Peringatan Hari Buku Nasional 2024 dimanfaatkan oleh Pak Nadiem Makarim selaku Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Mendikbudristek), untuk meluncurkan program "Sastra Masuk Kurikulum". Tujuannya untuk meningkatkan budaya literasi dalam lingkungan Pendidikan. Kita sepakat bahwa literasi tidak berhenti pada kegiatan membaca, menulis dan berhitung saja, tetapi lebih dari pada itu, literasi adalah tentang memahami dunia, tentang berbagai masalah yang kompleks dan pecahannya. Pasti banyak yang menyambut baik program ini karena wacana 'menyekolahkan sastra' bukan hal yang baru.
Pertanyaannya, apakah kita sudah siap? Mari kita coba bahas satu per satu.
Dari sisi Kemendikbudristek
Dengan upaya yang dilakukan, mungkin program 'Sastra Masuk Kurikulum' ini menjadi upaya yang efektif untuk meningkatkan literasi. Bisa benar, bisa juga keliru. Peluncurannya saja belum disosialisasikan dengan merata. Program ini disampaikan dengan mengambil momentum Hari Buku Nasional, dan pemberlakuannya langsung akan dimulai tahun ajaran baru mendatang pada bulan Juli atau Agustus nanti.
Kemendikbudristek mungkin bisa berbangga diri karena mengaku telah mempersiapkan program ini sejak tahun 2023 kemarin. Kementerian menggaet para sastrawan, akademisi dan para guru dari berbagai daerah sebagai tim kurator. Memangnya cukup hanya dengan begitu?
Satu kelemahan yang kerap terjadi dalam penerapan kebijakan di negari kita ini adalah minimnya sosialisasi. Sepertinya segala kebijakan 'main gas' saja tanpa memperhatikan perspektif lainnnya. Secara khusus dalam bidang pendidikan, bukankah eksekutor dari segala kebijakan adalah pendidikan dan tenaga pendidikan yang ada di sekolah?
Dari sisi guru
Ganti menteri ganti kurikulum. Sebenarnya apa sih yang ingin dibuktikan oleh para Menteri yang menjabat ini? Saya tentunya sepakat kalau kita sama-sama mendamba perubahan yang lebih baik, perubahan yang membawa kemajuan dan secara khusus kita ingin mencerdaskan kehidupan bangsa. Tapi, sesekali pemerintah yang di atas, lihatlah ke bawah. Jangan terus-menerus melihat ke atas, terus merancang proyek ambisius, tetapi lupa melihat pijakan di mana ia berdiri. Kita realistis saja dulu. Kalau kita ingin meningkatkan literasi anak bangsa, bukankah kita harus mulai dari hal-hal yang dasar?
Dalam karya sastra, para sastrawan punya kebebasan menulis, kritik terhadap suatu fenomena jelas bisa disalurkan melalui sastra. Namun, kita juga perlu hati-hati, sastra bisa juga dijadikan senjata untuk menebar paham atau ideologi. Hal-hal sekompleks ini, apakah kita sudah yakin bisa mengatasi ini?
Dalam buku Panduan Penggunaan Rekomendasi Buku Sastra yang diluncurkan untuk mendukung program 'Sastra Masuk Kurikulum' ini memang sudah diberikan arahan untuk jenjang SD/MI hingga SMA/Sederajat. Cukup membuat dahi mengerut. Apa ekspektasi Kemendikbud kepada guru-guru yang akan menjadi eksekutor dari program ini?
Kita diperhadapkan pada bacaan-bacaan yang mengandung kekerasan, kriminalitas dalam berbagai bentuk, seks dan penyimpangan seks. Jujur saja, deh. Tidak semua guru expert di bidang ini bahkan kapasitas dan kapabilitas untuk kritik dan apresiasi sastra saja hanya orang-orang tertentu. Lagi-lagi tuntutan guru semakin besar. Memang disediakan penafian, tetapi signifikansinya apa? Toh, murid dan guru diberikan bacaan yang mengandung hal tersebut. Bukankah buku-buku yang tidak direkomendasikan juga bisa jadi mengandung hal yang sama atau juga sama-sama memiliki nilai moral yang dapat diteladani?
Kita ambil contoh tentang pendidikan seks. Masih banyak menganggap pendidikan seks sebagai hal yang tabu. Jangankan berbicara tentang penyimpangan seks, menyinggung alat-alat reproduksi saja sepertinnya menggelikan. Ini memang keliru, tetapi itulah faktanya. Jika dari dasar seks edukasi saja belum beres, rasanya kurang pas jika langsung membahas penyimmpangan seks yang beragam. Ada risiko peserta didik terjebak dalam fantasi seks yang seharusnya kita ingin hindari.
Tapi bagian yang lebih kompleks kan diberikan untuk jenjang SMA/Sederajat? Pertanyaannya tidak salah, tetapi masalahnya adalah konteks sekolah itu tidak ada yang sama. Coba cek sekarang anak-anak kita, apakah tempat membahas berbagai penyimpangan seks di saat sekarang marak bercandaan tentang LGBT? Bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak usia sekolah dari yang menengah bahkan tingkat dasar.
Dari sisi murid
Lagi-lagi yang paham konteks murid adalah orang-orang yang setiap hari terjun di sekolah dan di kelas. Kita bisa optimis kalau anak-anak punya daya nalar, atau kemampuan berpikir kritis yang sama atau sesuai dengan tuntutan. Sayangnya, ini mustahil. Murid itu unik, sangat-sangat unik. Kurikulum kita sadar benar akan hal itu makanya menggaungkan pembelajaran yang berpihak kepada murid. Tapi, kalu terkesan dipaksakan, yakin berpihak pada murid?
Ada masalah lain yang tidak boleh terlewat. Masalah akses buku. Apakah buku-buku yang direkomendasikan akan semakin mudah diaksesnya? Di akses dari mana? Apakah harganya semakin naik karena berhasil masuk kurasi untuk kebutuhan formal atau pemerintah bisa memberikan keringanan sehingga semua murid punya kemudahan akses yang sama? Oh, iya memangnya kenapa buku-buku itu yang direkomendasikan? Buku yang lain memangnya kenapa?
Saya akui, saya cukup pesimis dengan program ini, tetapi bukan berarti kontra pemerintah. Saya menyambut program ini dengan senang sekali. Saya hanya melihat dari sisi pendidik yang melihat konteks di lingkungan sekolah saya. Mudah-mudahan bisa sedikit menunjukkan realita di lapangan seperti apa. Sastra memang sudah seharusnya masuk kurikulum (walaupun sebenarnya sudah ada melalui pembelajaran Bahasa Indonesia selama ini meskipun hanya sebatas pelengkap). Kita lihat saja implementasi di lapangan seperti apa. Harapannya bukan hanya 'praktik baik' program ini yang terus digembar-gemborkan, tetapi Kemendikbudristek melakukan eveluasi rutin melihat konteks di lapangan.
Semoga guru-guru bisa membawa murid-muridnya ke dalam proses berpikir kritis dan reflektif di dalam setiap pembelajarannya.
Semoga dengan program ini wawasan kita tentang dunia semakin luas, kepekaan kita terhadap berbagai fenomena dan peristiwa juga terasah dan yang pasti kita tidak turut serta masuk ke dalam perilaku disruptif karena kedangkalan pengetahuan dan kekeliruan dalam pengertian.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H