Agama adalah sebuah sistem yang mengatur tata keimanan dan peribadatan kepada Tuhan Yang Maha Kuasa serta kaidah yang berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia lainnya. Secara singkat, agama adalah sebuah institusi yang mengatur suatu kepercayaan. Di Indonesia, terdapat enam agama yang diakui oleh negara, yakni Islam, Katolik, Kristen, Hindu, Buddha, dan Konghucu.
Indonesia yang kaya akan keberagaman agama, suku, ras, budaya, dan golongan menjadikan sebuah tantangan sendiri untuk menyuarakan semangat persatuan dan kesatuan. Salah satu solusi menghadapi tantangan tersebut dengan cara mengadakan kegiatan lintas keberagaman untuk membuka wawasan para masyarakat terhadap keberagaman itu.
Kegiatan lintas agama diadakan setiap setahun sekali oleh sekolah SMA Kolese Kanisius Jakarta. Siswa Kanisian (sebutan akrab murid Kanisius) melakukan studi banding ke beberapa pondok pesantren yang ada di Banten dan Jawa Barat. Kegiatan ekskursi ini menjadi sebuah pengalaman menarik bagi para Kanisian belajar hidup di lingkungan dan kultur yang sangat berbeda.
Menjadi Santri
Kurang lebih tiga hari dua malam, 30 Kanisian tiba di Pondok Pesantren Terpadu Bismillah, Kabupaten Serang, Banten. Terlihat wajah-wajah hangat siswa dan santri menyapa para Kanisian setibanya di pondok.
Nilai kehidupan, seperti kesederhanaan dan bersyukur sangat diimplementasikan di pondok pesantren. Berbeda dengan Kanisian yang tinggal di kawasan perkotaan, para santri tinggal dengan fasilitas seadanya dan hidup sederhana.
Kami berdinamika bersama para santri dan santriwati, mulai dari makan, belajar, dan bermain. Saya menyadari kalau kami memiliki rutinitas yang kurang lebih sama yang semakin meyakinkan saya kalau kita semua sama-sama manusia, tidak ada yang lebih dari yang lainnya.
Tak jarang juga para santri terlihat antusias mau mengenal dan belajar tentang agama Kristiani, sebagaimana mayoritas para Kanisian berkeyakinan Katolik dan Kristen. Di waktu luang, kami bertukar pikiran dan cerita tentang pengalaman beragama masing-masing yang semakin membuka pikiran kami. Hal ini membuka hati bahwa perbedaan pasti selalu ada di sekitar kita, mulai dari pikiran, tata cara, dan perilaku yang justru membuat keunikan disekitar kita.
Pengalaman yang paling berkesan bagi saya adalah belajar menggunakan sarung ala santri. Berbeda dengan yang diajarkan bapak saya, tata cara menggunakan sarung khas santri terasa lebih nyaman dan tidak mudah lepas walau di tengah aktivitas berat. Pengalaman ini membuat saya merasa dekat dengan para santri.
Salah satu kebiasaan di pondok ini adalah setiap bulan diadakan Sholawatan Maulid Diba. Sholawatan ini berisikan syair-syair pujian kepada Nabi Muhammad SAW, diiringi dengan alat musik marawis yang meriah.
Setiap malam setelah makan malam, para santri berkumpul di lapangan untuk belajar Bahasa Inggris. Para Kanisian diajak untuk mengajarkan para santri memperkaya kosakata dan tata kalimat Bahasa Inggris. Yang menariknya, ustaz memberikan contoh dengan mengulang kosakata sehingga lebih mudah dipahami para santri.
Setelah sesi ini, kami semua masuk ke kelas mengaji al-Quran. Para santri juga antusias untuk mengajarkan tata cara dan aturan dalam agama Islam. Kebersamaan dan berbagi ilmu memperkuat rasa persatuan di tengah perbedaan.
Meresapi Makna Ekskursi
Pengalaman ekskursi adalah sebuah pengalaman yang berharga. Kami belajar menghidupi nilai toleransi secara langsung atau turun ke lapangan. Kami juga belajar beradaptasi di lingkungan dan kultur yang sangat berbeda dengan keseharian kami.
Menurut saya, nilai toleransi paling mudah diimplementasikan dengan cara menerima dan menghargai. Apabila tidak bisa membantu dengan aksi, cara terbaiknya adalah tidak mengganggu.
"Not all of us can do great things. But we can do small things with great love" - Bunda Teresa
Salah satu narasumber seminar lintas agama di pondok pesantren kami mengatakan, "kita sama-sama manusia, makan nasi, ya tidak perlu bertengkar karena sebuah perbedaan. Justru perbedaan ini yang menjadi keunikan di tengah-tengah masyarakat". Hal ini semakin meyakinkan saya untuk kita manusia sepantaran di mata Tuhan Yang Maha Kuasa, jadi tidak perlu berdebat ajaran mana yang paling benar.
Selain itu, kebersamaan dengan para santri membangun persahabatan antar umat beragama. Justru para santri ini yang paling dekat dengan kami selama kegiatan ekskursi. Kami menjadi saling mengenal agama satu sama lain karena mereka. Merekalah yang menjadi wajah toleransi bagi kami.
Toleransi diibaratkan sebagai sarung, yang "menyatukan" antara kedua kaki yang berbeda. Kaki kanan dan kaki kiri sudah pasti berbeda, tidak ada yang 100% sempurna simetris. Sama seperti kita yang hidup di tengah-tengah perbedaan, toleransi mengikat kita untuk berjalan atau mencapai menuju tujuan kita bersama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H