Mohon tunggu...
Raodah Tul Ikhsan
Raodah Tul Ikhsan Mohon Tunggu... Lainnya - gloridae

Berharap tulisan dalam blog ini dapat menambah informasi yang dibutuhkan pembaca dan secara pribadi terus mengasah teknik menulis yang lebih baik bagi saya pribadi. Kritik dan saran yang membangun sangat dibutuhkan. Sekian, terima kasih! Kalian bisa mengunjungi blogku di https://gloridae.wordpress.com

Selanjutnya

Tutup

Book Pilihan

[Resensi] Laki-laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik

13 Juni 2024   14:52 Diperbarui: 13 Juni 2024   16:26 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber: dokumen pribadi

IDENTITAS BUKU

Judul Novel: Laki-Laki Memang Tidak Menangis, Tapi Hatinya Berdarah, Dik
Penulis: Rusdi Mathari
Penerbit: Buku Mojok
Jumlah Halaman: viii+84 halaman
Tahun Terbit: 2022 (Cetakan ketujuh)

REVIEW

"Dan kamu tahu, Dik, yang paling menyesakkan dan membuat laki-laki berdarah-darah adalah kenangan"

Ini adalah buku kedua yang aku baca dari Rusdi Mathari,  setelah sebelumnya diperkenalkan dengan Cak Dlahom dalam buku "Merasa Pintar Bodoh Saja Tak Punya".

Awalnya aku mengira bahwa buku ini adalah kumpulan puisi dan akan sepenuhnya menggambarkan betapa melankolisnya seorang laki-laki di dalam kehidupan cintanya. Namun, ternyata tidak sepenuhnya benar, buku ini lebih dari pada itu.

Melalui kumpulan prosa pendek, Penulis sepertinya ingin menyampaikan pikiran laki-laki melalui banyak tema yang diangkatnya di dalam buku ini, seperti cinta, perempuan, takdir, agama, kemanusiaan, dan negara.

Gaya penulisannya cukup umum, tetapi beberapa tulisan perlu pemahaman tinggi agar dapat mengerti maksudnya, jadi buku ini bukan sekedar bacaan tipis yang dapat dipahami dengan mudah.

Meskipun di bagian akhir aku sempat merasa bosan saat membacanya, tetapi buku ini jauh lebih dapat dinikmati secara keseluruhan.

"Malam sudah semakin larut, Nod. Di antara asap rokok dan bau bir di ruangan ini, tak ada lagi kursi buat kita. Mestinya kita bisa ke luar melihat bulan. Memeluk angin barat yang menusuk pinggang. Tapi kita terus di sini merasakan sakit. Mungkin memang tidak ada air mata. Mungkin tidak ada yang melihat kita menangis. Tapi kau dan aku sudah lama tahu. Hati kita sama-sama berdarah. Malam semakin larut, Nod, tapi tetap tak ada kursi buat kita." halaman 1

"Pada akhirnya akan ada waktu untuk kita, menyaksikan bunga-bunga bintaro bermekaran di pagi hari. Kita hanya perlu bersabar melewati malam. Meraba-raba. Tersandung batu. Tertusuk duri. Hei, tidakkah kita sudah melalui banyak malam yang kelam sebelumnya, meskipun pagi yang kemudian kita jumpai juga selalu penuh kabut? Bersabarlah. Akan ada waktu untuk kita pada akhirnya." halaman 19 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun