Dengan meningkatnya polusi udara dari kendaraan bermotor di perkotaan, publik harus mencari cara untuk menggunakan kendaraan ramah lingkungan.Â
Dari sekian banyak pilihan transportasi yang ada, nampaknya kendaraan sepeda kayuh belum menjadi pilihan utama bagi masyarakat Indonesia khusunya Jakarta.
Manfaat sepeda bagi lingkungan tentu sangat berpengaruh, yakni bebas polusi.
Sebagai alat transportasi ramah lingkungan, sepeda pernah menjadi tren pada masa pandemi COVID-19.
Selama pandemi, bersepeda menjadi moda transportasi yang aman dan sehat untuk menghindari kerumunan publik karena pembatasan sosial.
Namun seiring kembalinya aktivitas normal, tren bersepeda menurun hingga tersisa individu yang menjadikan sepeda sebagai rekreasi atau transportasi harian.
Meski angka pengguna pesepeda di Jakarta termasuk tertinggi di kota-kota Asia Tenggara, persentase ini terbilang cukup rendah.
Ketersediaan infrastruktur menjadi kunci untuk mendorong budaya bersepeda di perkotaan.
Jalur sepeda, parkir sepeda, dan alur lalu lintas yang aman dapat menarik minat masyarakat untuk menggunakan sepeda.
Pembangunan jalur sepeda dibuat untuk keamanan para pesepeda yang memiliki perbedaan kecepatan signifikan terhadap moda transportasi lainnya.
Di Jakarta, pembangunan jalur sepeda telah berkembang dan hampir di setiap ruas jalan terdapat jalur sepeda.
Jalur sepeda ini terdiri dari jalur terproteksi (dibatasi stick cone atau road barrier), jalur berbagi (berbagi dengan pengguna jalan lain), dan jalur di atas trotoar.
Melansir dari detik.com, pembangunan jalur sepeda di Jakarta memastikan target hingga 2026 sepanjang 535 kilometer. Pemprov juga akan bekerja sama dengan seluruh LSM seperti komunitas B2W (Bike to Work).
Sayangnya terjadi kasus pesepeda yang kurang nyaman dan aman saat menggunakan jalur sepeda.
Di Jakarta, banyak ditemukan man-hole cover dan traffic cone bertali yang terletak di jalur sepeda hingga menghalangi jalan yang dapat membahayakan keselamatan para pesepeda dan pengguna jalan lainnya.
Ditambah lagi dengan oknum pengguna sepeda motor, mobil, dan kendaraan lainnya yang parkir di jalur sepeda.
Ruas jalan utama yang mengalami kemacetan juga menjadi salah satu faktor pendorong pengguna motor untuk menggunakan jalur sepeda terproteksi sehingga pesepeda merasa kurang nyaman.
Tak hanya itu, kasus lain seperti kendaraan bermotor yang harus masuk, keluar, atau menepi pada jalur sepeda dapat mengganggu kenyamanan pesepeda yang berbeda kecepatannya.
Marak terjadi angkutan umum seperti Bus Raya Terpadu (BRT) yang secara tiba-tiba masuk ke jalur sepeda untuk mengangkut penumpang di halte.
Bagi pesepeda hal ini membuat mereka harus membuat keputusan untuk menunggu bus berjalan kembali atau memutari bus.
Pengadaan jalur sepeda juga perlu diperhatikan lebih lanjut pemberian marka dan alur sepeda.
Tidak sedikit jalur sepeda berbagi maupun di atas trotoar diberikan informasi jalur, kemudian kosong tanpa ada petunjuk lebih lanjut.
Simpang Susun Semanggi dapat menjadi contoh dalam kasus ini.
Pesepeda yang melewati ruas Jalan Sudirman akan dialihkan dan dilewatkan melalui jalur roda dua.
Jalur sepeda yang disediakan adalah di atas trotoar, bagi saya ini hal yang patut diapresiasi.
Namun selang 100 meter setelah naik ke atas trotoar atau di kolong Semanggi, tidak ada informasi terkait alur sepeda dialihkan entah ke mana.
Jika tetap berada di atas trotoar, akan bertemu dengan saluran air.
Bagi para pesepeda yang pernah melewati jalur ini tentu merasa kebingungan.
Akibatnya, sejumlah pesepeda memutuskan untuk keluar jalur sepeda atas alasan kenyamanan dan keselamatan. Namun, keputusan tersebut ternyata malah membahayakan keselamatan pengguna sepeda.
Kita tidak dapat menyamakan jalur sepeda yang ada di luar negeri dengan milik kita, tentu negara kita berbeda dengan negara lain. Namun, ada banyak hal yang perlu dievaluasi kembali dalam pengadaan jalur sepeda di Jakarta.
Tentu evaluasi ini bertujuan untuk keselamatan dan kenyamanan setiap pengguna jalan.
Langkah pertama yang dapat dilakukan adalah memperbaiki sarana yang terdapat di tengah jalan seperti man-hole cover yang mengganggu jalan.
Kegiatan yang melakukan penggalian dan melubangi aspal dengan layak dan sepantasnya ditutup seperti semula, sehingga aspal menjadi rata.
Kedua, menghilangkan traffic cone yang menghalangi. Keberadaan benda ini kadang disertai seutas tali yang melintang.
Tali yang melintang dan menghalangi jalan berakibat hilangnya aspek keselamatan dalam berkendara.
Kedua, memperketat peraturan lalu lintas. Dinas Perhubungan sebagai penyelenggara jalur sepeda tentu memiliki hak untuk memperketat aturan ini.Â
Kendaraan yang parkir di pinggir jalan tentu mengganggu pengguna jalan lainnya. Pemotor yang masuk ke jalur terproteksi bisa menjadi referensi untuk evaluasi ini.
Regulasi lain yang menyangkut penggunaan jalur sepeda baiknya segera dibenahi, seperti BRT yang berhenti di halte dan menghalangi jalur sepeda.
Ketiga, memperjelas informasi dan alur jalur sepeda. Seperti informasi petunjuk arah lainnya, jalur sepeda selayaknya diberikan informasi yang jelas terkait arah jalur supaya tidak terjadi kebingungan oleh pengguna sepeda.
Menjelang World Bike Day 2024 pada tanggal 3 Juni mendatang, kita diajak untuk bersepeda dalam upaya kita dalam melindungi bumi.
Walau banyak tantangan dalam penerapan jalur sepeda di Jakarta, penting bagi pemerintah dan masyarakat untuk terus berupaya mengatasi kendala tersebut demi menciptakan lingkungan yang lebih ramah bagi pesepeda.
Pengembangan infrastruktur yang memadai, peningkatan kesadaran masyarakat, dan penegakan aturan lalu lintas yang ketat adalah langkah-langkah kunci yang harus diambil untuk mendorong penggunaan sepeda sebagai moda transportasi utama.
Dengan komitmen dan kerjasama dari semua pihak, diharapkan budaya bersepeda di Jakarta dapat berkembang lebih pesat dan memberikan manfaat nyata bagi lingkungan serta kesehatan masyarakat.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H