Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Sastra Masuk Kurikulum, Emang Udah Siap?

25 Mei 2024   13:50 Diperbarui: 25 Mei 2024   14:03 262
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kita diperhadapkan pada bacaan-bacaan yang mengandung kekerasan, kriminalitas dalam berbagai bentuk, seks dan penyimpangan seks. Jujur saja, deh. Tidak semua guru expert di bidang ini bahkan kapasitas dan kapabilitas untuk kritik dan apresiasi sastra saja hanya orang-orang tertentu. Lagi-lagi tuntutan guru semakin besar. Memang disediakan penafian, tetapi signifikansinya apa? Toh, murid dan guru diberikan bacaan yang mengandung hal tersebut. Bukankah buku-buku yang tidak direkomendasikan juga bisa jadi mengandung hal yang sama atau juga sama-sama memiliki nilai moral yang dapat diteladani?

Kita ambil contoh tentang pendidikan seks. Masih banyak menganggap pendidikan seks sebagai hal yang tabu. Jangankan berbicara tentang penyimpangan seks, menyinggung alat-alat reproduksi saja sepertinnya menggelikan. Ini memang keliru, tetapi itulah faktanya. Jika dari dasar seks edukasi saja belum beres, rasanya kurang pas jika langsung membahas penyimmpangan seks yang beragam. Ada risiko peserta didik terjebak dalam fantasi seks yang seharusnya kita ingin hindari.

Tapi bagian yang lebih kompleks kan diberikan untuk jenjang SMA/Sederajat? Pertanyaannya tidak salah, tetapi masalahnya adalah konteks sekolah itu tidak ada yang sama. Coba cek sekarang anak-anak kita, apakah tempat membahas berbagai penyimpangan seks di saat sekarang marak bercandaan tentang LGBT? Bukan hanya orang dewasa, tetapi juga anak-anak usia sekolah dari yang menengah bahkan tingkat dasar.

Dari sisi murid

Lagi-lagi yang paham konteks murid adalah orang-orang yang setiap hari terjun di sekolah dan di kelas. Kita bisa optimis kalau anak-anak punya daya nalar, atau kemampuan berpikir kritis yang sama atau sesuai dengan tuntutan. Sayangnya, ini mustahil. Murid itu unik, sangat-sangat unik. Kurikulum kita sadar benar akan hal itu makanya menggaungkan pembelajaran yang berpihak kepada murid. Tapi, kalu terkesan dipaksakan, yakin berpihak pada murid?

Ada masalah lain yang tidak boleh terlewat. Masalah akses buku. Apakah buku-buku yang direkomendasikan akan semakin mudah diaksesnya? Di akses dari mana? Apakah harganya semakin naik karena berhasil masuk kurasi untuk kebutuhan formal atau pemerintah bisa memberikan keringanan sehingga semua murid punya kemudahan akses yang sama? Oh, iya memangnya kenapa buku-buku itu yang direkomendasikan? Buku yang lain memangnya kenapa?

Saya akui, saya cukup pesimis dengan program ini, tetapi bukan berarti kontra pemerintah. Saya menyambut program ini dengan senang sekali. Saya hanya melihat dari sisi pendidik yang melihat konteks di lingkungan sekolah saya. Mudah-mudahan bisa sedikit menunjukkan realita di lapangan seperti apa. Sastra memang sudah seharusnya masuk kurikulum (walaupun sebenarnya sudah ada melalui pembelajaran Bahasa Indonesia selama ini meskipun hanya sebatas pelengkap). Kita lihat saja implementasi di lapangan seperti apa. Harapannya bukan hanya 'praktik baik' program ini yang terus digembar-gemborkan, tetapi Kemendikbudristek melakukan eveluasi rutin melihat konteks di lapangan.

Semoga guru-guru bisa membawa murid-muridnya ke dalam proses berpikir kritis dan reflektif di dalam setiap pembelajarannya.

Semoga dengan program ini wawasan kita tentang dunia semakin luas, kepekaan kita terhadap berbagai fenomena dan peristiwa juga terasah dan yang pasti kita tidak turut serta masuk ke dalam perilaku disruptif karena kedangkalan pengetahuan dan kekeliruan dalam pengertian.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun