Teori empati Hoffman tidak hanya melihat empati sebagai reaksi emosional terhadap perasaan orang lain, tetapi juga sebagai sebuah mekanisme yang memengaruhi perkembangan moralitas dan perilaku prososial. Dalam pandangan Hoffman, empati merupakan elemen fundamental dalam hubungan antarindividu dan dalam kehidupan sosial yang lebih luas.
Apa Itu Empati?
Empati adalah kemampuan untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain, serta berusaha untuk meresponsnya dengan cara yang sesuai. Secara umum, empati terdiri dari dua aspek utama: pertama, kemampuan untuk mengenali dan memahami perasaan orang lain, dan kedua, kemampuan untuk merasakan atau merespons perasaan tersebut dengan cara yang sesuai. Empati tidak hanya mencakup pemahaman kognitif terhadap kondisi emosional orang lain, tetapi juga kemampuan emosional untuk merasakan perasaan yang dialami orang tersebut.
Dalam kehidupan sehari-hari, empati berperan dalam membentuk hubungan sosial yang sehat dan penuh pengertian, baik dalam konteks keluarga, persahabatan, pekerjaan, maupun dalam masyarakat yang lebih luas. Hoffman, dalam teorinya, melihat empati sebagai proses yang berkembang sepanjang hidup seseorang, dipengaruhi oleh pengalaman pribadi, interaksi sosial, dan faktor-faktor psikologis lainnya.
Konsep Empati Menurut Martin Hoffman
Martin Hoffman mengemukakan bahwa empati adalah kemampuan yang berkembang dalam beberapa tahap sepanjang kehidupan manusia. Teori empati Hoffman menggambarkan bagaimana individu dapat mulai merasakan empati sejak masa kanak-kanak dan bagaimana empati ini berkembang seiring dengan pertumbuhan dan pengalaman hidup mereka.
Hoffman mengidentifikasi lima tahap perkembangan empati, yang masing-masing mencerminkan peningkatan kompleksitas dan kedalaman dalam pemahaman dan respons terhadap perasaan orang lain. Kelima tahap ini meliputi:
1. Empati yang Bersifat Mimetik (Mimetic Empathy)
Tahap pertama dari perkembangan empati adalah empati yang bersifat mimetik, yang biasanya terjadi pada bayi atau anak-anak yang sangat muda. Pada tahap ini, seorang bayi dapat merespons perasaan orang lain dengan meniru ekspresi wajah atau suara yang mereka amati. Sebagai contoh, bayi mungkin tersenyum ketika melihat orang dewasa tersenyum atau menangis ketika mendengar suara tangisan orang lain. Di tahap ini, empati masih sangat sederhana dan lebih berfokus pada meniru reaksi emosional orang lain daripada merasakan atau memahami perasaan tersebut.
2. Empati Emosional (Emotional Empathy)
Pada tahap ini, anak mulai mampu merasakan perasaan orang lain tanpa hanya menirunya. Mereka mulai memahami bahwa orang lain bisa merasakan emosi yang berbeda dari diri mereka sendiri. Sebagai contoh, seorang anak mungkin merasa sedih ketika melihat temannya menangis, atau merasa bahagia ketika melihat temannya tertawa. Ini adalah bentuk empati yang lebih dalam karena melibatkan perasaan yang lebih kompleks dan pengakuan terhadap perasaan orang lain.
3. Empati Kognitif (Cognitive Empathy)
Seiring dengan perkembangan kognitif anak, empati mulai memasuki tahap yang lebih kompleks, yaitu empati kognitif. Pada tahap ini, individu tidak hanya merasakan perasaan orang lain, tetapi juga dapat memahami alasan atau penyebab perasaan tersebut. Anak-anak mulai mampu mengerti perspektif orang lain, yakni menyadari bahwa orang lain mungkin memiliki pikiran, perasaan, dan pengalaman yang berbeda dari mereka sendiri. Ini adalah tahap yang sangat penting dalam perkembangan empati karena memungkinkan individu untuk lebih memahami perasaan orang lain secara lebih rasional dan menyeluruh.
4. Empati yang Didasarkan pada Pengalaman Sosial (Social Empathy)
Tahap ini mencakup kemampuan untuk merasakan dan memahami perasaan orang lain dalam konteks sosial yang lebih luas. Pada tahap ini, individu mulai dapat mengidentifikasi perasaan orang lain dalam situasi sosial yang kompleks, seperti dalam hubungan interpersonal yang melibatkan perbedaan peran atau status. Mereka juga dapat merasakan penderitaan atau kebahagiaan orang lain yang lebih besar, seperti merasakan empati terhadap kelompok yang tertindas atau korban bencana alam. Ini adalah bentuk empati yang lebih kompleks dan berhubungan dengan kepekaan terhadap ketidakadilan sosial dan masalah sosial lainnya.
5. Empati Moralis (Moral Empathy)
Tahap terakhir dalam teori empati Hoffman adalah empati moralis. Pada tahap ini, individu tidak hanya memahami dan merasakan perasaan orang lain, tetapi juga memiliki dorongan moral untuk bertindak dalam membantu mereka yang membutuhkan. Empati moralis mengarah pada perilaku prososial, yaitu tindakan yang dilakukan untuk membantu orang lain tanpa mengharapkan imbalan. Ini mencakup dorongan untuk menolong orang lain yang sedang mengalami kesulitan, serta keinginan untuk memperbaiki ketidakadilan sosial dan membantu menciptakan dunia yang lebih baik.
Peran Empati dalam Perkembangan Moral
Bagi Hoffman, empati tidak hanya sekadar kemampuan untuk merasakan atau memahami perasaan orang lain, tetapi juga memiliki peran yang sangat penting dalam perkembangan moralitas. Melalui empati, individu belajar untuk memahami penderitaan orang lain dan merasa terdorong untuk membantu mereka. Hal ini memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku prososial, seperti tolong-menolong, berbagi, dan berbuat baik terhadap orang lain.
Selain itu, empati juga merupakan dasar dari rasa keadilan. Dengan merasakan atau memahami perasaan orang lain, individu dapat mengembangkan pemahaman yang lebih dalam tentang kesulitan yang dialami oleh orang lain, terutama dalam situasi yang tidak adil. Dengan demikian, empati dapat mendorong individu untuk bertindak demi keadilan sosial dan melawan ketidakadilan yang mereka lihat di sekitar mereka.
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Perkembangan Empati
Hoffman juga mengemukakan bahwa perkembangan empati dipengaruhi oleh berbagai faktor, baik faktor internal maupun eksternal. Beberapa faktor yang berperan dalam perkembangan empati antara lain adalah:
1. Pengalaman Keluarga
Keluarga adalah lingkungan pertama yang memengaruhi perkembangan empati pada anak. Anak yang tumbuh dalam keluarga yang penuh kasih sayang, perhatian, dan pengertian cenderung memiliki kemampuan empati yang lebih baik. Orangtua yang menunjukkan empati terhadap perasaan anak-anak mereka akan memberikan contoh yang baik dan membantu anak mengembangkan empati.
2. Pengalaman Sosial
Interaksi sosial dengan teman sebaya, guru, atau masyarakat juga memainkan peran penting dalam perkembangan empati. Anak-anak yang terlibat dalam kegiatan sosial yang mengajarkan nilai-nilai empati dan tolong-menolong akan lebih mudah mengembangkan empati terhadap orang lain.
3. Pengaruh Budaya dan Lingkungan
Budaya tempat seseorang tumbuh juga memengaruhi bagaimana mereka mengembangkan empati. Budaya yang mengutamakan nilai-nilai sosial, kerjasama, dan keadilan cenderung menghasilkan individu yang lebih empatik. Lingkungan yang penuh konflik atau kekerasan, di sisi lain, dapat menghambat perkembangan empati.
Kesimpulan
Teori empati Martin Hoffman memberikan wawasan yang mendalam mengenai bagaimana empati berkembang dalam kehidupan manusia, dari tahap yang sangat dasar hingga tahap yang lebih kompleks yang melibatkan pemahaman moral dan keadilan. Empati bukan hanya sekadar kemampuan untuk merasakan perasaan orang lain, tetapi juga memainkan peran kunci dalam membentuk perilaku prososial dan perkembangan moralitas. Dengan memahami proses perkembangan empati ini, kita dapat lebih menghargai pentingnya membangun hubungan yang penuh pengertian dan empati dalam kehidupan sosial, serta mendorong p
muerilaku yang lebih peduli terhadap orang lain dan masyarakat.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI