Mohon tunggu...
Raphael Pascal Dyandra
Raphael Pascal Dyandra Mohon Tunggu... Pelajar Sekolah - Seorang Pelajar

Sepeda, audio, kopi, fotografi, apa ajalah

Selanjutnya

Tutup

Seni

Fotografi: Estetika Visual atau Menangkap Momen?

20 November 2024   20:15 Diperbarui: 20 November 2024   20:32 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Waktu sejatinya tidak dapat dihentikan, momen sekarang hilang dengan cepat. Dahulu, peristiwa-peristiwa itu dilukiskan di atas kanvas untuk merekam sebuah momen penting. Di tahun 1816, seorang berkebangsaan Prancis berhasil memotret foto pertama yang menjadi cikal-bakal kamera. Ia menyebutnya teknik fotografi yang berasal dari Bahasa Latin, yakni photos yang artinya cahaya dan graphos yang artinya gambar. Jika digabung, fotografi memiliki arti melukis gambar dengan cahaya.

Perkembangan kamera dari waktu ke waktu membantu para fotografer untuk menangkap setiap momen. Mulai dari kamera SLR dengan rol film ikoniknya, DSLR, mirrorless, dan telepon genggam menandakan perkembangannya. Namun, esensi dari sebuah fotografi belum dapat tersampaikan dengan baik.

Orang kini terfokus pada aspek visual yang mengikuti tren media sosial, filter, dan pengubahan visual foto yang berlebihan. Dampaknya mengaburkan makna asli dari gambar itu sendiri. Esensi fotografi yang bertujuan untuk menyapaikan suatu cerita, emosi, dan realita sebuah momen menjadi hilang karena kepentingan nilai estetika visual. Fotografi berisiko kehilangan esensinya dan bergeser sekadar hasil visual yang dangkal tanpa makna mendalam.

Kisah ini berbeda dengan fotografer "senior" yang motret di era kamera analog. Proses motret di era tersebut terhitung lama, mulai dari membeli rol film negatif yang harganya tidak murah, mencuci film, hingga mencetak foto. Proses lama ini yang menjadikan para fotografer senior ini untuk menunggu setiap momen yang tepat, makna mendalam, dan seharga dengan proses motret.

Tidak semua orang langsung mendapatkan esensi dari seni ini dan semua orang mulai dari titik yang sama pula. Hal tersebut tidak muncul sendirinya, jam terbang atau pengalaman juga menentukan bagaimana sebuah cerita tersaji di dalam foto. Pengalaman inilah yang akhirnya menentukan ciri khas foto dari tiap fotografer.

Sebagai contoh, fotografer olahraga Walter Iooss dengan foto ikoniknya dengan Muhammad Ali atau Michael Jordan di tiap foto-fotonya. Foto tersebut tidak hanya menangkap momen, tapi menangkap setiap detail ekspresi dan energi suasana sehingga memiliki kedalaman visual yang bermakna.

Fotografi modern memang memberi kemudahan luar biasa, tetapi juga membawa tantangan tersendiri. Di satu sisi, semua orang kini memiliki akses untuk menjadi "fotografer." Di sisi lain, kemudahan ini sering kali mengurangi nilai penghargaan terhadap proses dan hasilnya. Esensi fotografi sebagai seni bercerita dan medium pengungkapan realitas seakan tergeser oleh keinginan untuk memenuhi standar estetika sosial media yang dangkal.

Foto yang baik adalah foto yang dapat bercerita tanpa susunan tulisan deskripsi. Seorang fotografer harus bisa membuat foto itu seakan-akan berbicara momen tersebut, sebab estetika visual pasti mengikuti.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Seni Selengkapnya
Lihat Seni Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun