Mohon tunggu...
BANYU BIRU
BANYU BIRU Mohon Tunggu... Guru - Guru | Pecandu Fiksi

Orang yang benar-benar bisa merendahkanmu adalah dirimu sendiri. Fokus pada apa yang kamu mulai. Jangan berhenti, selesaikan pertandinganmu.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Tabungan Akhirat

17 Oktober 2022   13:52 Diperbarui: 17 Oktober 2022   14:13 258
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kau bilang ketika jalan tergenang air, ban motor sebenarnya tidak menapak. Seakan-akan ada lapisan yang membatasi ban dengan permukaan tanah atau aspal. Itu yang memberikan efek melayang saat berkendara.

"Eh, kau tidak usah banyak cengkunek. Kalau kau tidak mau ikut, ya sudah," ketus Bonar.

"Yah, bukan begitu maksudku, Bon. Aku cuma mau bilang, kalau kita harus menunggu hujan ini reda dulu. Kau tahu sendiri, jalan ke kota itu banyak kolamnya." terang Anju.

Bonar melengos masuk kamar indekosnya sedangkan kau masih berdiri di pintu kamarmu. Nyata benar kalau hati dan pikiranmu sedang berdebat. Matamu belum beralih dari pintu kamar Bonar yang dibiarkan terbuka sehingga bunyi barang dibanting sesekali terdengar nyaring.

Entah masalah atau bukan, kau sangat menghidup namamu. Anju, orang yang selalau bersikap sabar menghadapi karakter antagonis yang dimainkan dalam kehidupan yang penuh drama. Kau selalu menganggap dirimu harus bisa menjadi mediator yang baik, yang harus membujuk saat orang lain merajuk. Dalam hal ini, Bonar. Ia selalu menganggap dirinya benar dan menganggap segala keinginannya harus dipenuhi, tidak boleh tertinggal apalagi didahului. Sialnya, sang sutradara selalu mempertemukanmu dengan karakter yang seperti itu.

"Oke, Bon. Kita jalan. Tapi kau ada mantel dan helm, kan?" ujarmu.

"Tadi kau bilang tidak mau."

"Aku tidak bilang begitu."

"Oke, itu katamu ya. Aku nggak maksa. Tapi karena kau sudah bersedia, ya ayo!"

Kau berusaha memberi senyum terbaik walau terpaksa. Garis bibirmu menunjukkannya, kelihatan kaku. Bonar agaknya tidak keberatan atau malah tidak peduli. Ia sangat bersemangat. Ia menyiapkan mantel dan helm yang tadi kau tanyakan.

Kau dan Bonar akhirnya berangkat. Menembus tirai-tirai hujan yang kian deras. Kau berlindung pada punggung Bonar. Kau merasa benar-benar sedang melayang. Kau meminta Bonar untuk berhenti dahulu. Pintamu tidak digubris. Sepanjang jalan tidak ada lagi usaha untuk kau berbicara.

"Kita berhenti?" tanya Bonar.

"Itu yang kubilang sejak tadi," tanggapmu.

Kau dan Bonar akhirnya berhenti. Berteduh di sebuah gubuk kecil yang mungkin sudah lama tidak digunakan lagi. Gubuk itu sudah reot dan lebih elok jika dibongkar saja. Namun, mungkin tidak sepenuhnya benar. Gubuk itu masih bisa memberi manfaat, untuk orang-orang yang terjebak cuaca tak bersahabat.

Pada sebuah dinding papan yang sudah rapuh dimakan rayap, menempel sebuah poster yang juga mulai memudar, hurufnya tak jelas lagi tetapi kau masih bisa mengusahakannya. Ditulis dengan ukuran huruf yang lebih besar, kemudian ada huruf arab yang tidak bisa kau baca. "Tabungan akhirat." Kau bergumam. Orang kalau sudah berbicara akhirat kebanyakan berpikir kematian lalu diperhadapkan pada gerbang neraka atau gerbang surga. Dua kata itu jelas bukan kata yang sembarangan. Buktinya kau mendadak diam, bahkan ocehan Bonar tak kau tanggapi yang menyalahkan hujan atas mundurnya perencanaan.

"Bon, kau sudah siap mati, belum?" tanyamu tiba-tiba. Bonar agaknya cukup terkejut dengan pertanyaan itu. Ia juga melihat ke arah dinding yang masih kau pandangi. Kemudian dibetulkannya posisinya tetapi tetap tidak berkomentar. Bonar bukan jenis orang yang bisa diajak membahas hal serius apalagi tentang dunia akhirat.

Kau tak mendesak Bonar untuk memberi jawaban karena yang sebenarnya, kau menanyakan hal yang sama pada dirimu. Itu yang membuatmu kembali ke posisi duduk dengan wajah lesu.

"Tabungan akhirat itu buat apa?"

"Buat nyuaplah." Kali ini Bonar buka suara dengan bersemangat.

"Memang bisa?"

"Mungkin."

Cahaya di mata Bonar semakin menyala, dengan penuh semangat.  Ia mulai mulai bercerita tentang seorang koruptor yang sempat jadi bahan perbincangan dunia. Koruptor yang berniat menyuap Tuhan dengan membawa uang di peti matinya.

"791 juta Ju! Nah, kau bayangkanlah itu. Cuma kepalanya aja yang nongol saking penuhnya petinya."

Kau memperhatikan penuturan Bonar tetapi kau tidak bereaksi apa-apa. Sekarang kau memandangi aspal yang terus ditimpa hujan. Kau juga memperhatikan uap-uap yang timbul karenanya.

Kau menarik napas. "Aku tak suka hujan," katamu memberitahu. Sekarang giliranmu yang bercerita. Hujan sekarang datang dan pergi seenaknya saja. Tanpa bermaksud menjadi peramal cuaca atau seorang pawang hujan, sekarang hujan sangat tidak terprediksi. Kau buru-buru mengklarifikasi bahwa tak suka nukan berarti membenci. Kau memberikan alasan yang berhubungan dengan keberadaan kalian saat ini, di gubuk kecil tempat berteduh kalian. Semua tidak berjalan sesuai dengan rencana.

"Tunggu! Tetapi sebenarnya kita tidak bisa menyalahkan hujan. Toh, hujan tidak memilih turun di mana dan kapan." Bonar mencoba menanggapi dengan serius. Walaupun itu bukan dirinya, ia tahu Anju ingin menyampaikan sesuatu.

"Seandainya, betul kita bisa menabung dan menyuap Tuhan di akhirat nanti. Mungkin kita bisa menyogok Tuhan dengan amal baik yang sudah pernah kita lakukan, yah, setidaknya untuk memberhentikan hujan ini sebentar."

Bonar terdiam. Kau juga. Kalian kembali menatap aspal yang terus ditimpa air hujan. Hujan semakin deras.

Demi mencairkan suasana yang mulai beku seiring dengan angin kencang yang membuat bulu-bulu di lengan tampak beridri, kau kembali membuka percakapan, menghilangkan kesan kaku dan melankolis di antara kalian berdua. Kau kembali menyinggung tentang perasaan melayang disaat jalan tergenang. Kau tahu Bonar tidak akan menanggapinya dengan serius. Kalian mulai bertanya jawab, berdebat, sesekali tertawa renyah karena pembicaraan semakin keluar jalur.

Hujan merasa terabaikan. Butir-butirnya mulai mengecil. Matahari sudah mulai menampakkan diri dari balik awan yang masih kelabu. Kau mengangkat tanganmu, hendak merasakan apakah langit sudah kering. Benar saja, tanganmu tak lagi basah.

Motor melaju dengan kecepatan sedang. Kau dan Bonar melanjutkan perjalanan. Semua orang tampaknya sudah mulai beraktivitas normal. Hiruk pikuk kota sudah mulai kembali terasa. Bukan Bonar namanya kalau mengendarai motor tidak dengan kecepatan tinggi. Ia menarik gas tiba-tiba sehingga refleksmu bekerja. Kau memegang jaket pada bagian pinggangnya. Menyadari hal itu, Bonar semakin tertantang. Pedal gas ditariknya dengan penuh, menyelip di antara kendaraan roda dua atau roda empat yang lain.

"Kau lihat? Bukan air hujan yang bikin terbang, tetapi aku," teriak Bonar.

"Bon! Awas!" teriakmu.

Bonar terlambat menyadari. Di depannya ada sebuah truk yang melambat dengan tiba-tiba. Ia berusaha melepas gas dan menginjak rem.

Dalam waktu yang singkat, kerumunan memenuhi jalanan. Ada dua orang anak muda yang tergeletak. Satu dari antara keduanya tidak bergerak sama sekali. Dari pergelangan tangannya mengucur darah yang deras, bercampur dengan air hujan yang masih menggenang. Telapak tangan telah terpisah dari pergelangannya. Wajah orang itu tak bisa dikenali. Hancur.

Satunya lagi adalah kau. Kau meringis kesakitan. Tubuhmu juga penuh dengan luka. Darah mengucur deras dari lutut. Tulang lututmu pecah dan benda keras itu menyembul. Kau tak bisa bergerak. Kau mungkin mengharap bantuan segera datang tetapi kerumunan lebih sibuk menonton dengan tampang kasihan. Mereka menghambat jalan orang-orang yang masih sadar untuk segera memberi pertolongan.

***

Setelah lebih dari satu bulan, baru kau bisa bebas dari aroma rumah sakit yang menyengat. Tempat pertama yang kau minta untuk kau datangi adalah rumah baru bagi kawanmu, Bonar.

"Bon, terkait kondisi ban motor yang kubilang melayang dan kau bilang terbang itu, itu namanya aquaplaning. Aku baru mencarinya di google dan baru tahu kalau benar-benar ada istilahnya. Maaf aku tidak bisa menjelaskan dengan lebih baik. Lalu, aku pernah bilang kalau aku tidak membenci hujan? Aku tidak membenci hujan bahkan saat Bapakku juga mati karena hujan. Sekarang aku membencinya karena kau. Terakhir, sepertinya kita memang tidak bisa menyuap Tuhan. Buktinya, kau tidak punya cukup waktu untuk menabung, dan mungkin, hidup yang kujalani sekarang tidak setimpal dengan tabungan yang kupunya. Jadi, bagaimana menurutmu?"         

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun