tahun 2016, terdapat sekitar 51 program yang diberikan Indonesia berupa proyek bantuan, dukungan peralatan, program magang, seminar, lokakarya, studi banding, pelatihan dan pengiriman tenaga ahli di negara-negara seperti Fiji, Kaledonia Baru, Vanuatu, Kepulauan Marshall, Palau, Chad, Kepulauan Solomon, St.Petersburg. Saint Vincent dan Grenadines, Nauru, Tonga, Tuvalu, dan Samoa.
Walau dengan komitmen sebegitu kuatnya untuk menjadi negara donor, proses koordinasi implementasi SSCT di Indonesia sendiri masih belum efektif karena tidak memiliki badan atau institusinya sendiri. Keempat kementerian yang menaungi program ini tentunya mempunyai standar operasional dan perencanaan masing-masing terkait SSCT, sehingga memperlambat alur komunikasi. Lebih lanjut ditinjau dari segi bentuk bantuan yang Indonesia berikan, terutama terkait finansial, jumlah donasi Indonesia juga tidak terlalu banyak apabila dibandingkan dengan negara donatur lain yang lebih kuat ekonominya seperti halnya Tiongkok dan India. Indonesia termasuk penyumbang dana terkecil dengan hanya sekitar 10 juta USD digelontorkan. Melihat fakta tersebut kemudian memicu pertanyaan lain: apakah keputusan Indonesia untuk beralih menjadi negara donatur ini sudah tepat di tengah situasi perekonomian domestik yang juga masih berkembang?
Meninjau dari fenomena di lapangan, ada beberapa poin yang bisa diamati. Pertama, apa yang Indonesia lakukan dengan menjaga kerja sama ini dapat dilihat sebagai bentuk usaha untuk mendapat mutual gain. Seperti diketahui bahwa dalam interaksi hubungan internasional, aktor-aktor yang berperan akan selalu mengutamakan kepentingan nasionalnya. Di sini Indonesia ingin membangun relasi baik dengan negara-negara yang menerima bantuannya, dan tentunya hubungan baik semacam ini dapat berkembang ke arah kerja sama lebih besar lagi. Hal ini sejalan pula dengan haluan politik luar negeri bebas aktif yang dianut Indonesia, di mana diplomasi dilakukan terhadap negara-negara lain tanpa terikat salah satu pihak saja.
Keputusan Indonesia untuk lebih banyak terlibat dalam membantu negara berkembang juga tidak lepas dari keanggotaannya di forum G20. Dengan peningkatan status sebagai middle income country, Indonesia memiliki kewajiban baru untuk membantu negara-negara dunia ketiga. Lebih-lebih lagi global development program sendiri juga masuk ke dalam tujuan bersama yang disepakati negara-negara anggota PBB, sehingga kerja sama SSCT ini dapat menjadi sarana bagi Indonesia untuk mempromosikan dan membentuk citranya sebagai negara yang berkomitmen dalam pembangunan serta kesejahteraan dan perdamaian dunia.
Terlepas dari bagaimana Indonesia sendiri juga masih dalam tahap pemerataan pembangunan, kebijakan untuk menjadi negara donatur pada program SSCT bisa dikatakan sudah tepat kaitannya dengan implementasi politik luar negeri bebas aktif, dan juga memperkuat posisinya dalam pergaulan internasional.
Referensi :Â
Alta, A., & Pamasiwi, R. M. (2018). Indonesian South-South Cooperation: Stepping Up the Institution and Strategy for Indonesia's Development Assistance. LPEM FEBUI Working Papers, (201817).
BPPK -- Kemlu RI. (2015). Reorientasi Kerja sama Selatan -Selatan dan Triangular bagi Kepentingan Nasional. Dapat diunduh di https://kemlu.go.id/download/L3NpdGVzL3B1c2F0L0RvY3VtZW50cy9LYWppYW4lMjBCUFBLL1AzSzIlMjBBU1BBU0FGLzA4X1Jlb3JpZW50YXNpX0tlcmphX1NhbWFfU2VsYXRhbi1TZWxhdGFuX2Rhbl9Ucmlhbmd1bGFyX2JhZ2lfS2VwZW50aW5nYW5fTmFzaW9uYWwucGRm
Rozy, F. (2020). DUKUNGAN DAN IMPLEMENTASI SOUTH-SOUTH COOPERATION INDONESIA DALAM MENINGKATKAN PERTUMBUHAN NEGARA BERKEMBANG. Journal of Diplomacy and International Studies, 3(01), 93-104.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H