Mohon tunggu...
Rappi Darmawan
Rappi Darmawan Mohon Tunggu... Wiraswasta - saya pekerja baik-baik

punya seabrek cita-cita, belum taat beribadah, ingin memperbaiki diri

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengatasi Mahalnya Ongkos Politik

10 September 2018   10:29 Diperbarui: 10 September 2018   10:52 423
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ranah politik Indonesia kembali ramai. Baliho, spanduk calon anggota legislatif dan calon presiden bertebaran di jalan-jalan dan tempat-tempat umum. Iklan media cetak, online dan sosial media pun begitu. 

Secara garis besar, isinya sama. Ingin memperkenalkan diri kepada masyarakat bahwa pengiklan akan mencalonkan diri pada pemilihan legislatif (Pileg) mendatang. 

Pileg dan Pilpres 2019 akan digelar serentak pada 17 April 2019.  

Kemasannya saja yang berbeda. Sangat tergantung dengan kreativitas pembuat iklan. Kenapa pembuat iklan? Bukan tidak menaruh percaya kepada calon legislatif tersebut memiliki kreativitas yang tinggi, namun lazimnya, memang begitu. Pembuat iklan lebih kreatif dalam merangkai kata, mencari moment dan ataupun pilihan warna. Seperti saya.....

Kenapa pula, calon legislatif harus mengiklankan dirinya? Pribahasa "Tak kenal maka, Tak Sayang" sepertinya masih berlaku di masyarakat Indonesia. Umumnya, pemilih akan memilih calon-calon yang dikenalnya. Terlepas seberapa dalam pemilih mengenal calon tersebut. 

Sering kali terungkap bahwa ada masyarakat yang memilih seorang calon karena pernah bertatap muka dalam acara perayaan 17 Agustus, pernah membantu pembangunannya jalan, pernah mengadakan khitanan massal atau pernah memberikan nasi bungkus untuk makan siang. Seperti apa proses perkenalannya, kalau tak dikenal jangan harap akan dipilih. 

Proses perkenalan inilah yang membuat biaya (cost) politik menjadi mahal. Dalam suatu kesempatan saya pernah membuat budget event untuk seorang calon anggota legislatif. Ceritanya, calon tersebut baru akan menceburkan dirinya dalam dunia politik. Selama ini aktivitas kesehariannya memang belum banyak berhubungan dengan masyarakat umum. 

Untuk itu, supaya dikenal masyarakat calon tersebut ingin terjun ke masyarakat. Salah satu cara yang dipakai yakni dengan menggelar event yang melibatkan masyarakat. Tentunya masyarakat yang berada dalam wilayah dimana dirinya dicalonkan. Eventnya juga harus menyesuaikan dengan kondisi warga, supaya memberi kesan dan bermanfaat. 

Diawali dengan survei kecil-kecilan ke kelompok masyarakat diwilayah tersebut. Selanjutnya baru dapat gambaran kegiatan apa yang diinginkan warga dalam waktu terdekat. Alhasil dipilihlah bakti sosial khitanan massal kepada 100 anak. Dimana biaya khitan untuk satu anak didapat harga sebesar Rp 350 ribu. Itu sudah melalui nego yang cukup alot. 

Dengan mengkhitan sebanyak 100 anak, total calon anggota legislatif tadi membutuhkan dana sebesar Rp 35 juta untuk biaya khitan. Belum ditambah dengan biaya-biaya lain seperti tenda, konsumsi, pembawa acara, kru pelaksana dan keperluan lainnya yang tidak terduga. Setidaknya untuk sebuah event dibutuhkan dana sebesar Rp 50 juta per lokasi. 

Bisa dihitung kalau seorang calon tersebut ingin mengadakan event di 10 tempat berbeda, 20 tempat berbeda atau 30 event selama masa kampanye. Berapa uang yang harus dikeluarkan seorang calon anggota legislatif. Sementara hukum alam "Tak Kenal, Maka Tak Sayang" tetap berlaku. 

Secara tidak langsung semakin sering melakukan kegiatan, semakin besar event, gaungnya akan semakin besar. Kemungkinan akan dikenal dan disayang calon pemilih, peluangnya juga besar. Namun, tentunya hal ini tidak berlaku bagi calon anggota legislatif yang sudah banyak berbuat untuk masyarakat, khususnya tokoh-tokoh yang memang aktif dikegiatan sosial kemasyarakatan. 

Hematnya, cost politik bisa diantisipasi sejak dini. Cost politik tidak selalu identik dengan uang, tetapi dapat berupa sosial responsibility (kepedulian sosial), ramah tamah dan pertemanan yang dapat dimulai dari lingkungan terkecil. Rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, kecamatan atau komunitas sosial yang mempunyai program nyata.

Kepedulian sosial, pertemanan jauh lebih mujarab daripada image yang dibangun melalui event yang digelar sesaat. Karena prosesnya tidak bisa instan, dibutuhkan waktu yang panjang, keterlibatan dalam masyarakat yang konsisten dan kesiapan untuk menerima orang lain dengan berbagai karakter. 

#salamkompal

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun