"Minggir woi!" Teriak pengendara mobil yang menyuruh seseorang minggir dari depan mobilnya. Seseorang itu bernama Pak Wik. Dia adalah seorang pengamen  jalanan di daerah Losari, sebuah daerah perkotaan yang kurang diperhatikan oleh pemerintah. Karena itu, masih banyak warga yang berada di dalam krisis ekonomi, contohnya seperti Pak Wik sendiri. Bagi orang-orang yang mampu, orang-orang kecil seperti Pak Wik itu hanya seperti semut di lapangan sepak bola. Dan bagi orang-orang seperti Pak Wik, yang mereka miliki hanya satu prinsip yaitu hari ini harus bisa makan.
Pak Wik tinggal di daerah yang kumuh bernama Jlegong, sendirian. Namun, walaupun Pak Wik tinggal di daerah yang kumuh, Pak Wik memiliki rumah yang layak dengan lantai keramik, dinding batu bata, serta atap seng. Rumah itu merupakan peninggalan terakhir dari anak satu-satunya yang kini sudah bekerja di luar negeri. Sudah bertahun-tahun Pak Wik tidak mengetahui kondisi dan keadaan anaknya lagi. Pagi dini hari adalah saat dimana Pak Wik  bangun dari tidurnya setelah lelah ketika mengamen di sekitar jalan Kragan kemarin. Setelah selesai membersihkan badannya, Pak Wik sarapan dengan sedikit nasi ditaburi garam lalu siap untuk berangkat menuju dunia luar.
Dengan menggunakan gitar yang sudah usang, suara yang serak tetapi tinggi, serta pakaian khas koboi, Pak Wik menjalankan pekerjaannya sebagai pengamen di jalanan daerah Losari. Di samping lampu merah, di dalam bis, dan di depan toko merupakan tempat yang paling sering didatangi oleh Pak Wik. Terkadang dalam sehari, dia bisa mendapatkan penghasilan paling banyak sebesar Rp100.000,00, dan paling sedikit hanya Rp25.000,00. Semua hasil yang ia terima tetap disyukuri. Karena, yang terpenting menurut Pak Wik adalah bisa makan dan minum, selain itu tidak ia pikirkan. Pak Wik sudah terbiasa dengan kebiasaan ini.
Namun, pada suatu saat, yang menurut Pak Wik terpenting itu berubah ketika ia bertemu dengan seseorang. Seseorang itu adalah bayi yang ia temukan di depan toko yang sudah tutup di malam hari. Ketika Pak Wik hendak meneduh akibat hujan yang lumayan deras, ia menemukan bayi kecil kira-kira berumur 1 tahun yang terselimuti kain tebal menangis karena mendengar suara hujan dan guntur. Saat pertama kali melihatnya, Pak Wik langsung tak tega bila harus meninggalkan bayi itu sendirian. "Dasar orang tua gebleg, naruh anak sembarangan, ntar kalau mati kedinginan gimana coba." Maka, Pak Wik membawa bayi itu ke rumahnya agar tidak kedinginan di luar sana. Dan itulah saat dimana Pak Wik dipertemukan dengan seseorang yang akan mengubah hidupnya oleh Tuhan
Sejak saat itu, Pak Wik lah yang mengurus bayi tanpa nama itu. Dengan penghasilannya yang sedikit dan tidak menentu, Pak Wik berusaha menghidupi dan merawat bayi itu semampunya. Sembari mengamen untuk mencari uang, Pak Wik juga berusaha mencari informasi orang tua bayi itu hanya bermodalkan selimut yang tertinggal bersama bayi itu. Pak Wik berharap dan berdoa supaya bayi itu bisa segera bertemu dengan orang tuanya tanpa memikirkan imbalannya. Dan secara tidak sadar, Pak Wik memiliki tujuan hidup baru, yaitu merawat dan mencari orang tua bayi itu.Â
Semenjak bayi itu ada di kehidupan Pak Wik, kehidupannya pula juga berubah. Setelah membersihkan diri, Pak Wik juga membersihkan tubuh Si Bayi. Saat sarapan pula, Pak Wik harus membeli bubur demi Si Bayi. Dan saat ia mengamen, bayi itu diikatkan ke punggungnya menggunakan selendang bekas yang ia temukan tergeletak di tempat sampah. Lalu saat makan siang dan makan malam, ia harus membagi satu porsi nasi Padang dengan bayi itu. Sepertinya Tuhan memang menyiapkan Pak Wik agar mengasuh bayi itu.
Tak terasa, sudah hampir 10 bulan Pak Wik merawat bayi itu. Dan, belum ada informasi apapun tentang kedua orang tua Si bayi itu. Malahan, Pak Wik mulai memiliki hubungan yang kuat dengan bayi itu. Dalam hati Pak Wik, Â mulai muncul pikiran untuk berhenti berusaha mencari orang tua bayi itu dan dengan senang hati merawatnya. Karena, semenjak hadirnya bayi itu didalam hidup Pak Wik, dia semakin memiliki rasa kasih di dalam dirinya. Pak sudah jarang sekali stred dan berkata kasar semenjak bayi itu ada di rumahnya. Pak Wik ingin agar bayi itu ada terus bersamanya sampai akhir hidupnya.Â
Pak Wik mulai menabung untuk kehidupan bayi itu dengan membeli kasur, pakaian, dan susu. Pak Wik mulai mengingat kembali pengalamannya dulu yang juga sebagai seorang ayah. Pak Wik berusaha merawat bayi itu dengan baik dan tidak membiarkannya menderita. Di usianya yang sudah 50 tahun, Pak Wik memiliki tujuan hidup yang baru berkat bayi itu. Dan, Pak Wik menamai bayi itu dengan nama Purna, Cahya Purnama. Pak Wik memberi nama itu kepadanya karena bayi itu seperti cahaya purnama yang menjadi sumber penerangan bagi Pak Wik dalam kegelapan.
Namun, walaupun Pak Wik sudah mulai menganggap Purna sebagai anak kandungnya sendiri, tetap ada rasa khawatir dalam diri Pak Wik. Rasa khawatir itu muncul karena Pak Wik sekarang sudah berumur 50 tahun lebih, dan Purna sekarang baru berumur 2 tahun. Pak Wik takut bila suatu saat nanti, dia terpaksa harus meninggalkan Purna sendirian di dunia ini. Pak Wik tidak ingin Purna tumbuh besar tanpa mengetahui siapa dia sebenarnya, tetapi Pak Wik juga tidak ingin berpisah dengan seseorang yang dianggap seperti anak kandungnya sendiri. Pergulatan batin ini terus dirasakan Pak Wik setiap hari, setiap malam. Di jalan yang sudah sepi, di bawah lampu penerang jalan yang berwarna kuning redup, Pak Wik terus berjalan sambil menggendong Purna yang sudah tertidur lelap, entah kapan ia bangun kembali.Â
___
"Bangun Pur, bangun, udah subuh", panggil Pak Wik