"hem..." Aku merapatkan alis. "Kalau kataku, ini taman bermain," jawabku kemudian.
Ia semakin geram.
"Ini taman bermainku, dan neraka bagimu," kataku menambahkan.
Darahnya seperti sudah naik ke ubun-ubun. Ia berlari ke arahku. Masih beberapa langkah, ia terhenti. Tercegat darah. Ia takut darah. Seperti cacing kepanasan, ia roboh dan menggeliat-geliat pada permukaan yang juga sudah tergenang oleh cairan amis itu. Ia terus-terusan mengusap bagian tubuhnya yang berlumur darah. Merah darah itu malah terlihat seperti ayam sambal balado yang begitu menggiurkan.
Tak puas menyaksikan wajah tersiksanya dari jauh, kuputuskan mendekat saja. Memastikan apakah ia masih bisa memasang mata mengintimidasi atau sebaliknya minta dikasihani.
Keparat. Ia masih enggan untuk meminta tolong sekalipun ia berkali-kali memuntahkan cairan dari mulutnya. Lambungnya pasti terguncang hebat karena cairan yang menakutkan sekaligus menjijikkan telah lolos melewati mulutnya saat berteriak.
Atas kehendakku, hujan darah berhenti. Darah ditubuhnya juga kusingkirkan. Aku ingin bermain-main dengan orang ini, jadi kubiarkan ia tenang sebentar. "Bagaimana rasanya?" tanyaku.
"Bajingan!" umpatnya. Ia hendak melepaskan bogemnya. Aku menghindar dan berpindah posisi dalam satu kedipan mata. Ia terus berusaha dan terus sia-sia.
"Sudah kubilang, ini wilayahku. Aku hanya ingin bermain." Aku berjalan perlahan mengelilinginya. "Kau juga suka bermain denganku, bukan?"
Aku berhenti tepat di hadapannya. "Aku ingin melihat, apakah kali ini kau akan menikmatinya."
Aku mengambil jarak beberapa langkah dari posisi duduk Si Botak. Matanya mengikutiku. Saat mata kami bertemu ia masih memasang tatapan mengancam. Ia tidak tahu bahwa sesungguhnya ialah yang sedang terancam.