Menurut Azyumardi Azra dalam studinya yang membahas tentang awal mula Reformasi islam fi asia Tenggara adanya jaringan yang cukup signifikan yang dimainkan oleh jaringan ulama timur Tengah yang belajar ke para ulama dikawasan tersebut. Jaringan inilah yang nantinya akan membuat sebuah transmisi intelektual di Nusantara antara ulama lokal dengan ulama internasional yang berpusat di haramain abad ke-17-18M. Tetapi di Nusantara telah berlangsung dari abad 17M. Yang nantinya akan memunculkan sosok ulama seperti Nuruddin Ar-Raniry, Abdurra'uf Al-Fansuri, dan Yusuf Al-Maqasary.
Karakteristik Jaringan
Berpusatnya ulama di Nusantara disebabkan oleh adanya interaksi dengan berbagai tradisi di abad 15M seperti Afrika (Maghrib:sekarang Maroko), Mesir, syiria, Irak, Yaman, India, dan Haramain sendiri. Pada masa ini di Haramain menjadi pusat pendidikan yang sangat penting dengan berdirinya banyak madrasah dan menjadi sebagai titik berkumpul nya banyak ulama dari seluruh dunia.
Faktor-Faktor Penghubung para ulama
- Keterlibatan yang sama pada bidang Hadist
- Afiliasi pada bidang tarekat
- Rantai transmisi Sanad Hadist
- Silsilah spiritual tarekat.
Hal-hal tersebut lah yang manjadi kan terhubungnya para ulama dari Afrika Utara dan Mesir. Sedangkan Sayyid Sibghattallah(W. Madinah 1606M) dan Tajuddin bin Zakariya bin Sulthan Al-Uthmani Al-Naqsabandi Al-Hindi(W. Makkah 1642) sebagai Mursyid tarekat Sufi.
Tokoh-tokoh kunci
- Sayyid Sibghattallah bin Ruhullah Jamal Al-Barwaji dari Gujarat
- Ahmad bin Ali bin Abdulquddus Al-Shinnawi Al-Misri Al-Madani dari Mesir.
- Ahmad Al-Shinawi(W.1619)
- Ahmad Al-Qushashi(W.1660M) adalah dua orang murid dari Sibghattallah yang bertanggung jawab menyebarkan ajarannya.
- Ibrahim Al-Kurani murid dari Al-Qushashi yang melanjutkan jalan dakwahnya.
Reformasi oleh jaringan ulama
Jaringan ulama al-Haramayn merupakan komunitas yang kosmopolitan, dengan beragam latar belakang etnis, mazhab, dan tarekat. Meskipun demikian, mereka memiliki kesamaan tujuan, yaitu reformasi Islam. Reformasi ini dipengaruhi oleh tradisi intelektual dari luar al-Haramayn, seperti hadis dari Afrika Utara, tarekat sufi India, dan interaksi antara ulama syariat dan sufi. Hasilnya, muncul neosufisme, sebuah bentuk tasawuf yang lebih menekankan pada syariat dan moralitas ketimbang aspek mistik dan metafisik.
Neosufisme bertujuan untuk merekonstruksi kondisi sosial dan moral umat Muslim, dengan memadukan tasawuf dan syariat. Para ulama seperti al-Qushäshi dan al-Küräni menekankan pentingnya syariat dalam tasawuf, menjadikan ajaran al-Qur'an dan hadis sebagai dasar ajaran sufi, dan memperkuat peran hadis dalam mencapai kesalehan moral. Mereka juga menekankan perlunya ijtihad dan aktivisme sosial, dengan sufi yang sejati berperan dalam masyarakat, bukan mengisolasi diri.
Selain itu, mereka mengubah organisasi tarekat sufi, yang menjadi lebih fleksibel, dengan murid bisa mengikuti beberapa tarekat sekaligus. Suksesi dalam tarekat juga berubah, dengan pemilihan khalifah berdasarkan kemampuan murid, bukan keturunan. Dengan demikian, jaringan ulama al-Haramayn memainkan peran penting dalam mereformasi tasawuf, menggabungkan tasawuf dengan syariat, dan mendorong aktivisme serta ijtihad dalam kehidupan umat Islam.
Kesimpulan
Bendasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa tasawul telah mendommasi atim keagamaan di Nusantara sejak periode awal bedatangan Islam di kawasan ini. Ini tidak lepas dari peran tasawuf sebagai faktor utama idamisasi di kawasan ini. Sejak periode awal kedatangan dan perkembangan Islam, Aceh telah tumbuh sebagal pusat penyebaran tasawuf di samping Umo-finu keislaman lainnya di Nusantara. Dominasi tasawuf pada kehidupan keberagamaan di Nusantara umumnya dan Aceh khususnya, telah menarik generasi muda untuk belajar tasawuf, dan melahirkan hanyak utama dalam bidang ini. Ini mungkin di antara alasan ketertarikan Abd al-Ra'üf terhadap tasawuf
Abd al-Ra'of tumbuh dalam kondisi sostal-politik yang tidak stahil. Ini karena terjadinya konflik yang disebabkan oleh serangan al-Raniri terhadap para pengikut Hamzah dan Shams al-Din yang dikenali dengan polemik wajdljyuh. Meskipun perselisihan ini berada dalam konteks keagamaan, tetapi juga melibatkan kekuasaan (politik), menyebabkan tragedi dalam sejarah Aceh. Sebagai seorang generasi muda Aceh, tentu Abd al-Ra'of merasa bertanggung jawah untuk memecahkan masalah tersebut, yaitu menciptakan kedamaian dan keharmonisan di masyarakat Aceh. Sebagai akar masalah dari perselisihan ajaran Hamzah dan Shams al-Din yang dipandang sebagai menyimpang dari syariat (ortodoksi), adalah tugas Abd al-Ra'if sebagai generasi berikutnya untuk menyiapkan jawaban jawaban mengenai posisi ajaran Hamzah Shams al-Din dari sudut pandang syariat (artodoksi).
Dalam konteks kehidupan intelektual, pada abad yang sama, muncul reformasi Islam yang dijalankan oleh jaringan ulama Timur Tengalı yang berpusat di al-Haramayn. Karakteristik utama atau kecenderungan intelektual jaringan adalah saling pendekatan antara tasawuf dan syariat. Sebagai seorang murid yang belajar di Timur Tengah pada waktu itu, tentu Abd al-Ra'üf terlibat di jaringan tersebut, baik dalam rangka belajar atau hanya sekadar menihina hubungan dengan ulama di jaringan. Tokoh kunci jaringan ulama, yaitu Ahmad al-Qushähsi dan Ibrahim al-Küräni adalah mursyid utama Abd al-Ra'üf. Dengan demikian, tidak dapat dinafikan bahwa spirit reformasi Islam di Timur Tengah, yaitu rekonsiliasi tasawuf dan syariat (ortodoksi), tentu saja, banyak sedilotnya, memengaruhi sikap, pendekatan dan kecenderungan intelektual serta membentuk kerangka pemikiran Abd al-Ra'üf pada masa berikutnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H