Penulis: Akaigita
Tahun Terbit: 2021
Penerbit: Gramedia Pustaka Utama
 Halaman: 368
ISBN: 978-602-06-5684-7
ISBN digital:978-602-06-5685-4
The Arson Project mengisahkan dua remaja yang menjadi tokoh utama, yaitu Mike dan Kara yang bekerja di sebuah gedung teater. Keduanya telah berteman sejak masa kanak-kanak. Mike sering dilibatkan menjadi pemain musik dalampertunjukkan mereka, tetapi pekerjaan utamanya adalah sebagi cleaning service. Novel ini sendiri awalnya terbit di Wattpad dan mendapat penghargaan sebagai Wattys Award 2020 Winner dalam kategori Young Adult.Â
Konflik mulai terasa memanas ketika Kara tidak sengaja mendapatkan pelecehan dari Ben, anak tunggal pemilik teater. Walau Ben mengaku tidak sengaja karena mabuk, Kara tetap tidak dapat menerima, bahkan menjadi gampang trauma terhadap sentuhan, khususnya lawan jenisnya.
Mike yang ternyata telah memendam lama perasaannya terhadap Kara jadi tersulut amarahnya. Ia berkeinginan untuk membalaskan dendam Kara, juga terhadap keluarga keluarga pemilik teater itu. Mike memiliki pengetahuan yang sangat baik terkait api dan pembakaran sehingga ia memikirkan cara teraman dengan menggunakan media itu dan memberikan keluarga itu pelajaran.
Sebelum masuk kepada kelebihan dan kelemahan yang saya temukan, saya ingin memberikan kesan terhadap sampul. Kesan pertama kali yang saya tangkap dari ilsutrasinya adalah kisah ini akan menjadi kisah mainstream antar tiga anak muda yang tidak akan jauh-jauh dari friendzone dan problematikanya. Kisah ketiga anak muda ini akan dikemas dalam cerita petualan di dalam hutan. Namun, dugaan saya tidak sepenuhnya benar. Kenapa? benar ada friendzone-nya tetapi novel ini nggak fokus ke situ.
Kelebihan Novel The Arson Project
1. Premis yang cukup unik
 Mike dan Kara diperhadapkan pada kasus pencurian yang terjadi di rumah pemilik gedung tetater tempat mereka bekerja yang melibatkan ibu Mike. Sehubungan dengan penyelidikan itu, fakta-fakta mengejutkan terkuak yang justru melibatkan Mike lebih dalam, termasuk balas dendam.
2. Konflik yang bertumbuh dengan baik.
Bisa dikatakan, penulis seperti tidak ingin terburu-buru. Ia berangkat dari pengalaman setiap tokoh utama untuk menumbuhkan motivasi yang kuat para pelaku utama untuk melancarkan aksinya. Itu membuat alur cerita ini menjadi masuk akal. Alu cerita jadinya memang lambat, tetapi bagi saya pribadi tidak membosankan. Saya masih merasa nyaman karena setiap bagiannya tidak terlalu panjang, kalimatnya pendek-pendek. dan yang penting, ada semacam trivia yang tersebar di sepanjang penceritaan.
3. Bahasa
Novel ini dikemas dengan bahasa yang tepat sesuai target pembacanya. Tidak menggunakan diksi-diksi yang sukar dimengerti alias cukup santai. Selagi baca cerita, kita juga dapat pelajaran kimia tentang api nih, disampaikan dengan bahasa yang ringan.
4. Penggunaan sudut pandang
Menggunakan sudut pandang orang pertama memubuat pembaca dekat dengan karakter utamanya yakni Mike dan Kara secara bergantian.
5. Karakterisasi
Menurutku setiap karakter di sini memiliki kepribadian yang kuat. Setiap detailnya dipaparkan dengan sangat baik. Backgorund story dari keluarga pemilik teater juga diceritakan pada posisi yang tepat, bukan sekedar informasi yang terselib begitu saja. Dari setiap pengalaman hidup karakternya, kita bisa melihat pengaruhnya pada watak tokoh-tokohnya. Mungkin yang menjadi pertanyaan adalah kenapa teman Mike yang dijuluki sebagai Tikus Lab Nomor Satu yang diberikan kesan misterius. Saya tidak memiliki jawaban pasti dan tidak terlalu memberian perhatian lebih karena tokoh ini hanya pemeran pendukung dan porsi kemunculannya yang tidak banyak justru menurut saya pas.
6. Isu berat dengan penyampaian yang ringan.
Mungkin beberapa pembaca tidak sadar bahwa novel ini mengangkat isu yang cukup sensitif misal tindakan gaslighting dan sexual harrasment, perselingkuhan dan . Hal itu patut diapresiasi karena isu sensitif selalu menarik untuk dibicarakan, penting untuk dikaji lebih dalam. itu juga sekaligus membuat novel ini lebih bermakna daripada sekadar romansa anak muda.
Yang menurut saya masih kurang.
1. Sampul
Menurut saya, walaupun pemilihan warna terkesan hangat, itu belum cukup menarik bahkan belum menumbuh rasa penasan pembaca untuk segera tenggelam di dalamnya. Ilsutrasi belum berhasil memberikan clue yang jadi pemantik rasa ingin tahu saya, walaupun ada api tetapi bagi saya sampulnya bisa lebih baik lagi dari ini.
2. Terlalu banyak flashback
Puncak dari konflik ini adalah pembakaran gedung teater. Alih-alih berfokus pada upaya balas dendam, penyusunan rencana, atau ketegangan investigasi, novel ini lebih banyak membahas kenangan Mike dan Kara.
3. Penyelesaian konflik
Penyelesaian konflik utama dalam cerita ini terkesan cepat, pasrah, tanpa perlawanan sehingga kurang memenuhi ekspektasi saya. Saya pikir penulis akan mengeksekusi dengan membuat lebih rumit, memberikan teka-teki atau upaya perlawan dari pelaku kejahatan yang masih dibawah umur tersebut.
4. Tidak ada penanda waktu yang jelas
Kalau mau baca tuntas sih kita jadinya paham, cuma tidak ada penanda waktu yang jelas antara masa kini dan masa lalu, itu yang membuat bingung. Terlebih karena sudut pandang yang bergantian-gantian dan kilas balik tokoh utama. Untung saja itu nggak bertahan sampai akhir cerita. Pada masa-masa dewasa (masa kini) Kara dan Mike berada dalam waktu yang sama hanya dengan sudut pandang yang berbeda saja. Kita bisa tahu mereka di mana, ada kejadian apa dan apa yang mereka lakukan dalam situasi tersebut.
5. Korban pelecehan kurang bisa mendapatkan simpati
Saya tidak ingin terkesan menampik bahwa para penyintas pelecahan seksual itu ada yang kuat dan bisa melewati masa-masa strugle-nya hingga akhirnya bisa bangkit. Yang saya maksud di sini, saya belum terlalu mendapatkan bagaimana tindakan tersebut mengguncang tokoh Kara. Mungkin Kara adalah perempuan yang hebat sehingga sepanjang cerita ia bisa bersikap seakan-akan melupakan kejadian itu. Ia masih bisa terlihat tenang dan ceria seperti biasanya. Hanya saja, saya ingin melihat bagaimana penggambaran emosi atau psikis Kara. Mungkin itu bisa jadi pembelajaran atau perenungan bagi pembaca. Yah, singkatnya, bisa dieksplor lagi. Itu juga mungkin bisa menjadi motif yang menguatkan tokoh utama dalam pembalasan dendamnya.
Pelajaran yang saya dapatkan.
Mike ini adalah tokoh yang realistis. Kita semua pasti ingin para pelaku penjahat menerima hukuman yang setimpal. Namun tak sedikit pula orang yang kesulitan mendapat keadilan sehingga membalas dengan kejahatan itu sah-sah saja untuk pembelajaran. Tetapi bagaimanapun, cara yang salah untuk tujuan yang baik tidak selalu berujung baik. Ada konsekuensi yang harus ditanngung bahkan lebih buruk dari yang sudah terjadi.
Terkait isu sensitif di dalam novel ini, saya hanya ingin menekankan bahwa kesalahan masa lalu kita bisa membawa sesutu yang lebih buruk di masa depan. Kita hanya perlu jujur dan mengakuinya sesegera mungkin. Kebohongan selalu memberikan efek domino. Tidak ada kebohongan yang bisa menutupi kebohongan lainnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H