Identitas
------
Judul Buku: Tumbal
Penulis: Jounatan dan Guntur Alam
Penerbit: Elex Media Komputindo
Halaman: 184 hlm.
Tahun Terbit: 2017
Genre: Horror, Thriller
Rate: 17+
ISBN Cetak: 9786020451190
ISBN Digital: 9786020451206
Tersedia di Ipusnas
Blurb
------
Apa benar arwah gadis hamil yang bunuh diri jadi arwah paling pendendam? Pertanyaan itu David lontarkan ke Jounatan setelah malam itu, saat mereka bertemu roh Pricil, siswi SMA yang bunuh diri dengan loncat dari jembatan.Â
Ketika pertanyaan David belum terjawab, dan teka-teki kematian Pricil belum terurai, ternyata bahaya yang jauh lebih besar telah mengintai mereka.Â
Dia yang bersemayam selama ratusan tahun kini mencari tumbal atas dendam masa lalu dengan mengendap di belakang Pricil. Jounatan pun tahu bahwa di antara mereka pasti akan ada yang mati. Namun tak ada jalan berbalik arah karena dendam harus dituntaskan.
Ulasan
-----
Setelah cukup puas dengan cerita , aku langsung lanjut baca novel kedua ini.
Apa yang aku dapatkan? Mari kita bahas.
Kalau mau dibandingin dengan novel pertamanya, novel kedua ini enggak kalah seru. Tapi kalau mau dibandingin vibes horornya, aku lebih memilih novel pertama.
Setelah insiden mengerikan yang cukup mengguncang bagi Jou, Jou memutuskan untuk sekedar berlibur ke rumah sepupunya di Palembang. Namun, ternyata enggak semudah itu bagi Jou untuk lepas dari hal-hal gaib yang terlanjur dimasukinya. Seperti kata Natali, adiknya, mata yin Jou sudah terbuka dan mempermudah makhluk tak kasat mata untuk melakukan kontak dengannya.
Kali ini Jou harus berhadapan dengan hantu Noni Belanda dan misteri bunuh diri gadis bernama Pricil. Bersama dengan Abang sepupunya, David dan teman masa kecil sekaligus kakak kandung Pricil bernama Tasya. Ketiganya adalah tokoh yang ditonjolkan dalam cerita ini.
Setting menggunakan beberapa tempat di Palembang, diantaranya jembatan Sungai Musi dan Kampung Kapitan yang letaknya tidak jauh dari Jembatan Ampera.
Awalnya kukira David ini adalah dalang dari kematian Pricil. Mungkin ada sesuatu di balik kedekatannya dengan Tasya yang mungkin dirahasiakannya rapat-rapat. Tetapi kecurigaan itu nggak bertahan lama karena kehadiran tokoh lain yang sebenarnya enggak terlalu mengejutkan karena gelagat dari tokoh tersebut mudah ditebak.
Seperti yang kubilang di awal, nuansa horor di novel ini enggak semencekam novel pertama. Untungnya, tertolong dari segi cerita. Walau menurutku premisnya enggak jauh beda dari dan yang masih sama-sama memecahkan kasus pembunuhan, sama-sama ingin menyingkapkan apakah korban dibunuh atau bunuh diri. Warna di novel ini ada karena Hantu Noni Belanda yang merupakan musuh terbesar di sini. Asal-usul Hantu tersebut dijelaskan dengan baik di sini dan keterkaitannya dengan Hantu Pricil juga.
Visualisasi terjebaknya Tasya di dalam lukisan menurutku unik dan menarik. Cuma sepertinya enggak ada alasan khusu kenapa medium dijadikan sumber teror. Tasya begitu mudah dikeluarkan dari sana. Selain jembatan yang berhasil memberikan teror dan memang ada kaitannya dengan hantu tersebut, ada juga adegan di apartemen yang bikin ngilu.
Btw, aku agak kesal dengan Natali. Setiap Jou curhat terkait kesulitan yang ia alami, Natali hanya menyarankan berdoa. Ya, anak sekecil itu mungkin belum tahu banyak untuk memanfaatkan kemampuannya untuk menolong, toh. Cuma karena saran itu beberapa kali diulang, agak Gedeg juga hehehe.
Endingnya tragis. Seakan perjuangan tiga tokoh utama sia-sia banget. Tapi ya masuk akal. Seperti kata Natali, mereka enggak bisa apa-apa. Enggak ada orang pintar, ahli agama yang bisa mengatasi situasi tersebut.
Terakhir, sama seperti novel pertama, penampakan Leo muncul lagi di sini. Ada apa dengan Leo? Mungkin akan terjawab di novel ketiganya berjudul .
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H